REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Assidiq
Berjihad adalah salah satu kewajiban umat Islam. Alquran setidaknya menyebut kata ini hingga 41 kali, demikian pula sejumlah hadis yang menegaskan keutamaan perintah ini. Bagi yang melaksanakannya dengan sungguh-sungguh, akan mendapatan pahala surga.
Jihad secara literal bermakna 'kesungguhan', serta 'kemampuan maksimal' dari seseorang. Dari kata ini lantas menurun pada istilah ijtihad, yang lebih terkait pada aktivitas intelektual, maupun terminologi mujahadah, yakni mereka yang berjuang di jalan Allah dalam berbagai bidang kehidupan.
Berdasarkan ragam tautan tadi, Islam lantas mengartikan jihad sebagai perjuangan dengan mengerahkan segenap potensi dan kemampuan diri untuk sebuah tujuan. Prof Zaitunah Subhan menguraikan tujuan tersebut terdiri dari kebenaran, kebaikan, kemuliaan dan kedamaian.
Hanya saja, sulit dimungkiri bahwa Alquran juga mengaitkan makna jihad dengan peperangan, atau perjuangan fisik. Hal ini tertera pada sejumlah kata yang merujuk arti perang, yakni qital, harb, siyar dan ghazwah. ''Ini tidak terlepas dari latar belakang perkembangan Islam itu sendiri,'' tutur Zaitunah Subhan dalam buku Fiqh Pemberdayaan Perempuan.
Di sinilah kemudian jihad menjadi lebih identik dengan kaum lelaki. Bila terjadi pertempuran melawan kaum kafir, pasukan pimpinan Rasulullah hampir seluruhnya terdiri dari para pria. Lantas, di mana kedudukan kaum Muslimah? Masalah ini telah menjadi bahasan sejak dahulu, bahkan Rasulullah juga telah menjelaskan dalam sejumlah kesempatan.
Pada intinya, jihad dalam pengertian perang, tidak diwajibkan bagi kaum perempuan. Rujukannya adalah tujuh syarat jihad yang disepakati para ulama dan ahli fikih klasik, yakni Islam, baligh (dewasa), berakal, merdeka, laki-laki, sehat jasmani, dan punya perbekalan.
Meski begitu, pada konteks ini, bukan berarti kaum perempuan lantas berpangku tangan. Di zaman Nabi, mereka juga terlibat dalam kerja-kerja ringan, semisal merawat prajurit yang luka, memasak dan melayani kebutuhan-kebutuhan pasukan.
Akan tetapi, para ulama tetap berpandangan, medan jihad kaum perempuan sesungguhnya ada pada aspek lain. Dan hal ini mendapat legitimasi dari Rasulullah SAW. Beliau lantas memerinci aktivitas apa saja yang berpahala jihad bagi mereka. Berhaji adalah salah satunya.
Diriwayatkan dari Aisyah bint Thalhah, Aisyah bint Abu Bakar berkata, ''Wahai Rasulullah, apakah perempuan wajib berjihad?'' Beliau menjawab, ''Ya, perempuan wajib berjihad tanpa harus mengangkat senjata, yaitu menunaikan ibadah haji dan umrah.''
Selain itu, Rasulullah juga menyebutkan jihad lain bagi kaum perempuan, yakni menjadi istri yang baik, tulus melayani suami, dan menaati perintahnya. Dalam kitab Majma al Zawa'id, juga dikatakan, ''Ganjaran bagi perempuan yang taat kepada suaminya dan menjaga harta bendanya.''
Itulah amalan mulia bagi kaum perempuan, yang menyamai pahala jihad, sehingga dalam salah satu hadisnya, Rasulullah meminta para Muslimah untuk menyebarluaskan kabar gembira ini.
Khathib al Syarbaini dalam tafsirnya al Siraj al Munir menambahkan amalan lain yang bisa dilakukan. ''Laki-laki mendapat pahala karena jihad (perang) dan perempuan memperoleh pahala dari usahanya berupa menjaga kehormatannya,'' ungkapnya.
Tentu ada pertimbangan mengapa perempuan tidak diwajibkan berjihad dalam peperangan. Seperti disampaikan Jalaluddin al Suyuthi, salah seorang penafsir terkemuka, salah satu faktornya adalah kelemahan yang melekat dalam kodrat keperempuanannya.
Karena itu, menurut dia, Allah tidak membebankan mereka dengan tugas-tugas berat seperti halnya lelaki. ''Jadi, kewajiban jihad perang adalah kewajiban kolektif laki-laki, kecuali jika sudah menjadi fardhu 'ain (kewajiban individual),'' tutur Jalaluddin al Suyuthi.
Zaitunah Subhan lebih jauh menyatakan, saat ini paradigma kesetaraan manusia dan keadilan, telah memberikan ruang bagi perempuan untuk turut berjihad dalam ranah sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan.
''Jihad membangun kebersamaan dan tanpa diskriminasi, menegakkan keadilan, menghapuskan segala bentuk kezaliman, mewujudkan kesalehan budaya, dan lainnya,'' papar dia. Inilah makna jihad akbar yang dapat membawa umat manusia pada kebahagiaan dunia akhirat.
Berjihad adalah salah satu kewajiban umat Islam. Alquran setidaknya menyebut kata ini hingga 41 kali, demikian pula sejumlah hadis yang menegaskan keutamaan perintah ini. Bagi yang melaksanakannya dengan sungguh-sungguh, akan mendapatan pahala surga.
Jihad secara literal bermakna 'kesungguhan', serta 'kemampuan maksimal' dari seseorang. Dari kata ini lantas menurun pada istilah ijtihad, yang lebih terkait pada aktivitas intelektual, maupun terminologi mujahadah, yakni mereka yang berjuang di jalan Allah dalam berbagai bidang kehidupan.
Berdasarkan ragam tautan tadi, Islam lantas mengartikan jihad sebagai perjuangan dengan mengerahkan segenap potensi dan kemampuan diri untuk sebuah tujuan. Prof Zaitunah Subhan menguraikan tujuan tersebut terdiri dari kebenaran, kebaikan, kemuliaan dan kedamaian.
Hanya saja, sulit dimungkiri bahwa Alquran juga mengaitkan makna jihad dengan peperangan, atau perjuangan fisik. Hal ini tertera pada sejumlah kata yang merujuk arti perang, yakni qital, harb, siyar dan ghazwah. ''Ini tidak terlepas dari latar belakang perkembangan Islam itu sendiri,'' tutur Zaitunah Subhan dalam buku Fiqh Pemberdayaan Perempuan.
Di sinilah kemudian jihad menjadi lebih identik dengan kaum lelaki. Bila terjadi pertempuran melawan kaum kafir, pasukan pimpinan Rasulullah hampir seluruhnya terdiri dari para pria. Lantas, di mana kedudukan kaum Muslimah? Masalah ini telah menjadi bahasan sejak dahulu, bahkan Rasulullah juga telah menjelaskan dalam sejumlah kesempatan.
Pada intinya, jihad dalam pengertian perang, tidak diwajibkan bagi kaum perempuan. Rujukannya adalah tujuh syarat jihad yang disepakati para ulama dan ahli fikih klasik, yakni Islam, baligh (dewasa), berakal, merdeka, laki-laki, sehat jasmani, dan punya perbekalan.
Meski begitu, pada konteks ini, bukan berarti kaum perempuan lantas berpangku tangan. Di zaman Nabi, mereka juga terlibat dalam kerja-kerja ringan, semisal merawat prajurit yang luka, memasak dan melayani kebutuhan-kebutuhan pasukan.
Akan tetapi, para ulama tetap berpandangan, medan jihad kaum perempuan sesungguhnya ada pada aspek lain. Dan hal ini mendapat legitimasi dari Rasulullah SAW. Beliau lantas memerinci aktivitas apa saja yang berpahala jihad bagi mereka. Berhaji adalah salah satunya.
Diriwayatkan dari Aisyah bint Thalhah, Aisyah bint Abu Bakar berkata, ''Wahai Rasulullah, apakah perempuan wajib berjihad?'' Beliau menjawab, ''Ya, perempuan wajib berjihad tanpa harus mengangkat senjata, yaitu menunaikan ibadah haji dan umrah.''
Selain itu, Rasulullah juga menyebutkan jihad lain bagi kaum perempuan, yakni menjadi istri yang baik, tulus melayani suami, dan menaati perintahnya. Dalam kitab Majma al Zawa'id, juga dikatakan, ''Ganjaran bagi perempuan yang taat kepada suaminya dan menjaga harta bendanya.''
Itulah amalan mulia bagi kaum perempuan, yang menyamai pahala jihad, sehingga dalam salah satu hadisnya, Rasulullah meminta para Muslimah untuk menyebarluaskan kabar gembira ini.
Khathib al Syarbaini dalam tafsirnya al Siraj al Munir menambahkan amalan lain yang bisa dilakukan. ''Laki-laki mendapat pahala karena jihad (perang) dan perempuan memperoleh pahala dari usahanya berupa menjaga kehormatannya,'' ungkapnya.
Tentu ada pertimbangan mengapa perempuan tidak diwajibkan berjihad dalam peperangan. Seperti disampaikan Jalaluddin al Suyuthi, salah seorang penafsir terkemuka, salah satu faktornya adalah kelemahan yang melekat dalam kodrat keperempuanannya.
Karena itu, menurut dia, Allah tidak membebankan mereka dengan tugas-tugas berat seperti halnya lelaki. ''Jadi, kewajiban jihad perang adalah kewajiban kolektif laki-laki, kecuali jika sudah menjadi fardhu 'ain (kewajiban individual),'' tutur Jalaluddin al Suyuthi.
Zaitunah Subhan lebih jauh menyatakan, saat ini paradigma kesetaraan manusia dan keadilan, telah memberikan ruang bagi perempuan untuk turut berjihad dalam ranah sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan.
''Jihad membangun kebersamaan dan tanpa diskriminasi, menegakkan keadilan, menghapuskan segala bentuk kezaliman, mewujudkan kesalehan budaya, dan lainnya,'' papar dia. Inilah makna jihad akbar yang dapat membawa umat manusia pada kebahagiaan dunia akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan bubuhkan komentar anda