Pendahuluan
Sekularisme di Dunia Islam bukanlah menjadi sesuatu yang asing lagi karena dapat dikatakan bahwa sanya sekularisme kini telah menjadi bagian dari tubuhnya atau bahkan menjadi tubuhnya itu sendiri. Ibarat sebuah virus yang menyerang tubuh manusia, dia sudah menyerang apa saja dari bagian tubuhnya itu. Bahkan yang lebih hebat, virus itu telah menghabisi seluruh tubuh inangnya dan menjelma menjadi wujud sosok baru; bak sebuah monster yang besar dan mengerikan sehingga sudah sulit sekali dikenali wujud aslinya.
Begitulah kondisi umat Islam saat ini dengan sekularismenya. Perkembangan sekularisme sudah seperti gurita yang telah menyebar dan membelit kemana-mana. Hampir tidak ada sisi kehidupan umat ini yang terlepas dari cengkeramannya. Akibatnya, umat sudah tidak menyadarinya lagi.
Rantai Sekularisme
Inti dari paham sekularisme menurut An-Nabhani (1953) adalah pemisahan agama dari kehidupan (faşl ad-dîn ‘an al-hayâh). Menurut Nasiwan (2003), sekularisme di bidang politik ditandai dengan 3 hal, yaitu:
1. Pemisahan pemerintahan dari ideologi keagamaan dan struktur eklesiatik;
2. Ekspansi pemerintah untuk mengambil fungsi pengaturan dalam bidang sosial dan ekonomi, yang semula ditangani oleh struktur keagamaan;
3. Penilaian atas kultur politik ditekankan pada alasan dan tujuan keduniaan yang tidak transenden.
Tahun yang dianggap sebagai cikal bakal munculnya sekularisme adalah 1648. Pada tahun itu telah tercapai perjanjian Westphalia. Perjanjian itu telah mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katolik dan Protestan di Eropa. Perjanjian tersebut juga telah menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katolik Roma (Papp, 1988). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itulah aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja yang dianggap sebagai wakil Tuhan. Asumsinya adalah bahwa negara itu sendirilah yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya. Sementara itu, Tuhan atau agama hanya diakui keberadaannya di gereja-gereja saja.
Pada awalnya sekularisme memang hanya berbicara hubungan antara agama dan negara. Namun dalam perkembangannya, semangat sekularisme tumbuh dan berkembang biak ke segala lini pemikiran kaum intelektual pada saat itu. Sekularisme menjadi bahan bakar sekaligus sumber inspirasi ke segenap kawasan pemikiran., yaitu:
1. Bidang akidah.
Semangat sekularisme ternyata telah mendorong munculnya libelarisme dalam berpikir di segala bidang. Kaum intelektual Barat ternyata ingin sepenuhnya membuang segala sesuatu yang berbau doktrin agama (Altwajri, 1997). Mereka sepenuhnya ingin mengembalikan segala sesuatunya pada kekuatan akal manusia; termasuk melakukan reorientasi terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hakikat manusia, hidup, dan keberadaan alam semesta ini (persoalan akidah).
Altwajri memberi contoh penentangan para pemikir Barat terhadap paham keagamaan yang paling fundamental di bidang akidah, yaitu munculnya berbagai aliran pemikiran seperti: pemikiran marxisme, eksistensialisme, darwinisme, freudianisme dan sebagainya—yang memisahkan diri dari ide-ide metafisik dan spiritual tertentu, termasuk gejala keagamaan. Pandangan pemikiran seperti ini akhirnya membentuk pemahaman baru berkaitan dengan hakikat manusia, alam semesta dan kehidupan ini, yang berbeda secara diametral dengan paham keagamaan yang ada. Mereka mengingkari adanya Pencipta sekaligus tentu saja mengingkari misi utama Pencipta menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan ini. Mereka lebih suka menyusun sendiri, melogikakannya sendiri, dengan kaidah-kaidah filsafat yang telah disusun dengan rapi.
2. Bidang pemerintahan
Di bidang ini, yang dianggap sebagai pelopor pemikiran modern adalah Niccola Machiavelli, yang menganggap bahwa nilai-nilai tertinggi adalah yang berhubungan dengan kehidupan dunia, yang dipersempit menjadi nilai kemasyhuran, kemegahan, dan kekuasaan belaka. Agama hanya diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang dikandung agama itu sendiri (Nasiwan, 2003). Di samping itu, muncul pula para pemikir demokrasi seperti John Locke, Montesquieu, dan lain-lain yang mempunyai pandangan bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan konstitusional yang mampu membatasi dan membagi kekuasaan sementara dari mayoritas, yang dapat melindungi kebebasan segenap individu-individu rakyatnya. Pandangan ini kemudian melahirkan tradisi pemikiran politik liberal, yaitu sistem politik yang melindungi kebebasan individu dan kelompok, yang di dalamnya terdapat ruang bagi masyarakat sipil dan ruang privat yang independen dan terlepas dari kontrol negara (Widodo, 2004). Konsep demokrasi itu kemudian dirumuskan dengan sangat sederhana dan mudah oleh Presiden AS Abraham Lincoln dalam pidatonya tahun 1863 sebagai, “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Roberts & Lovecy, 1984).
3. Bidang ekonomi.
Di bidang ini, mucul tokoh besarnya seperti Adam Smith, yang menyusun teori ekonominya berangkat dari pandangannya terhadap hakikat manusia. Smith memandang bahwa manusia memiliki sifat serakah, egoistis, dan mementingkan diri sendiri. Smith menganggap bahwa sifat-sifat manusia seperti ini tidak negatif, tetapi justru sangat positif, karena akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan secara keseluruhan. Smith berpendapat bahwa sifat egoistis manusia ini tidak akan mendatangkan kerugian dan merusak masyarakat sepanjang ada persaingan bebas. Setiap orang yang menginginkan laba dalam jangka panjang (artinya serakah), tidak akan menaikkan harga di atas tingkat harga pasar. (Deliarnov, 1997).
4. Bidang sosiologi.
Di bidang ini muncul pemikir besarnya seperti Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, dan sebagainya. Sosiologi ingin memahami bagaimana masyarakat bisa berfungsi dan mengapa orang-orang mau menerima kontrol masyarakat. Sosiologi juga harus bisa menjelaskan perubahan sosial, fungsi-fungsi social, dan tempat individu di dalamnya (Osborne & Loon, 1999). Dari sosiologi inilah diharapkan peran manusia dalam melakukan rekayasa sosial dapat lebih mudah dan leluasa untuk dilakukan, ketimbang harus ‘pasrah’ dengan apa yang dianggap oleh kaum agamawan sebagai ‘ketentuan-ketentuan’ Tuhan.
5. Bidang pengamalan agama.
Di bidang ini pun ada prinsip sekularisme yang amat terkenal, yaitu faham pluralisme agama yang memiliki tiga pilar utama, yaitu:
1. Prinsip Kebebasan, yaitu negara harus memperbolehkan pengamalan agama apapun (dalam batasan-batasan tertentu);
2. Prinsip Kesetaraan, yaitu negara tidak boleh memberikan pilihan suatu agama tertentu atas pihak lain;
3. Prinsip Netralitas, yaitu negara harus menghindarkan diri dari suka atau tidak suka pada agama.
Dari prinsip pluralisme agama inilah muncul pandangan bahwa semua agama harus dipandang sama, memiliki kedudukan yang sama, namun hanya boleh mewujud dalam area yang paling pribadi, yaitu dalam kehidupan privat dari pemeluk-pemeluknya.
6. Bidang pendidikan.
Di bidang pendidikan, kerangka keilmuan yang berkembang di Barat mengacu sepenuhnya pada prinsip-prinsip sekularisme. Hal itu paling tidak dapat dilihat dari kategorisasi filsafat yang mereka kembangkan yang mencakup tiga pilar utama pembahasan, yaitu (Suriasumantri, 1987): filsafat ilmu, yaitu pembahasan filsafat yang mengkaji persoalan benar atau salah; filsafat etika, pembahasan filsafat yang mengkaji persoalan baik atau buruk; filsafat estetika, pembahasan filsafat yang mengkaji persoalan indah atau jelek.
Jika kita mengacu pada tiga pilar utama yang dicakup dalam pembahasan filsafat tersebut, maka kita dapat memahami bahwa sumber-sumber ilmu pengetahuan hanya didapatkan dari akal manusia, bukan dari agama, karena agama hanya didudukkan sebagai bahan pembahasan dalam lingkup moral dan hanya layak untuk berbicara baik atau buruk (etika), dan bukan pembahasan ilmiah (benar atau salah).
Dari prinsip dasar inilah ilmu pengetahuan terus berkembang dengan berbagai kaidah metodologi ilmiahnya yang semakin mapan dan tersusun rapi untuk menghasilkan produk-produk ilmu pengetahuan yang lebih maju. Dengan prinsip ilmiah ini pula, pandangan-pandangan dasar berkaitan dengan akidah maupun pengaturan kehidupan manusia, sebagaimana telah diuraikan di atas, semakin berkembang, kokoh, dan tak terbantahkan karena telah terbungkus dengan kedok ilmiah tersebut.
Umat Islam akhirnya memiliki standar junjungan baru yang lebih dianggap mulia ketimbag standar-standar yang telah ditetapkan al-Quran dan as-Sunnah. Umat lebih suka mengukur segala kebaikan dan keburukan berdasarkan pada nilai-nilai demokrasi, HAM, pasar bebas, pluralisme, kebebasan, kesetaraan, dan lain-lain; yang kandungan nilainya banyak bertabrakan dengan Islah
Pandangan Islam Terhadap Sekularisme
Untuk dapat menjawab persoalan ini, marilah kita mengembalikan satu persatu masalah ini pada pandangan al-Qur’an terhadap prinsip-prinsip sekularisme di atas, mulai dari yang paling mendasar, kemudian turunan-turunannya. Kita mulai dari firman Allah berikut:
إِنَّا خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا. إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا. إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلاسِلا وَأَغْلالا وَسَعِيرًا
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang hendak Kami uji (dengan perintah dan larangan). Karena itu, Kami menjadikannya mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya dengan jalan yang lurus; ada yang bersyukur ada pula yang kafir. Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala”. (QS al-Insan [76]: 2-4)
Ayat-ayat di atas memberitahukan dengan jelas kepada manusia, mulai dari siapa sesungguhnya Pencipta manusia, kemudian untuk apa Pencipta menciptakan manusia hidup di dunia ini. Hakikat hidup manusia di dunia ini tidak lain adalah untuk menerima ujian dari Allah Swt., berupa perintah dan larangan. Allah juga memberi tahu bahwa datangnya petunjuk dari Allah untuk hidup manusia bukanlah pilihan bebas manusia (sebagaimana prinsip HAM), yang boleh diambil, boleh juga tidak; tetapi merupakan kewajiban asasi manusia (KAM), yang jika manusia tolak (kafir) maka Allah Swt. telah menyiapkan siksaan yang sangat berat di akhirat kelak untuk mereka.
Selanjutnya, bagi mereka yang berpendapat bahwa jalan menuju petunjuk Tuhan itu boleh berbeda dan boleh dari agama mana saja (yang penting tujuan sama), sebagaimana yang diajarkan dalam prinsip pluralisme agama di atas, maka hal itu telah disinggung oleh Allah dalam firman-Nya: Q.S. Ali ‘Imran: 19 & 85:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَم
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali ‘Imran [3]: 19).
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja mencari agama selain Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dan di akhirat kelak dia termasuk orang-orang yang merugi (masuk neraka). (QS Ali ‘Imran [3]: 85).
Walaupun Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan yang diridhai, namun ada penegasan dari Allah Swt., bahwa tidak ada paksaan untuk masuk Islam. Jika Islam harus menjadi satu-satunya agama pilihan, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana manusia harus melaksanakan agama Islam tersebut? Allah Swt. memberitahu manusia, khususnya yang telah beriman, untuk mengambil Islam secara menyeluruh. Perintah untuk masuk Islam secara keseluruhan juga bukan merupakan pilihan bebas, sebab ada ancaman dari Allah Swt. jika kita mengambil al-Quran secara setengah-setengah. Walaupun penjelasan Allah dari ayat-ayat di atas telah gamblang, masih ada kalangan umat Islam yang berpendapat bahwa kewajiban untuk terikat dengan Islam tetap hanya sebatas persoalan individu dan pribadi, bukan persoalan hubungan antar manusia dalam bermasyarakat dan bernegara. Untuk menjawab persoalan itu, ada banyak ayat yang telah menjelaskan hal itu, di antaranya: firman Allah :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Hukumlah di antara mereka dengan apa saja yang Allah turunkan, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka (dengan meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS al-Maidah [5]: 48).
Perintah tersebut menunjukkan bahwa al-Quran juga berfungsi untuk mengatur dan menyelesaikan perkara yang terjadi di antara manusia. Dari ayat ini juga dapat diambil kesimpulan tentang keharusan adanya pihak yang mengatur, yaitu penguasa negara yang bertugas menerapkan al-Quran dan as-Sunnah. Selain itu, ada pembatasan dari Allah Swt. bahwa yang berhak untuk membuat hukum hanyalah Allah Swt. Manusia sama sekali tidak diberi hak oleh Allah untuk membuat hukum; tidak sebagaimana yang diajarkan dalam sekularisme. Oleh karena itu, tugas manusia di dunia hanyalah untuk mengamalkan apa-apa yang telah Allah turunkan kepada mereka; menyangkut urusan ibadah, akhlak, pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Jika manusia, termasuk penguasa, enggan untuk menerapkan hukum-hukum Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir, zalim, dan fasik (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44, 45, dan 47).
Referensi
Al-Quran al-Karim.
Altwajri, Ahmed O., 1997. Islam, Barat dan Kebebasan Akademis. Titian Ilahi Press. Jogjakarta.
Widodo, Bambang E. C., 2004. “Demokrasi, Antara Konsep dan Realita,” Makalah Diskusi Publik HTI. 29 Pebruari 2004. Jogjakarta.