REPUBLIKA.CO.ID, Pada 998 M, kekuasaan Dinasti Samanid berakhir dan
digantikan Dinasti Salajikah. Tak lama kemudian, diambil alih Dinasti
Khawarizmi. Pada masa itu, status Bukhara sebagai pusat peradaban dan
perkembangan Islam masih tetap dipertahankan.
Ketika masa kekuasaan pemerintahan Sultan Alaudin Muhammad Khawarizmi Syah berakhir, Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan pun mulai meredup.
Pada 1220 M, peperangan hebat antara pasukan Sultan Ala’udin dan pasukan Mongol di bawah komando Jengiz Khan meletus. Serangan brutal yang dilakukan 70 ribu pasukan Jengiz Khan tak mampu diredam.
Ketika masa kekuasaan pemerintahan Sultan Alaudin Muhammad Khawarizmi Syah berakhir, Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan pun mulai meredup.
Pada 1220 M, peperangan hebat antara pasukan Sultan Ala’udin dan pasukan Mongol di bawah komando Jengiz Khan meletus. Serangan brutal yang dilakukan 70 ribu pasukan Jengiz Khan tak mampu diredam.
Bukhara pun jatuh ke tangan pasukan Mongol. Dengan kejam dan sadis,
pasukan Mongol membantai penduduk kota serta membakar madrasah, masjid,
dan bangunan penting lainnya.
Jengiz Khan meluluhlantakkan peradaban dan ilmu pengetahuan yang dibangun umat Islam di Bukhara. Bukhara rata dengan tanah. Ibnu Asir melukiskan kondisi Bukhara dengan kata-kata ‘ka an lam tagna bi al-amsi’ (seolah-olah tak ada apa-apa sebelumnya). Cahaya kemajuan peradaban yang ilmu pengetahuannya terpancar dari Bukhara pun meredup.
Bukhara di era modern
Meski masa kejayaannya telah berlalu pada abad ke-13 M, Bukhara masih memegang peranan penting di abad ke-19 M. Menurut Demezon, pada 1833, Bukhara tetap menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keagamaan dan budaya di kawasan tersebut.
Madrasah-madrasah di Bukhara masih terkenal hingga ke Turkistan. Pelajar-pelajar dari Khiva, Kokand, Gissar, bahkan dari Samarkand dan kawasan Tatar berbondong-bondong belajar ke Bukhara. "Ada sebanyak 60 madrasah di Bukhara baik yang sukses maupun kurang sukses,” papar Demezon menggambarkan situasi Bukhara di abad ke-19.
Memasuki era modern, Bukhara berada di bawah kekuasaan Rusia. Bukhara pun dijadikan semacam bidak catur dalam permainan besar antara Rusia dan Inggris. Kota itu benar-benar merdeka selama revolusi komunis. Namun, Bukhara akhirnya masuk dalam kekuasaan Uni Soviet.
Menyusul terbentuknya Uni Soviet, Tajik yang merupakan bagian dari Uzbekistan menuntut kemerdekaan. Rusia yang mendukung Uzbekistan atas Tajik menyerahkan kota yang secara tradisional berbahasa dan berbudaya Iran, yakni Bukhara dan Samarkand, kepada Uzbekistan.
Jengiz Khan meluluhlantakkan peradaban dan ilmu pengetahuan yang dibangun umat Islam di Bukhara. Bukhara rata dengan tanah. Ibnu Asir melukiskan kondisi Bukhara dengan kata-kata ‘ka an lam tagna bi al-amsi’ (seolah-olah tak ada apa-apa sebelumnya). Cahaya kemajuan peradaban yang ilmu pengetahuannya terpancar dari Bukhara pun meredup.
Bukhara di era modern
Meski masa kejayaannya telah berlalu pada abad ke-13 M, Bukhara masih memegang peranan penting di abad ke-19 M. Menurut Demezon, pada 1833, Bukhara tetap menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keagamaan dan budaya di kawasan tersebut.
Madrasah-madrasah di Bukhara masih terkenal hingga ke Turkistan. Pelajar-pelajar dari Khiva, Kokand, Gissar, bahkan dari Samarkand dan kawasan Tatar berbondong-bondong belajar ke Bukhara. "Ada sebanyak 60 madrasah di Bukhara baik yang sukses maupun kurang sukses,” papar Demezon menggambarkan situasi Bukhara di abad ke-19.
Memasuki era modern, Bukhara berada di bawah kekuasaan Rusia. Bukhara pun dijadikan semacam bidak catur dalam permainan besar antara Rusia dan Inggris. Kota itu benar-benar merdeka selama revolusi komunis. Namun, Bukhara akhirnya masuk dalam kekuasaan Uni Soviet.
Menyusul terbentuknya Uni Soviet, Tajik yang merupakan bagian dari Uzbekistan menuntut kemerdekaan. Rusia yang mendukung Uzbekistan atas Tajik menyerahkan kota yang secara tradisional berbahasa dan berbudaya Iran, yakni Bukhara dan Samarkand, kepada Uzbekistan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan bubuhkan komentar anda