Etika normatif tidak berbicara lagi tentang gejala-gejala, melainkan tentang apa yang sebenarnya harus merupakan tindakan kita. Dalam etika normatif, norma-norma dinilai, dan sikap manusia ditentukan (Hamersma, 1994:24). Jadi, etika normatif berbicara mengenai pelbagai norma yang menuntun tingkah laku manusia. Etika Normatif memberi penilaian dan himbauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana seharusnya berdasarkan norma-norma. Ia menghimbau manusia untuk bertindak yang baik dan menghindari yang jelek.
Hal yang sama juga dirumuskan Bertens (1993:18) dengan mengatakan bahwa etika normatif itu tidak deskriptif melainkan preskriptif (=memerintahkan), tidak melukiskan melainkan menentukan benar-tidaknya tingkah laku atau anggapan moral. Untuk itu ia mengadakan argumentasi-argumentasi. Jadi, ia mengemukakan alasan-alasan mengapa suatu anggapan moral dapat dianggap benar atau salah.
Selanjutnya, etika normatif dapat dibagi ke dalam etika umum dan etika khusus. Penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang disebut etika umum dan etika khusus akan diuraikan setelah kita membahas soal metaetika.
METAETIKA
Awalan meta (dari bahasa Yunani) mempunyai arti "melebihi," "melampaui". Istilah ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas di sini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas (Bertens, 1993:19). Metaetika, seperti dikatakan Bertens, seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf "bahasa etis" atau bahasa yang kita pergunakan di bidang moral.
Karena itu, persoalan yang menyangkut metaetika adalah persoalan yang rumit. Pertanyaan tentang hakikat keadilan, hakikat ketidakadilan, bahkan hakikat kebaikan dan keburukan, kerapkali tidak bisa dijawab secara memuaskan.
Kerumitan metaetika yang pada dasarnya meneliti soal gaya bahasa dalam ungkapan etis ini juga disinggung C.A. van Peursen. Adakah yang dipentingkan dalam bahasa etis itu pengetahuan semata-mata (misalnya: "perbuatan itu jahat")? Dalam kaitan ini Peursen melihat, ada filsuf-filsuf, seperti Max Scheler, yang memang berpendapat bahwa manusia mengenal nilai-nilai etis. Tetapi bukankah dalam pengetahuan tentang nilai-nilai etis manusia justru mengatasi tahap pengetahuan belaka. Bukankah ucapan "perbuatan itu jahat", mengungkapkan suatu sikap? Jadi, bukan informasi semata-mata. Menurut Peursen, pendirian ini juga dianut oleh sementara filsuf analistis. Lewat analisa serupa itu juga dapat dipergoki kesalahan-kesalahan dalam penalaran. Demikian G.E. Moore pernah menganalisa penalaran naturalistis yang ingin mengembalikan putusan etis-normatif dijadikan konstatasi belaka mengenai fakta. Misalnya ucapan "ini tidak boleh" (etis-normatif) diasalkan dari ucapan "ini tidak boleh karena pengalaman mengajarkan, bahwa perbuatan itu merugikan" (Peursen, 1991:229).
Memang salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah apa yang disebut Bertens the is/ought question -- ini dalam penjelasan Bertens adalah judul sebuah buku terkenal yang mengumpulkan pelbagai karangan tentang tema ini: W.D Hudson (ed.), The is/Ought Question (1969). Yang dipersoalkan di sini ialah apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual. Kalau sesuatu ada atau kalau sesuatu merupakan kenyataan (is: faktual), apakah dari situ dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought: normatif). Dengan menggunakan peristilahan logika dapat ditarik suatu kesimpulan preskriptif. Kalau satu premis preskriptif dan premis lain deskriptif, kesimpulannya pasti preskriptif. Itu tidak menjadi masalah. Mengenai hal ini Bertens memberi contoh:
- Setiap manusia harus menghormati orang tuanya (premis preskriptif).
- Lelaki itu adalah orang tua saya (premis deskriptif).
- Jadi, lelaki itu harus saya hormati (kesimpulan preskriptif).
Tapi soalnya ialah apakah dua premis deskriptif pernah dapat membuahkan kesimpulan preskriptif. Kini para filsuf yang mendalami masalah ini umumnya sepakat bahwa hal itu tidak mungkin. Kesimpulan preskriptif hanya dapat ditarik dari premis-premis yang sekurang-kurangnya untuk sebagian bersifat preskriptif juga (Bertens, 1993:21).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan bubuhkan komentar anda