Free Widgets

Kamis, 05 November 2009

Talak

1.1. Pengertian Talak Talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan, meninggalkan dan memisahkan. Imam Sayyid Sabiq menyatakan dalam kitabnya, talak menurut bahasa diambil dari kata ”Itlaq” yang berarti melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan menurut syara (istilah), kami akan kemukakan menurut Ulama ahli fiqh, mazhab Hanafi dan Hanbali mendefinisikannya sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan yang akan datang. Yang dimaksud ”secara langsung” adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya lansung berlaku ketika ucapan talak itu diucapkan suami. Adapun yang dimaksud dengan ”yang akan datang” adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh suatu hal. Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau atau dengan semakna dengan itu. Sedangkan Mazhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri. Mereka berbeda dalam mendefinisikan talak, akan tetapi intinya sama yaitu lepasnya ikatan pekawinan antara suami istri. 1.2. Legalitas Talak Didalam al-Qur’an terdapat ayat yang menjadi dasar hukum talak, diantaranya adalah: الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagii kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”(QS: Al Baqarah: 229) Dan firman Allah swt: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا Artinya: ”Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”(QS: At Thalaq:1) Kemudian dari hadist Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Al Hakim, dan At Thirmidzi dari Abdullah Ibn Umar. Bahwasannya Rasulullah saw bersabda: Artinya: ”Pekerjaan halal yang dibenci oleh Allah adalah talak” (HR Abu Daud, Al Hakim, dan At Thirmidzi dari Abdullah Ibn Umar). 1.3. Hukum talak Tentang hukum talak ini, ulama fiqh berbeda pendapat. Talak adakalanya wajib, adakalanya haram, adakalanya mubah, adakalanya sunnah. Tergantung kepada situasi dan kondisi yang terjadi antara suami istri. Talak yang adakalanya wajib adalah talak yang dijatuhkan oleh pihak ”hakamain” (penengah) karena perpecahan antar suami istri yang sudah berat. Apabila ”hakam” (penengah) berpendapat hanya cerai lah jalan satu-satunya yang dapat ditempuh untuk menghentikan perpecahan. Talak yang haram yaitu talak tanpa alasan. Talak ini diharamkan karena merugikan suami istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang hendak dicapai dengan perbuatan talaknya itu. Jadi, talaknya haram seperti haramnya merusak harta benda. Rasulullah saw bersabda: Artinya: ”Tidak boleh berbuat membahayakan dan tidak boleh membalas dengan bahaya” Dalam riwayat lain dikatakan bahwa talak serupa ini dibenci. Rasulullah saw bersabda: Artinya: ”Pekerjaan halal yang dibenci oleh Allah adalah talak” (HR Abu Daud, Al Hakim, dan At Thirmidzi dari Abdullah Ibn Umar). Talak adakalanya sunnah, apabila istri mengabaikan kewajibannya kepada Allah, seperti shalat dan sebagainya, padahal suami tidak mampu memaksanya agar istri menjalankan kewajibannya tersebut bisa pula istri kurang malunya. pendapat yang paling benar adalah pendapat yang mengatakan ”terlarang” kecuali karena alasan yang benar. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiah dan Hanabilah. Karena mereka beralasan dengan sabda Rasulullah saw, yang berbunyi: Artinya: ”Allah melaknat setiap lelaki yang suka mencicipi perempuan kemudian menceraikannya (maksudnya suka kawin cerai)” Ini disebabkan karena orang yang bercerai itu kufur akan nikmat Allah, sedangkan kawin adalah suatu nikmat. Dan kufur terhadap nikmat adalah terlarang. Jadi, tidak halal bercerai kecuali darurat. 1.4. Lafal Talak Semua lafal yang artinya memutuskan sesuatu ikatan perkawinan dan dipergunakan untuk menjatuhkan talak, disebut lafal talak. Namun demikian, terdapat juga lafal-lafal tertentu yang menegaskan arti talak dan dapat dipahami oleh masyarakat juga dikenal dalam syariat. Lafal-lafal yang menunjukkan makna talak ada dua macam yaitu lafal sarih dan lafal kinayah. 1. Lafal Sarih Lafal sarih adalah lafal yang bisa dipahami sebagai perceraian saat diucapkan tanpa mengandung pengertian lain karena yang lebih kuat penggunanya hanya pada konteks perceraian, baik dari segi bahasa maupun tradisi. Misalnya ungkapan: ”Kamu tertalak” (anti taliq), ”aku menceraikan mu” (thalllaqtuki), ”kamu tertalak!” (anti muthallaqah), dan sejenisnya. Menurut Imam Syafi’i, Hanbali dan Zhahiri yang termasuk dalam talak ini adalah: talak firaq (pisah), talak sirah (lepas) dan talak kelugasannya dalam menunjukkan arti perceraian. Ketiga lafal ini terdapat dalam al-Qur’an, antara lain: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا Artinya: “Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka…….(QS: Al Ahzab: 49) وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang bertakwa” (Al Baqarah: 241) Menurut Imam Syafi’I, talak akan jatuh dengan menggunakan lafal sarih tanpa niat untuk maksud mentalak istri, karena lafal sarih itu sudah jelas dan tegas maksudnya. 2. Lafal Kinayah Lafal kinayah adalah suatu kata yang bisa berarti talak dan bisa pula berarti lain (mempunyai arti lain). Dengan kata lain lafal kinayah adalah ungkapan yang sebenarnya tidak digunakan untuk menyebut talak secara khusus, akan tetapi ia mengandung arti talak dan lainnya. Seperti kata suami kepada istrinya: “kembalilah engkau kepada orang tuamu”. Menurut Mazhab Hanafi, menjatuhkan talak dengan lafal kinayah tidak mesti ada niat, tetapi tergantung suasana yang dapat menterjemahkan makna talak yang terkandung dalam lafal kinayah yang diucapkan suami ketika itu. Menurut Imam Syafi’I dan Malik, menjatuhkan talak dengan lafal kinayah tidak akan jatuh talak kecuali dengan niat, tidak cukup dengan “suasana” saja (pada waktu dijatuhkan talak dengan lafal kinayah itu) tanpa niat. Karena lafal kinayah itu tidak pasti dipakai dalam bidang syariat (hukum) dan kebiasaan pemakaiannya pun tidak mesti menunjukkan arti talak, maka harus ada niat., barulah talak itu sah. 1.5. Macam-Macam Talak Talak dilihat dari boleh atau tidaknya suami rujuk dengan istri yang telah ditalaknya terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: Talak raj’i dan Talak Bain . a. Talak Raj’i adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan suami kepada istrinya. Dalam keadaan ini suami berhak rujuk dengan istrinya tanpa akad dan mahar yang baru selama rujuk tersebut dilakukan dalam masa iddah istri. Talak seperti ini, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 229, dijatuhkan secara bertahap atau satu demi satu. Dan akibat dari talak raj’i adalah berkurangnya bilangan talak yang dimiliki oleh suami. Jika talak tersebut talak satu, maka dia hanya mempunyai kesempatan dua kali; jika talak itu talak kedua, dia hanya mempunyai hak menalak satu kali; dan jika talak itu talak ketiga, maka hilang segala hak talaknya dan bahkan dia tidak boleh rujuk lagi, jikalau ingin rujuk kembali, mantan istri harus nikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain. b. Talak Bain adalah talak yang dijatuhkan suami pada istri dimana suami berhak kembali kepada istrinya melalui akad dan mahar baru. Dan talak bain terbagi kepada 2 (dua) bagian lagi, yaitu: talak bain sugra dan talak bain kubra. Talak Bain Shugra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang belum pernah disetubuhi, talak dengan tebusan (khuluk), dan talak raj’i yang telah habis masa iddahnya sementara suami tidak rujuk dalam masa tersebut. Dalam talak seperti ini, suami tidak memiliki hak rujuk lagi pada istri yang telah ditalaknya tersebut, kecuali dengan akad dan mahar baru. Namun tidak isyaratkan si istri kawin dahulu dengan laki-laki lain. Dan talak Bain Kubra adalah talak yang ketiga kalinya. Dalam talak Bain Kubra, suami dapat kembali pada istrinya dengan akad nikah setelah istri tersebut kawin dengan laki-laki lain dan bercerai kembali secara wajar, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 230. فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ Artinya: ”Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” Para Ulama Mazhab sepakat bahwa seorang laki-laki yang mencerai tiga, maka istrinya tidak halal lagi baginya sampai ia kawin terlebih dahulu dengan laki-laki lain dengan cara yang benar. Lalu dicampuri dalam arti sesungguhnya. Berdasarkan firman Allah yang telah disebutkan diatas. Diriwayatkan dari Saiid Ibn Musayyab, bahwasannya ia berkata: wanita yang ditalak tiga halal untuk dikawini kembali oleh suami pertamanya dengan sekedar mengadakan akad nikah dengan suami yang kedua. Hadist ini adalah dhoif, karena kontradiksi dengan hadist shohih berikut ini. Jumhur Ulama berhujjah dengan Hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Aisyah bahwasannya ia berkata:”Istri Rifa’ah datang kepada Rasulullah saw. Dan berkata: Aku tadinya menikah dengan Rifa’ah, kemudian ia menceraiku lalu ia mengukuhkan talak terhadapku itu. Kemudian aku kawin dengan Abdurrahman Bin Zubair, dan yang ada padanya benar-benar seperti ujung baju. ”Rasulullah bersabda kepadanya: Yang artinya:”Lalu kamu hendak kembali lagi kepada Rifa’ah?Tidak boleh, sebelum kamu merasa kenikmatan persetubuhan dengan dia (yakni suaminya yang sekarang) dan dia merasakan kenikmatan persetubuhan dengan kamu”.(HR: Ashhabus Sunan) Talak pula terbagi 2 (dua) bagian, yaitu: talak Sunni dan talak Bid’i. Talak Sunni adalah talak yang sesuai dengan ajaran Sunnah dalam mekanisme penjatuhannya. Talak Sunni juga dapat didefinisikan dengan talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seseorang mentalak perempuan yang sudah dicampurinya dengan sekali talak dimasa bersih dan belum ia sentuh kembali selama bersih itu, sesuai dengan firman Allah: Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.(Al Baqarah: 229) Maksudnya, talak yang dibenarkan oleh agama untuk dirujuki kembali adalah sekali cerai kemudian rujuk lalu cerai lagi kemudian rujuk lagi. Selanjutnya apabila seorang suami yang menceraikan istrinya sesudah rujuk yang kedua, ia boleh memilih antara terus mempertahankan istrinya dengan baik atau melepaskannya dengan baik juga. Dan yang dimaksud dengan Talak Bid’i adalah talak yang bertentangan dengan Sunnah dalam proses penjatuhannya, atau dapat juga didefinisikan dengan talak yang menyalahi ketentuan agama, seperti mentalak tiga kali dengan sekali ucap atau mentalak tiga kali dengan secara terpisah-pisah dalam satu majlis (tempat). Para Ulama telah sepakat bahwa talak bid’i hukumya haram dan pelakunya berdosa. Akan tetapi jumhur Ulama berpendapat bahwa talaknya sah. Mereka beralasan sebagai berikut: a. Talak Bid’i tetap termasuk dalam pengertian yang tersebut dalam ayat-ayat talak pada umunya. b. Penjelasan terus terang dari Ibn umar sewaktu ia menalak istrinya ketika haid lalu Rasulullah saw menyuruh merujuknya. Ini berarti talaknya sah. Segolongan Ulama berpendapat bahwa talak bid’i tidak sah. Mereka beralasan menolak memasukkan talak Bid’i dalam pengertian pada umumnya. Karena talak Bid’i bukan talak yang diizinkan oleh Allah, bahkan diperintahkan oleh Allah untuk meninggalkannya. 1.6. Pernikahan Muhalil Yang dimaksud dengan Muhalil adalah pernikahan seorang mantan istri orang lain yang telah dicerainya secara bain, agar suami pertama dari perempuan tersebut dapat menikahinya kembali. Suami kedua itu dinamakan ”pengahalal” atau Muhalil karena menjadikan suami pertama halal untuk menikahi kembali istri yang telah dicerainya secara bain tersebut. Imam Ali Ash-shabuni mendefinisikan Muhalil adalah laki-laki yang dengan sengaja mengawini seorang wanita yang ditalak tiga agar menjadi halal bagi suami yang pertama (dari wanita itu) untuk kembali lagi kepadanya. Rasulullah saw menamakan laki-laki yang praktek demikian itu ”Bandot yang dipinjam”. Dalam hadist disabdakan: ”Sukakah kalian kuberitahu apakah bandot yang dipinjam itu?” Para sahabat menjawab: ”baik, ya Rasulullah”. Beliau bersabda: ”dia itu adalah ”Muhalil”. Allah melaknat muhalil dan muhalal lahu. Para Ulama berbeda pendapat tentang nikahnya seorang muhalil. Jumhur ulama berpendapat bahwa perkawinan muhalil itu batil dan wanita itu tetap tidak halal bagi suaminya. Mereka berhujjah dengan yang hadist sebagai berikut: a. ”Sukakah kalian kuberitahu apakah bandot yang dipinjam itu?” Para sahabat menjawab: ”baik, ya Rasulullah”. Beliau bersabda: ”dia itu adalah ”Muhalil”. Allah melaknat muhalil dan muhalal lahu. b. Hadist Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah saw, ditanya tentang perkawinan seorang muhalil. Rasulullah saw brsabda: ”Tidak halal, kecuali bila perkawinan itu terjadi atas dasar suka sama suka bukan perkawinan yang didasari tipu daya, dan bukan pula untuk memperolok-olok kitab Allah SWT. Ia harus menikah kemudian merasakan kenikmatan persetubuhan dengan istrinya.” c. Riwayat yang diriwayatkan dari Ibn Umar r.a, bahwasannya ia berkata:”Tiada seorang muhalil dan muhalal lahu didatangkan di hadapan saya, melainkan saya akan merajam keduanya”. Golongan Ulama Mazhab Hanafi dan sebagian Ulama Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa perkawinan itu hukumnya makruh, sebab digelarinya orang yang berbuat demikian itu dengan ”muhalil”, merupakan suatu petunjuk akan sahnya perkawinan, sebab perkawinan itu menjadi sebab bagi adanya kehalalan bagi suami kembali pada istrinya. 1.7. Hikmah Talak Islam membolehkan talak, tetapi dalam pada itu memandangnya sebagai barang halal yang paling dibenci oleh Allah. Talak adalah sebagai suatu keharusan yang tak dapat di elakkan, dalam situasi darurat yang mendesak, yang menjaidikan talak sebagai obat dan cara penyembuhan untuk melepaskan diri dari kesengsaraan yang pasti, yang mungkin penderitaannya tidak terbatas pada suami istri saja, melainkan meluas sampai kepada keluarga semuanya, sehingga kehidupannya berubah menjadi neraka yang tidak tertahan. Ibnu Sina berkata dalam kitabnya (Asy Syifa), ”seharusnya jalan untuk cerai itu diberikan dan jangan ditutup sama sekali karena menutup mati jalan perceraian akan mengakibatkan beberapa bahaya dan kerusakan. Diantaranya karena tabiat suami istri satu sama lain sudah tidak saling berkasih sayang lagi. Jika terus menerus dipaksakan untuk tetap bersatu, justru akan tambah tidak baik, pecah dan kehidupannya yang menjadi kalut. Maka, jikalau semua upaya perbaikan untuk memulihkan hubungan baik antara suami-istri sudah tidak berhasil, talak akan merupakan suatu keharusan yang tak dapat dilakukan lagi.

TALAK

1.1. Pengertian Talak
Talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan, meninggalkan dan memisahkan. Imam Sayyid Sabiq menyatakan dalam kitabnya, talak menurut bahasa diambil dari kata ”Itlaq” yang berarti melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan menurut syara (istilah), kami akan kemukakan menurut Ulama ahli fiqh, mazhab Hanafi dan Hanbali mendefinisikannya sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan yang akan datang. Yang dimaksud ”secara langsung” adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya lansung berlaku ketika ucapan talak itu diucapkan suami. Adapun yang dimaksud dengan ”yang akan datang” adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh suatu hal. Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau atau dengan semakna dengan itu. Sedangkan Mazhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri. Mereka berbeda dalam mendefinisikan talak, akan tetapi intinya sama yaitu lepasnya ikatan pekawinan antara suami istri.
1.2. Legalitas Talak 
Didalam al-Qur’an terdapat ayat yang menjadi dasar hukum talak, diantaranya adalah: الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagii kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”(QS: Al Baqarah: 229) Dan firman Allah swt: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا Artinya: ”Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”(QS: At Thalaq:1) Kemudian dari hadist Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Al Hakim, dan At Thirmidzi dari Abdullah Ibn Umar. Bahwasannya Rasulullah saw bersabda: Artinya: ”Pekerjaan halal yang dibenci oleh Allah adalah talak” (HR Abu Daud, Al Hakim, dan At Thirmidzi dari Abdullah Ibn Umar).
1.3. Hukum talak
Tentang hukum talak ini, ulama fiqh berbeda pendapat. Talak adakalanya wajib, adakalanya haram, adakalanya mubah, adakalanya sunnah. Tergantung kepada situasi dan kondisi yang terjadi antara suami istri. Talak yang adakalanya wajib adalah talak yang dijatuhkan oleh pihak ”hakamain” (penengah) karena perpecahan antar suami istri yang sudah berat. Apabila ”hakam” (penengah) berpendapat hanya cerai lah jalan satu-satunya yang dapat ditempuh untuk menghentikan perpecahan. Talak yang haram yaitu talak tanpa alasan. Talak ini diharamkan karena merugikan suami istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang hendak dicapai dengan perbuatan talaknya itu. Jadi, talaknya haram seperti haramnya merusak harta benda. Rasulullah saw bersabda: Artinya: ”Tidak boleh berbuat membahayakan dan tidak boleh membalas dengan bahaya” Dalam riwayat lain dikatakan bahwa talak serupa ini dibenci. Rasulullah saw bersabda: Artinya: ”Pekerjaan halal yang dibenci oleh Allah adalah talak” (HR Abu Daud, Al Hakim, dan At Thirmidzi dari Abdullah Ibn Umar). Talak adakalanya sunnah, apabila istri mengabaikan kewajibannya kepada Allah, seperti shalat dan sebagainya, padahal suami tidak mampu memaksanya agar istri menjalankan kewajibannya tersebut bisa pula istri kurang malunya. pendapat yang paling benar adalah pendapat yang mengatakan ”terlarang” kecuali karena alasan yang benar. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiah dan Hanabilah. Karena mereka beralasan dengan sabda Rasulullah saw, yang berbunyi: Artinya: ”Allah melaknat setiap lelaki yang suka mencicipi perempuan kemudian menceraikannya (maksudnya suka kawin cerai)” Ini disebabkan karena orang yang bercerai itu kufur akan nikmat Allah, sedangkan kawin adalah suatu nikmat. Dan kufur terhadap nikmat adalah terlarang. Jadi, tidak halal bercerai kecuali darurat. 
1.4. Lafal Talak 
Semua lafal yang artinya memutuskan sesuatu ikatan perkawinan dan dipergunakan untuk menjatuhkan talak, disebut lafal talak. Namun demikian, terdapat juga lafal-lafal tertentu yang menegaskan arti talak dan dapat dipahami oleh masyarakat juga dikenal dalam syariat. Lafal-lafal yang menunjukkan makna talak ada dua macam yaitu lafal sarih dan lafal kinayah. 1. Lafal Sarih Lafal sarih adalah lafal yang bisa dipahami sebagai perceraian saat diucapkan tanpa mengandung pengertian lain karena yang lebih kuat penggunanya hanya pada konteks perceraian, baik dari segi bahasa maupun tradisi. Misalnya ungkapan: ”Kamu tertalak” (anti taliq), ”aku menceraikan mu” (thalllaqtuki), ”kamu tertalak!” (anti muthallaqah), dan sejenisnya. Menurut Imam Syafi’i, Hanbali dan Zhahiri yang termasuk dalam talak ini adalah: talak firaq (pisah), talak sirah (lepas) dan talak kelugasannya dalam menunjukkan arti perceraian. Ketiga lafal ini terdapat dalam al-Qur’an, antara lain: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا Artinya: “Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka…….(QS: Al Ahzab: 49) وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang bertakwa” (Al Baqarah: 241) Menurut Imam Syafi’I, talak akan jatuh dengan menggunakan lafal sarih tanpa niat untuk maksud mentalak istri, karena lafal sarih itu sudah jelas dan tegas maksudnya. 2. Lafal Kinayah Lafal kinayah adalah suatu kata yang bisa berarti talak dan bisa pula berarti lain (mempunyai arti lain). Dengan kata lain lafal kinayah adalah ungkapan yang sebenarnya tidak digunakan untuk menyebut talak secara khusus, akan tetapi ia mengandung arti talak dan lainnya. Seperti kata suami kepada istrinya: “kembalilah engkau kepada orang tuamu”. Menurut Mazhab Hanafi, menjatuhkan talak dengan lafal kinayah tidak mesti ada niat, tetapi tergantung suasana yang dapat menterjemahkan makna talak yang terkandung dalam lafal kinayah yang diucapkan suami ketika itu. Menurut Imam Syafi’I dan Malik, menjatuhkan talak dengan lafal kinayah tidak akan jatuh talak kecuali dengan niat, tidak cukup dengan “suasana” saja (pada waktu dijatuhkan talak dengan lafal kinayah itu) tanpa niat. Karena lafal kinayah itu tidak pasti dipakai dalam bidang syariat (hukum) dan kebiasaan pemakaiannya pun tidak mesti menunjukkan arti talak, maka harus ada niat., barulah talak itu sah. 
1.5. Macam-Macam Talak 
Talak dilihat dari boleh atau tidaknya suami rujuk dengan istri yang telah ditalaknya terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: Talak raj’i dan Talak Bain . a. Talak Raj’i adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan suami kepada istrinya. Dalam keadaan ini suami berhak rujuk dengan istrinya tanpa akad dan mahar yang baru selama rujuk tersebut dilakukan dalam masa iddah istri. Talak seperti ini, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 229, dijatuhkan secara bertahap atau satu demi satu. Dan akibat dari talak raj’i adalah berkurangnya bilangan talak yang dimiliki oleh suami. Jika talak tersebut talak satu, maka dia hanya mempunyai kesempatan dua kali; jika talak itu talak kedua, dia hanya mempunyai hak menalak satu kali; dan jika talak itu talak ketiga, maka hilang segala hak talaknya dan bahkan dia tidak boleh rujuk lagi, jikalau ingin rujuk kembali, mantan istri harus nikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain. b. Talak Bain adalah talak yang dijatuhkan suami pada istri dimana suami berhak kembali kepada istrinya melalui akad dan mahar baru. Dan talak bain terbagi kepada 2 (dua) bagian lagi, yaitu: talak bain sugra dan talak bain kubra. Talak Bain Shugra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang belum pernah disetubuhi, talak dengan tebusan (khuluk), dan talak raj’i yang telah habis masa iddahnya sementara suami tidak rujuk dalam masa tersebut. Dalam talak seperti ini, suami tidak memiliki hak rujuk lagi pada istri yang telah ditalaknya tersebut, kecuali dengan akad dan mahar baru. Namun tidak isyaratkan si istri kawin dahulu dengan laki-laki lain. Dan talak Bain Kubra adalah talak yang ketiga kalinya. Dalam talak Bain Kubra, suami dapat kembali pada istrinya dengan akad nikah setelah istri tersebut kawin dengan laki-laki lain dan bercerai kembali secara wajar, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 230. فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ Artinya: ”Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” Para Ulama Mazhab sepakat bahwa seorang laki-laki yang mencerai tiga, maka istrinya tidak halal lagi baginya sampai ia kawin terlebih dahulu dengan laki-laki lain dengan cara yang benar. Lalu dicampuri dalam arti sesungguhnya. Berdasarkan firman Allah yang telah disebutkan diatas. Diriwayatkan dari Saiid Ibn Musayyab, bahwasannya ia berkata: wanita yang ditalak tiga halal untuk dikawini kembali oleh suami pertamanya dengan sekedar mengadakan akad nikah dengan suami yang kedua. Hadist ini adalah dhoif, karena kontradiksi dengan hadist shohih berikut ini. Jumhur Ulama berhujjah dengan Hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Aisyah bahwasannya ia berkata:”Istri Rifa’ah datang kepada Rasulullah saw. Dan berkata: Aku tadinya menikah dengan Rifa’ah, kemudian ia menceraiku lalu ia mengukuhkan talak terhadapku itu. Kemudian aku kawin dengan Abdurrahman Bin Zubair, dan yang ada padanya benar-benar seperti ujung baju. ”Rasulullah bersabda kepadanya: Yang artinya:”Lalu kamu hendak kembali lagi kepada Rifa’ah?Tidak boleh, sebelum kamu merasa kenikmatan persetubuhan dengan dia (yakni suaminya yang sekarang) dan dia merasakan kenikmatan persetubuhan dengan kamu”.(HR: Ashhabus Sunan) Talak pula terbagi 2 (dua) bagian, yaitu: talak Sunni dan talak Bid’i. Talak Sunni adalah talak yang sesuai dengan ajaran Sunnah dalam mekanisme penjatuhannya. Talak Sunni juga dapat didefinisikan dengan talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seseorang mentalak perempuan yang sudah dicampurinya dengan sekali talak dimasa bersih dan belum ia sentuh kembali selama bersih itu, sesuai dengan firman Allah: Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.(Al Baqarah: 229) Maksudnya, talak yang dibenarkan oleh agama untuk dirujuki kembali adalah sekali cerai kemudian rujuk lalu cerai lagi kemudian rujuk lagi. Selanjutnya apabila seorang suami yang menceraikan istrinya sesudah rujuk yang kedua, ia boleh memilih antara terus mempertahankan istrinya dengan baik atau melepaskannya dengan baik juga. Dan yang dimaksud dengan Talak Bid’i adalah talak yang bertentangan dengan Sunnah dalam proses penjatuhannya, atau dapat juga didefinisikan dengan talak yang menyalahi ketentuan agama, seperti mentalak tiga kali dengan sekali ucap atau mentalak tiga kali dengan secara terpisah-pisah dalam satu majlis (tempat). Para Ulama telah sepakat bahwa talak bid’i hukumya haram dan pelakunya berdosa. Akan tetapi jumhur Ulama berpendapat bahwa talaknya sah. Mereka beralasan sebagai berikut: a. Talak Bid’i tetap termasuk dalam pengertian yang tersebut dalam ayat-ayat talak pada umunya. b. Penjelasan terus terang dari Ibn umar sewaktu ia menalak istrinya ketika haid lalu Rasulullah saw menyuruh merujuknya. Ini berarti talaknya sah. Segolongan Ulama berpendapat bahwa talak bid’i tidak sah. Mereka beralasan menolak memasukkan talak Bid’i dalam pengertian pada umumnya. Karena talak Bid’i bukan talak yang diizinkan oleh Allah, bahkan diperintahkan oleh Allah untuk meninggalkannya. 
1.6. Pernikahan Muhalil 
Yang dimaksud dengan Muhalil adalah pernikahan seorang mantan istri orang lain yang telah dicerainya secara bain, agar suami pertama dari perempuan tersebut dapat menikahinya kembali. Suami kedua itu dinamakan ”pengahalal” atau Muhalil karena menjadikan suami pertama halal untuk menikahi kembali istri yang telah dicerainya secara bain tersebut. Imam Ali Ash-shabuni mendefinisikan Muhalil adalah laki-laki yang dengan sengaja mengawini seorang wanita yang ditalak tiga agar menjadi halal bagi suami yang pertama (dari wanita itu) untuk kembali lagi kepadanya. Rasulullah saw menamakan laki-laki yang praktek demikian itu ”Bandot yang dipinjam”. Dalam hadist disabdakan: ”Sukakah kalian kuberitahu apakah bandot yang dipinjam itu?” Para sahabat menjawab: ”baik, ya Rasulullah”. Beliau bersabda: ”dia itu adalah ”Muhalil”. Allah melaknat muhalil dan muhalal lahu. Para Ulama berbeda pendapat tentang nikahnya seorang muhalil. Jumhur ulama berpendapat bahwa perkawinan muhalil itu batil dan wanita itu tetap tidak halal bagi suaminya. Mereka berhujjah dengan yang hadist sebagai berikut: a. ”Sukakah kalian kuberitahu apakah bandot yang dipinjam itu?” Para sahabat menjawab: ”baik, ya Rasulullah”. Beliau bersabda: ”dia itu adalah ”Muhalil”. Allah melaknat muhalil dan muhalal lahu. b. Hadist Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah saw, ditanya tentang perkawinan seorang muhalil. Rasulullah saw brsabda: ”Tidak halal, kecuali bila perkawinan itu terjadi atas dasar suka sama suka bukan perkawinan yang didasari tipu daya, dan bukan pula untuk memperolok-olok kitab Allah SWT. Ia harus menikah kemudian merasakan kenikmatan persetubuhan dengan istrinya.” c. Riwayat yang diriwayatkan dari Ibn Umar r.a, bahwasannya ia berkata:”Tiada seorang muhalil dan muhalal lahu didatangkan di hadapan saya, melainkan saya akan merajam keduanya”. Golongan Ulama Mazhab Hanafi dan sebagian Ulama Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa perkawinan itu hukumnya makruh, sebab digelarinya orang yang berbuat demikian itu dengan ”muhalil”, merupakan suatu petunjuk akan sahnya perkawinan, sebab perkawinan itu menjadi sebab bagi adanya kehalalan bagi suami kembali pada istrinya. 
1.7. Hikmah Talak 
Islam membolehkan talak, tetapi dalam pada itu memandangnya sebagai barang halal yang paling dibenci oleh Allah. Talak adalah sebagai suatu keharusan yang tak dapat di elakkan, dalam situasi darurat yang mendesak, yang menjaidikan talak sebagai obat dan cara penyembuhan untuk melepaskan diri dari kesengsaraan yang pasti, yang mungkin penderitaannya tidak terbatas pada suami istri saja, melainkan meluas sampai kepada keluarga semuanya, sehingga kehidupannya berubah menjadi neraka yang tidak tertahan. Ibnu Sina berkata dalam kitabnya (Asy Syifa), ”seharusnya jalan untuk cerai itu diberikan dan jangan ditutup sama sekali karena menutup mati jalan perceraian akan mengakibatkan beberapa bahaya dan kerusakan. Diantaranya karena tabiat suami istri satu sama lain sudah tidak saling berkasih sayang lagi. Jika terus menerus dipaksakan untuk tetap bersatu, justru akan tambah tidak baik, pecah dan kehidupannya yang menjadi kalut. Maka, jikalau semua upaya perbaikan untuk memulihkan hubungan baik antara suami-istri sudah tidak berhasil, talak akan merupakan suatu keharusan yang tak dapat dilakukan lagi.