F. Pendidikan Kewartawanan
Sesungguhnya, wartawan itu tidaklah dilahirkan, tetapi diciptakan. Jurnalisme adalah perpaduan antara seni dan ilmu. Itulah sebabnya, mengandalkan bakat saja tidaklah cukup untuk dijadikan modal sebagai wartawan. Terlebih lagi untuk menjadi seorang wartawan yang baik.
Dulu, memang pernah ada ungkapan di kalangan tokoh-tokoh jurnalistik, "A Journalist is born," wartawan itu dilahirkan, sebagai lawan dari ungkapan lain, "Wartawan bisa dididik atau diciptakan."
Mereka yang mempunyai pendapat pertama, tidak setuju dengan adanya kursus atau pendidikan wartawan. Pendapat kedua, memandang perlu. Akhirnya, seperti terlihat belakangan ini, pendapat pertama dan kedua larut menjadi satu. Maka orang yang mempunyai bakat dan ditambah dengan teori, akan mencapai prestasi yang lebih baik daripada orang yang hanya mengalami praktek saja. Juga akan melebihi orang yang baik teorinya, tapi memang tidak punya bakat. Jadi, bakat dan teori harus bergandengan tangan.
Untuk mengerjakan sesuatu memang harus ada bakat. Dan bakat itu baru tampak, kalau seseorang melakukan praktek itu sendiri. Barulah bisa dikatakan apakah ia mempunyai bakat atau tidak.
Menurut penuturan Soendoro (1977:24-26), tokoh-tokoh jurnalistik Indonesia seperti Soewardi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Dr. Setya Budhi, Agus Salim, Dr. Rivai, Dr. Sam Ratulangie, Tjindarbumi, JD Syaranamual, Soetopo Wonobojo, Soedarjo Tjokrosisworo, Parada Harahap, Anwar Tjokroaminoto -- dan masih banyak lagi -- tidak mempunyai pendidikan jurnalistik. Biasanya mereka guru atau pemimpin pergerakan, yang harus mempergunakan organ untuk mendukung propaganda perjuangan kemerdekaan. Satu contoh seperti Soedarjo Tjokrosisworo adalah orang yang lulusan "Ujian Pegawai Kecil" (Klein Ambtenaars Examen) zaman Hindia Belanda. Tjindarbumi, Syaranamual, Soewardi Soeryaningrat, adalah mahasiswa kedokteran yang tidak lulus. Namun namanya terkenal pada zamannya. Tulisannya dibaca dan disukai orang.
Djamaluddin Adinegoro dan Tabrani, di samping keduanya memang mempunyai bakat, mereka juga adalah orang yang pernah mengikuti pendidikan jurnalistik di luar negeri, sehingga mereka berkembang menjadi wartawan-wartawan yang baik pada masanya.
"Apabila di kalangan jagat wartawan Indonesia ada bintang-bintang, maka Djamaluddin Adinegoro adalah salah satu di antaranya," demikian tulis Soebagijo I.N.(1987:v) dalam bukunya Adinegoro: Pelopor Jurnalistik Indonesia. Dia, kata Soebagijo, merupakan salah seorang pelopor dari kaum wartawan Indonesia yang mempelajari ilmu publisistik dan ilmu jurnalistik, langsung dari sumbernya, di Jerman.
Memang, pada masa itu jumlah kaum wartawan Indonesia yang menuntut ilmu jurnalistik secara formal masih sangat langka; mengingat bahwa pada tahun 25-an di Indonesia (yang masih menjadi tanah jajahan Belanda) masih belum mempunyai sekolah yang sejenis.
Nama Adinegoro lebih dikenal sebagai seorang wartawan, pengarang; seorang ahli pikir yang cemerlang, cerdas, dan seorang ahli pembuat laporan perjalanan, tukang membuat analisis politik dalam dan luar negeri. Tulisan-tulisannya banyak mendapatkan minat serta perhatian dari sidang pembacanya.
Menurut penuturan Soebagijo, tidak sedikit jumlah kaum muda di sekitar tahun 1930-an menjadi pengagum Adinegoro dan di kemudian hari bahkan lalu menduduki tempat yang penting di kalangan jagat wartawan Indonesia. Diam-diam mereka meneladani serta mengikuti jejak langkah yang telah ditempuh Djamaluddin tadi.
Begitulah, dalam perjalanan hidupnya, akhirnya Adinegoro berhasil mendapatkan tempat terpandang di kalangan jagat wartawan Indonesia; dan bahkan untuk menghormati serta memperingati jasa-jasanya setiap tahun -- sudah sejak beberapa waktu lamanya -- Persatuan Wartawan Indonesia Jakarta Raya menyediakan tanda penghargaan bagi karya jurnalistik terbaik. Tanda penghargaan tadi diberi nama "Hadiah Adinegoro," yang memang dikaitkan dengan nama nestor jurnalis Indonesia itu.
Sementara itu, di negara-negara yang telah maju sekalipun, sampai sekarang masih diperdebatkan tentang perlu tidaknya seseorang melalui proses pendidikan di bidang kewartawanan sebelum ia terjun ke dunia jurnalistik. Sebagian orang beranggapan, yang diperlukan hanyalah langsung terjun ke lapangan dan sambil jalan meningkatkan mutu kerja kewartawanannya. Sebagian orang lagi menganggap, pendidikan khusus bagi para wartawan masih diperlukan sebelum mereka terjun ke dunia kewartawanan.
Terlepas dari perdebatan di atas, dalam kenyataannya hampir di semua negara, termasuk Indonesia, kita mengenal adanya perguruan tinggi yang memiliki akademi/program studi/jurusan/ fakultas/college jurnalistik/publisistik/komunikasi massa/komunikasi. Namun, kita pun melihat kenyataan bahwa tidak semua lulusannya menerjunkan diri ke dalam dunia kewartawanan.
Pendidikan secara formal di bidang jurnalistik sudah ada di tanah air kita sejak zaman kolonial dulu. Institut Kesatrian yang didirikan oleh Douwes Dekker, mengajarkan jurnalistik dan ada beberapa muridnya dahulu yang kemudian berkembang menjadi wartawan yang baik (Assegaff, 1982).
Yang dimaksud pendidikan formal bidang jurnalistik menurut hasil perumusan "Seminar mengenai Fasilitas dan Pola Pendidikan dan Latihan Kewartawanan di Indonesia", yang diselenggarakan pada tahun 1976, adalah: pendidikan yang menganut sistem persekolahan dan diselenggarakan oleh fakultas/jurusan publisistik atau komunikasi dari suatu perguruan tinggi/akademi.
Sebagai pendidikan tinggi, bidang jurnalistik baru dimulai setelah kemerdekaan; tepatnya setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada tahun 1949, yakni dengan pendirian Akademi Wartawan oleh Parada Harahap, di Jakarta. Akademi inilah sebenarnya yang menjadi pelopor dari Perguruan Tinggi Djurnalistik (PTD), kemudian menjadi Sekolah Tinggi Publisistik (STP), yang akhirnya berganti lagi menjadi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.
Lembaga-lembaga pendidikan tinggi lain, Gadjah Mada, misalnya, merupakan universitas negeri tertua yang mempunyai program pendidikan ilmu komunikasi. Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) didirikan bulan Mei 1948, sebagai bagian dari Akademi Ilmu Politik (Negeri) di Yogyakarta. Dewasa ini, pendidikan ilmu komunikasi pada universitas tersebut, menurut buku pedoman yang dikeluarkan Korps Mahasiswa Komunikasi Fisipol UGM (1985), diarahkan ke pendidikan profesional; profesional dalam pengetahuan, etika, dan tanggung jawabnya.
Selain di UGM, program pendidikan ilmu komunikasi pun diselenggarakan di Universitas Indonesia (1959), Jakarta, kemudian diikuti Universitas Padjadjaran (1960), Bandung.
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran yang berkembang pesat seperti sekarang, pada awalnya bernama Fakultas Jurnalistik dan Publisitik. Pada tanggal 1 Februari 1962, namanya mengalami perubahan menjadi Fakultas Publisistik dan Jurnalistik. Kemudian berubah lagi menjadi Fakultas Publisistik Yayasan pembina Unpad (1963); lalu menjadi Institut Publisistik Yayasan Pembina Unpad (1964); tahun 1965, berubah lagi menjadi Fakultas Publisistik (negeri); dan terakhir hingga sekarang, menjadi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad). Fikom Unpad ini sekarang memayungi empat jurusan, yakni: Jurusan Ilmu Jurnalistik, Ilmu Hubungan Masyarakat, Ilmu Perpustakaan, dan jurusan Manajemen Komunikasi.
Pada perkembangan selanjutnya, banyak universitas negeri lain yang menyelenggarakan pendidikan ilmu komunikasi/jurnalis- tik. Begitu pula dengan beberapa universitas swasta. Universitas Islam Bandung (Unisba), misalnya, menyelenggarakan program pendidikan Ilmu Jurnalistik -- selain membuka program studi Ilmu Hubungan Masyarakat, dan program studi Manajemen Komunikasi -- di bawah binaan Fakultas Ilmu Komunikasi (1983). Sekarang, Fikom Unisba yang bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Islam (YPI) ini sudah menghasilkan para sarjananya yang kini bekerja, baik sebagai wartawan media cetak, maupun wartawan media elektronika, di samping ada pula yang menjadi pegawai di berbagai departemen, dan lain-lain.
Dari cukilan sejarah serta fenomena pendirian beberapa lembaga pendidikan tinggi bidang jurnalistik atau ilmu komunikasi ini, dalam pengamatan Dja'far H. Assegaff (1982), ada sesuatu yang patut sekali diperhatikan:
Pertama, pendirian Akademi Wartawan yang kemudian menjadi Perguruan Tinggi Djurnalistik (PTD) oleh Parada Harahap, jelas ditujukan untuk mendidik wartawan. Kurikulumnya jelas berorienta- si pada profesi. Ia merupakan suatu professional school.
Kedua, pendidikan tinggi di universitas-universitas negeri, orientasinya ilmiah dan tidak menjurus kepada professional school. Dalam pendirian Jurusan Publisistik pada Fakultas Hukum IPK, Prof. Djokosutono (almarhum), selama beberapa kali kuliah menguraikan "publisistik" sebagai ilmu untuk menghadapi kritik-kritik pendirian jurusan ini, yang oleh sebagian sarjana menganggap bahwa kewartawanan atau jurnalistik adalah seni.
Dengan menunjukkan dua hal di atas, demikian Assegaff, ingin ditunjukkan bahwa titik pangkal pendirian pendidikan tinggi ini jauh berbeda. "Yang satu secara nyata ditujukan sebagai professional school, sedang yang lain dikembangkan sebagai lembaga ilmiah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya publisistik," jelas Assegaff.
Sebagai suatu applied science (ilmu terpakai), maka bentuk pendidikan pada fakultas/jurusan publisistik atau jurnalistik atau komunikasi massa, pada pokoknya memang harus meliputi tiga aspek pendidikan, yakni aspek pendidikan umum, aspek pendidikan profesional, dan aspek pendidikan spesialisasi (Abdurrachman, dalam Suparto, 1982).
Aspek pendidikan umum, meliputi matakuliah-matakuliah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan umum setiap manusia sarjana dan atau warga negara yang baik. Aspek pendidikan profesional, meliputi matakuliah-matakuliah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar seorang sarjana, dalam hal ini sarjana jurnalistik/publisistik/komunikasi massa. Aspek pendidikan spesi- alisasi, meliputi matakuliah-matakuliah termasuk matakuliah tambahan, untuk kebutuhan fungsional khusus bagi seorang sarjana publisistik/jurnalistik/komunikasi massa menurut arah studi atau spesialisasi atau pun jurusan yang dipilihnya.
Selain lembaga-lembaga pendidikan tinggi, sejumlah organisa- si pers juga menyelenggarakan pendidikan jurnalistik pascasarja- na. Misalnya, Sekolah Jurnalistik ANTARA, Lembaga Pers Dr. Soeto- mo (LPDS) yang dimiliki Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pusat Pelatihan Multi Media (MMTC) yang dijalankan oleh Departe- men Penerangan (Hadi, dalam Republika, 30 Mei 1995)
Memang, pendidikan wartawan yang dilakukan oleh organisasi pers dan Departemen Penerangan serta departemen-departemen lain selama ini, cukup banyak. Suatu studi evaluasi tersaji. Pada umumnya pendidikan dan karya latihan itu lebih dititikberatkan kepada: bahasa pers yang baik, cara menulis berita yang baik. Kemudian juga pada peningkatan pengetahuan tentang berbagai bidang: koperasi, perikanan, perkebunan, hukum, perdagangan, perbankan, film. (Oetama, 1987:209).
Pada Lembaga Pendidikan Dr. Soetomo (LPDS), sebagaimana dikutip Kompas, 11 Maret 1992, tercantum sejumlah nama dewan pengurus lembaga yang hampir seluruhnya merupakan nama-nama yang sangat dikenal di kalangan pers, di antaranya Jakob Oetama, Goenawan Mohamad, Zulharmans (almarhum), atau pun Dja'far H. Assegaff.
Lembaga Pers yang memulai programnya sejak 1990 ini tampaknya berupaya untuk mendekatkan pendidikannya dengan kebutuhan praktis di lapangan. Kurikulum yang penyusunannya dikonsultani oleh R.E Stannard Jr, mantan kepala biro Indonesia untuk United Press International (UPI) dan kini menjadi salah seorang tenaga pengajar inti di LPDS, memang memperlihatkan itu. Dengan masa pendidikan satu tahun, total SKS 56 kredit, programnya dibagi menjadi empat triwulan, dengan masa belajar 10 minggu per triwulan.
Pada triwulan pertama misalnya, peserta dibekali dengan da- sar teori menulis, pengetahuan dasar jurnalistik dan sejarahnya; triwulan kedua berisi reportase; triwulan ketiga diisi dengan magang selama delapan minggu di perusahaan penerbitan media massa; dan pada triwulan terakhir diisi dengan teknik reportase lanjut (pendalaman), sekaligus penyiapan para peserta untuk disalurkan ke berbagai penerbitan. Dari tahapan magang inilah para peserta memperoleh pengetahuan konkret mengenai keadaan di lapangan yang sesungguhnya.
Menurut penjelasan Kurniawan Junaedhie (1993:15), banyak lulusannya yang bekerja di penerbitan pers menjadi wartawan. Dan wartawan lulusan LPDS, umumnya memang punya posisi tawar-menawar yang bagus, sehingga sering-sering gajinya bisa relatif lebih lumayan dibanding mereka yang bukan keluaran dari sekolah ini. "Sebagai gambaran saja, lulusannya, meminta bayaran Rp 8 juta, untuk bekerja selama 2 (dua) tahun di penerbitan pers. Ini harga tahun 1992 lalu," katanya.
Apabila dirunut dari sejarah pers dunia, menurut Dja'far Assegaff, sistem pendidikan untuk menghasilkan tenaga terampil di bidang ini memang sudah dipercaya sejak lama, meskipun sebagian kalangan lainnya juga mengatakan bahwa wartawan hanya bisa dilahirkan melalui pengalaman di lapangan. "Di Eropa misalnya, kecuali di Jerman, dulunya sangat dipercaya bahwa wartawan hanya bisa dibentuk oleh alam. Karena itu, di Inggris misalnya, profesi wartawan dibentuk melalui proses magang," jelas (mantan) Ketua dewan Kehormatan PWI ini.
Sebaliknya, tambah Assegaff, di AS sudah lama diyakini bahwa wartawan dapat dihasilkan dari pendidikan, misalnya saja dibukti- kan lewat berdirinya sebuah lembaga pendidikan pers di Illinois tahun 1897 (Kompas, 11 Maret 1992).
Jadi, institusi pendidikan mana sebetulnya yang bisa menyi- apkan profesi kewartawanan ini? Yang jelas harus pendidikan tinggi. Dalam kompleksnya fenomena yang dihadapi sekarang, pendidikan menengah sudah tidak memadai. Hanya saja, pendidikan tinggi yang mengajar dan mengembangkan praktek-praktek dalam bidang pers, boleh dikatakan tidak ada. Terutama sejak institusi pendidikan tinggi diubah dalam dua kutub, yaitu program pendidikan S1 yang berorientasi teoretik akademik/analitis, dan program D yang berorientasi praktik profesi, tidak ada perguruan tinggi negeri yang menyediakan program D. Bahkan sejumlah perguruan tinggi swasta yang pernah menyelenggarakan pendidikan setingkat sarjana muda dan berorientasi praktek profesi, ikut-ikutan mengubah diri meniru program S1.
Karenanya, seperti pernah dikatakan Ashadi Siregar (Reporter No.4, 1989), tenaga untuk profesi jurnalisme tidak pernah disiapkan secara khusus oleh perguruan tinggi, tidak juga oleh perguruan tinggi yang mengajarkan Ilmu Komunikasi. Program S1 perguruan tinggi yang mengajarkan Ilmu Komunikasi pada dasarnya diharapkan menyiapkan tenaga yang menguasai metodologi dan teori-teori ilmu komunikasi secara khusus, dan teori-teori ilmu sosial lainnya sebagai pelengkap bagi pendekatan interdisipliner. Dunia pers sebagai institusi yang ditopang oleh profesi jurnalisme (dan bisnis) hanya dapat berlangsung jika disuplay oleh masyarakat dengan personel yang handal. Dengan kata lain, sebelum diserap oleh institusi pers, di dalam masyarakat diharapkan sudah ada proses untuk menyiapkan tenaga-tenaga tersebut.
Meski demikian hal ini pada prakteknya bukan tanpa masalah. Secara umum dikemukakan beberapa masalah yang hampir-hampir klasik bagi banyak forum pendidikan dan latihan. Misalnya, seperti dituturkan Jakob Oetama (dalam Said, ed., 1992:10-11), mereka yang dikirim oleh penerbitan mengikuti pendidikan, tidak senantiasa wartawan yang tepat, akan tetapi wartawan yang bisa dibebaskan dari pekerjaannya. Setelah mengikuti pendidikan, wartawan tidak memperoleh perhatian yang pas dari atasannya dan tidak memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan. Penerbitan juga tidak melakukan evaluasi tentang dampak pendidikan yang diikuti oleh wartawannya.
Dengan kian berkembangnya dunia penerbitan menjadi industri komunikasi, maka kebutuhan akan wartawan dengan sendirinya akan meningkat. Namun sayangnya, perguruan tinggi bidang publisistik/komunikasi atau jurnalistik, tidak mampu menghasilkan tenaga yang terampil dan siap pakai. Ini, menurut Assegaff (dalam Siregar, dkk, ed.,1982:36), disebabkan sistem pendidikan yang jauh dari sistem "professional training". Karena itu, diperlukan pendidikan jurnalistik yang menggunakan cara praktek dan driling.
Dalam penilaian Assegaff, pendidikan jurnalistik yang dibutuhkan adalah yang mampu menumbuhkan keterampilan mengumpulkan fakta, menganalisa fakta tersebut, dan menuliskannya dengan bahasa yang lugas. Karena itu penting diajarkan metodologi mencari fakta, mempertajam indera berita. Sementara, keterampilan bahasa yang mutlak diperlukan, bukan hanya dipelajari dari buku-buku, tetapi dari latihan-latihan. Demikian pula keterampilan mengarang (menulis). Dengan latihan, bisa dicapai kemampuan mengarang yang tinggi.
Ada yang berpendapat, wartawan hanya perlu pengetahuan yang cukupan saja. Seorang redaksi koran Amerika, demikian tutur Sabam Siagian (1997:122), pernah mengatakan, "Saya bisa didik wartawan saya dalam tiga bulan." Dengan itu si wartawan memang bisa menulis tentang astronot dan angkasa luar, karena apa yang ingin diketahui oleh pembaca kita bukanlah hal-hal yang njlimet tetapi yang dasar-dasar (basic) saja. Tetapi kesulitannya adalah bagaimana menuliskan yang dasar-dasar itu secara menarik dan kaya kalau wartawan tidak memiliki latar-belakang yang kuat tentang masalah ruang angkasa. Wartawan tetap dituntut untuk belajar lebih banyak.
Menurut Jakob Oetama (dalam Atmadi, ed., 1985a:151), pendi- dikan wartawan bisa ditinjau dari dua segi. Pertama, pendidikan secara menyeluruh yang menyangkut kerangka sosial, kepribadian, pengetahuan umum, dan keterampilan. Kedua, pendidikan wartawan secara terbatas, hanya menyangkut keterampilan dan teknik. Pendekatan yang kedua ini oleh seorang wartawan senior yang banyak terjun dalam dunia pendidikan wartawan, Rosihan Anwar, diberi istilah pendidikan untuk melatih "common garden journalists" (Atmadi, 1985b:67).
Dilihat dari dua pendekatan pendidikan di atas, umumnya kita akan segera memilih pendekatan pertama, yang integral. Pendidikan secara integral di mana kerangka sosial dijadikan referensi utama, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia, tentunya harus menggunakan latar belakang sosio kultural dan politis negeri sendiri, karena yang akan dibentuk adalah wartawan yang akan bekerja sebagai komunikator di dalam masyarakat bangsanya.
Karena itu, untuk mengembangkan pers yang sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat, yakni pers yang menyajikan berita sebagai informasi dan sebagai komunikasi secara lebih lengkap, dalam, aktual, dan jelas, tetap berlaku kualifikasi wartawan di mana pun dan yang tercantum dalam buku-buku jurnalistik. Kualifikasi itu adalah kepekaan terhadap masalah manusia, pikiran yang kritis, lincah, terus mencari dan menggugat, hati yang hangat, penuh kompassi, gelisah. Semangat kerja keras tidak setengah-setengah. Kualifikasi ini tetap merupakan persyaratan pokok. Tanpa kualifikasi itu, wartawan tidak bisa berkembang secara optimal, dan karena itu juga tidak mampu mendukung koran secara maksimal.
Jadi, kualifikasi itu sesungguhnya diangkat dalam konteks ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan khusus. Konteks ilmu itu, di satu pihak akan mempertajam kualifikasi-kualifikasi di atas, akan mengembangkannya. Di lain pihak, konteks ilmu akan melengkapinya dengan pengetahuan, pandangan, dan orientasi yang mampu melihat peristiwa dan mengangkatnya sebagai bahan berita dalam suatu bentuk dan isi yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat, yang lebih bermanfaat untuk masyarakat dan pemerintah.
Sudah barang tentu bagi seorang wartawan sejak permulaan ia menginjakkan kakinya di dalam redaksi merupakan proses penambahan pengetahuan yang berlangsung terus-menerus. Sebab itu kiranya cukup beralasan bila Peerboom (1970:118) berujar, "adalah omong kosong bila seseorang mengatakan bahwa kewartawanan dapat dipelajari dari buku-buku dengan hasil yang lebih memuaskan, sebab buktinya dari pekerjaan praktek kemudian ia akan dapat memilih buku-bukunya sendiri yang dianggapnya baik untuk dipelajari." Oleh karenanya, menurut dia, praktikum merupakan pelajaran yang akan mematangkan sang wartawan. Bila ternyata sang calon wartawan ini mempunyai pendidikan akademis, maka penghargaan akan diperolehnya karena ia dengan amat cakapnya akan memperoleh hasil-hasil yang lebih baik di dalam pelaksanaan tugasnya. Hal semacam itu, lanjut Peerboom, setidak-tidaknya akan diperoleh oleh seseorang yang telah melampaui pendidikan tinggi jurnalistik yang pada saat sekarang masih amat terbatas.
Sehubungan dengan itu, bertambahnya wartawan yang berpendi- dikan baik, tentu sangat dibutuhkan di masa kini, terlebih lagi pada tahun-tahun mendatang mengingat teknologi canggih yang akan atau sedang memasuki dunia media, baik cetak maupun elektronika yang akan banyak mengubah cara kerja wartawan. Misalnya, bagaimana mutlaknya sikap proaktif dan kecepatan seorang wartawan dalam memberikan tanggapan, digambarkan secara rinci oleh Randy Reddick dan Elliot King (1995) dalam buku mereka, Online Journalist, using the Internet and Other Electronic Resources: "Sewaktu hendak menulis tentang krisis anggaran di negaranya, Tom Regan, wartawan Daily News (Kanada), mengontak Usenet dan Bitnet. Ia mencari ahli anggaran. Dengan sigap seorang profesor di Montreal mengontaknya kembali melalui jaringan komputer dan merekomendasikan tiga orang profesor di Amerika dan seorang di Australia. regan tinggal mengontak mereka. Lalu dengan Gopher, ia mencari referensi pendukung ke pangkalan data dunia. Dalam waktu satu jam ia mendapatkan hampir semua bahan yang diperlukan."
Begitulah, perkembangan pesat teknologi telekomunikasi dan informasi, seperti digambarkan Randy Reddick dan Elliot King, pada gilirannya akan memacu persaingan yang semakin ketat dalam pencarian, pengumpulan, dan pengolahan berita, sekaligus persaingan bisnis media. Persaingan pun, bukan hanya terjadi antara media dalam negeri, tapi juga dengan media asing. Di Indonesia pun -- karena negeri ini memang menerapkan "kebijakan udara terbuka" -- lebih dari 150 penerbitan asing beredar di sini.
Terlepas dari soal teknologi, pembangunan sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor sangat penting dalam menentukan apakah media cetak atau media elektronika akan sanggup bertahan di tengah persaingan yang sedemikian keras.
Di era serba kompetitif ini, zaman kita pun semakin ditandai oleh spesialisasi. Spesialisasi, Kata Jakob Oetama (1992), adalah akibat terjadinya diferensiasi dalam perkembangan masyarakat. Diferensiasi yang melahirkan berbagai pekerjaan, keahlian dan profesi baru, pertanda kemajuan masyarakat. Perkembangan dalam masyarakat memantulkan dampak ke pers. Pers juga dituntut semakin menumbuhkan spesialisasi pada lembaganya, baik dalam bidang redaksi, maupun dalam bidang manajemen bisnis dan teknologi cetak.
Sekadar contoh dapat dikemukakan, betapa pesatnya muncul pengetahuan baru dan istilah baru dalam ekonomi keuangan. Untuk meliput sepakbola dengan memadai pun, diperlukan pengetahuan umum plus pengetahuan spesialisasi mengenai olah raga tersebut.
Tak cuma itu, hal yang sama berlaku juga untuk bidang ilmu dan teknologi. Rubrik semakin digemari oleh khalayak pembaca. Penanganannya dituntut semakin profesional oleh wartawan yang menguasai ilmu dan teknologi.
Sebab itu, adalah wajar jika wartawan yang mempunyai latar belakang pendidikan teknologi, hukum, ekonomi, sejarah, atau sosiologi, lebih cepat mengembangkan spesialisasi dalam bidangnya ketimbang wartawan yang tidak berlatar-belakang bidang-bidang tersebut.
Dari segi ini, para sarjana dari berbagai fakultas yang menjadi wartawan, secara teoretis, bisa lebih cepat menguasai dan mengembangkan spesialisasi.
Jika demikian halnya, apakah lantas tak ada lagi tempat bagi lulusan jurusan komunikasi atau jurnalistik yang ingin menjadi wartawan?
Menurut Jakob Oetama (1992:12), tidaklah demikian duduknya perkara. Tidak semua lulusan jurusan komunikasi berminat menjadi wartawan. Tidak kalah jumlah lulusan yang memilih bekerja dalam bidang ilmu komunikasi kehumasan, periklanan, dan berbagai departemen.
Secara teoretis, tambah Jakob, mereka yang memilih menjadi wartawan, dilengkapi kelebihan yang lain sifatnya. Lulusan jurusan komunikasi mempunyai dasar pengetahuan akademis untuk mata pelajaran seperti ekonomi, sosiologi, hukum, tata negara. Di samping itu, mereka juga mempunyai pengetahuan yang menjurus ke spesialisasi dalam bidang komunikasi termasuk jurnalistik. Mereka memahami proses komunikasi, hubungan komunikasi dan masyarakat, posisi dan kaitan komunikasi massa dengan sistem sosial, terutama dengan sistem sosial politiknya. Mereka mempelajari perbandingan teori dan sistem komunikasi. "Pengetahuan itu bisa menjadi dasar yang kukuh untuk menjadi wartawan yang baik," jelas Jakob.
Namun lepas dari itu, seperti dikatakan B.M. Diah (1977), belum ada statistik yang mencatat jumlah wartawan yang menjadi besar dan ternama oleh karena ia mempraktekkan pelajaran-pelajaran yang diberikan sekolah kepadanya.
Memang harus kita akui bahwa pada umumnya wartawan menjadi besar dan ternama karena mahirnya ia menggunakan apa yang selalu kita sebut "pancaindera keenam", yang tidak bisa diperoleh atau diketemukan pada mata kuliah di perguruan tinggi manapun; intuisi, instink!
Ia menggunakan matanya lebih intensif dibanding orang-orang biasa. Ia memasang telinganya bagaikan hendak membuka tabir rahasia dari bisikan-bisikan halus. Ia dapat merasa apa yang orang lain tidak rasakan. Selebihnya, ia diberikan kesempatan setiap saat guna memperkaya diri dengan pengetahuan kehidupan secara lebih menyeluruh.***
Daftar Pustaka
Adinegoro, Publisistik & Djurnalistik, Djilid II, Gunung Agung, Jakarta, 1961.
----------, Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1954.
Adnan, H. Kiagus, "Berita Objektif dan Missi Pers," dalam Atmadi, T. (ed.), Bunga Rampai, Catatan Pertumbuhan dan Perkembangan Sistem Pers Indonesia, PT Pantja Simpati, Jakarta, 1985a hlm. 283-290.
Atmadi, T., Sistem Pers Indonesia, PT Gunung Agung, Jakarta, 1985b.
Anwar, H. Rosihan, Wartawan & Kode Etik Jurnalistik, PT Jurnalindo Aksara Grafika -- Majalah Gatra, Jakarta, 1996.
----------, Menulis dalam Air, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1983.
----------, Profil Wartawan Indonesia, Proyek Pembinaan dan Pengembangan Pers Departemen Penerangan RI, Jakarta, 1977.
Arpan, Floyd G., Wartawan Pembina Masyarakat, Penyadur S. Rochady, Penerbit Binatjipta, Bandung, 1970.
Assegaff, Dja'far H., "Derajat Kebutuhan Ketrampilan Wartawan Indonesia," dalam Siregar, Ashadi, dkk (ed.), Bagaimana Menjadi Penulis Media Massa, PT Karya Unipress, Jakarta, 1982, hlm. 35-36.
----------, "Pendidikan dan Latihan Wartawan (Sebuah Tinjauan dengan Pendekatan Kelembagaan)," dalam Hasil-hasil Loka Ripta Pers tentang Sistim Pendidikan dan Latihan Kewartawanan 1982di Medan, Proyek Peningkatan Ketrampilan Jurnalistik Departemen Penerangan RI, 1982, hlm. 60-62.
Bertens, K., Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
Broder, David S., Berita di Balik Berita, Penerjemah Lilian Tedjasundana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992.
Coblentz, Edmond D. (ed.), Wartawan-wartawan Berbitjara, Balai Penerbit Masa, Jakarta, 1961.
Diah, B.M., "Profesi Wartawan," dalam Wibisono, Christianto (ed.) Pengetahuan Dasar bagi Wartawan Indonesia, Dewan Pers, Jakarta, 1977, hlm. 47-55.
Effendy, Onong Uchjana, "Problematik Profesi Kewartawanan," Pikiran Rakyat, 1 September 1990.
Hadi, Parni, "Wartawan Indonesia dan Jenderal MacArthur," Republika, 30 Mei 1995.
Hester, Albert L. dan Wai Lan J. To (eds.), Handbook for Third Journalists, The Center for International Mass Communication Training and Research, Henry W. Grady School of Journalism and Mass Communication The University of Georgia, Athens, Athens, Georgia, 1987.
Hill, David T., "Fuad Muhammad Syafruddin: Pejuang Lokal Berwawasan Global," dalam Massardi, Noorca M., dkk (ed.), Udin Darah Wartawan: Liputan Menjelang Kematian, Pustaka Republika -- Mizan, Bandung, 1997, hlm. 17-22.
Junaedhie, Kurniawan, Menggebrak Dunia Wartawan, Puspa Swara, Jakarta, 1993.
----------, Ensiklopedi Pers Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991.
Joesoef, Daoed, "Hendaknya Terangmu Bercahaya di Depan Orang," Sinar harapan, 29 April 1986.
Klaidman, Stephen dan Beauchamp, Tom L., "The Virtous Journalist: Morality in Journalism," dalam Cohen, Elliot D., Philosophical Issues in Journalism, Oxford University Press, New York, 1992, hlm. 39-49.
Kompas, "Lembaga Pers Dr Soetomo Tumbuhkan Idealisme di Tengah Suasana Sulit," 11 Maret 1992.
Lubis, Mochtar, Pers dan Wartawan, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1963.
Massardi, Noorca M., dkk (ed.), Udin Darah Wartawan: Liputan Menjelang Kematian, Pustaka Republika -- Mizan, Bandung, 1997.
Oetama, Jakob, "H. Rosihan Anwar sebagai Wartawan dan Pendidik Wartawan," dalam Said, Tribuana (ed.), H. Rosihan Anwar: Wartawan dengan Aneka Citra, Penerbit Harian Kompas, Jakarta, 1992, hlm. 7-15.
----------, Perspektif Pers Indonesia, Penerbit LP3ES, Jakarta, 1987.
----------, "Apa Maunya Wartawan?" dalam Atmadi, T. (ed.), Bunga Rampai, Catatan Pertumbuhan dan Perkembangan Sistem Pers Indonesia, PT Pantja Simpati, Jakarta, 1985b, hlm. 149-155.
----------,"Pers Penjalur Hatinurani Rakjat," dalam Peranan dan Sumbangan Pers dalam Pembangunan Nasional, Penerbit Binatjipta, Bandung, 1971, hlm. 67-73.
Peerboom, Robert, Surat Kabar, Penyadur S. Rochady, Alumni, Bandung, 1970.
Pikiran Rakyat, "Pers Sedang Disorot," Tajukrencana, 9 Februari 1994.
Reddick, Rendy dan King, Elliot, Online Journalist, using the Internet and Other Electronic Resources, Harcourt Brace & Company, 1995.
Sevareid, Eric, "Masalah bagi Jurnalisme Televisi," dalam Peranan Media Massa, Penerjemah Abdullah Alamudi, USIS (United States Information Service), Jakarta, 1991.
Siagian, Sabam, "Pers Nasional di Antara Persaingan dan Arus Informasi Global: Prospek Pers dan Profesi Wartawan," dalam Akhmadi, Heri, Ilusi Sebuah Kekuasaan, Institut Studi Arus Informasi & Pusat Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, 1997, hlm. 119-126.
Siregar, Ashadi, "Jagad Wartawan Indonesia Era Orde Baru: Melalui Threes Nio," dalam Sugiantoro, R.B. dan Dhakidae, Daniel, Threes Nio, Laporan dari Banaran, Penerbit harian Kompas, Jakarta, 1995, hlm. xvii-xliii.
----------, "Peranan Jalur Pendidikan dalam Upaya Memasyarakatkan Pers Pancasila," Reporter No.4/Tahun I/Agustus-September 1989, hlm. 3-8.
Soebagijo I.N., Adinegoro, Pelopor Jurnalistik Indonesia, CV Haji Masagung, Jakarta, 1987.
----------, "Wartawan dan Risiko Pekerjaannya," Pelita, 19 Maret 1986.
Soendoro, Suratkabar, UP Indonesia - Tarate NV, Yogyakarta, 1977.
Suparto, Ina Ratna Mariani, "Menata Sistim Pendidikan Formil di Bidang Jurnalistik sesuai dengan Kebutuhan Dunia Persuratkabaran," dalam Hasil-hasil Loka Ripta Pers tentang Sistim Pendidikan dan Latihan Kewartawanan 1982 di Medan, Proyek Peningkatan Keterampilan Jurnalistik Departemen Penerangan RI, 1982, hlm. 48-51.
Thayib, Anshari, "Profesi Wartawan di Tengah Perubahan Watak Lembaga Penerbitan Pers," dalam Akhmadi, Heri (ed.), Ilusi Sebuah kekuasaan, Institut Studi Arus informasi & Pusat Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, 1997, hlm. 109-118.
Tunstall, Jeremy, Journalists at Work, Sage Publications, Beverly Hills, California, 1971.*