Free Widgets

Senin, 14 Desember 2009

PANDANGAN ISLAM TERHADAP SEKULARISME

Pendahuluan Sekularisme di Dunia Islam bukanlah menjadi sesuatu yang asing lagi karena dapat dikatakan bahwa sanya sekularisme kini telah menjadi bagian dari tubuhnya atau bahkan menjadi tubuhnya itu sendiri. Ibarat sebuah virus yang menyerang tubuh manusia, dia sudah menyerang apa saja dari bagian tubuhnya itu. Bahkan yang lebih hebat, virus itu telah menghabisi seluruh tubuh inangnya dan menjelma menjadi wujud sosok baru; bak sebuah monster yang besar dan mengerikan sehingga sudah sulit sekali dikenali wujud aslinya. Begitulah kondisi umat Islam saat ini dengan sekularismenya. Perkembangan sekularisme sudah seperti gurita yang telah menyebar dan membelit kemana-mana. Hampir tidak ada sisi kehidupan umat ini yang terlepas dari cengkeramannya. Akibatnya, umat sudah tidak menyadarinya lagi. Rantai Sekularisme Inti dari paham sekularisme menurut An-Nabhani (1953) adalah pemisahan agama dari kehidupan (faşl ad-dîn ‘an al-hayâh). Menurut Nasiwan (2003), sekularisme di bidang politik ditandai dengan 3 hal, yaitu: 1. Pemisahan pemerintahan dari ideologi keagamaan dan struktur eklesiatik; 2. Ekspansi pemerintah untuk mengambil fungsi pengaturan dalam bidang sosial dan ekonomi, yang semula ditangani oleh struktur keagamaan; 3. Penilaian atas kultur politik ditekankan pada alasan dan tujuan keduniaan yang tidak transenden. Tahun yang dianggap sebagai cikal bakal munculnya sekularisme adalah 1648. Pada tahun itu telah tercapai perjanjian Westphalia. Perjanjian itu telah mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katolik dan Protestan di Eropa. Perjanjian tersebut juga telah menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katolik Roma (Papp, 1988). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itulah aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja yang dianggap sebagai wakil Tuhan. Asumsinya adalah bahwa negara itu sendirilah yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya. Sementara itu, Tuhan atau agama hanya diakui keberadaannya di gereja-gereja saja. Pada awalnya sekularisme memang hanya berbicara hubungan antara agama dan negara. Namun dalam perkembangannya, semangat sekularisme tumbuh dan berkembang biak ke segala lini pemikiran kaum intelektual pada saat itu. Sekularisme menjadi bahan bakar sekaligus sumber inspirasi ke segenap kawasan pemikiran., yaitu: 1. Bidang akidah. Semangat sekularisme ternyata telah mendorong munculnya libelarisme dalam berpikir di segala bidang. Kaum intelektual Barat ternyata ingin sepenuhnya membuang segala sesuatu yang berbau doktrin agama (Altwajri, 1997). Mereka sepenuhnya ingin mengembalikan segala sesuatunya pada kekuatan akal manusia; termasuk melakukan reorientasi terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hakikat manusia, hidup, dan keberadaan alam semesta ini (persoalan akidah). Altwajri memberi contoh penentangan para pemikir Barat terhadap paham keagamaan yang paling fundamental di bidang akidah, yaitu munculnya berbagai aliran pemikiran seperti: pemikiran marxisme, eksistensialisme, darwinisme, freudianisme dan sebagainya—yang memisahkan diri dari ide-ide metafisik dan spiritual tertentu, termasuk gejala keagamaan. Pandangan pemikiran seperti ini akhirnya membentuk pemahaman baru berkaitan dengan hakikat manusia, alam semesta dan kehidupan ini, yang berbeda secara diametral dengan paham keagamaan yang ada. Mereka mengingkari adanya Pencipta sekaligus tentu saja mengingkari misi utama Pencipta menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan ini. Mereka lebih suka menyusun sendiri, melogikakannya sendiri, dengan kaidah-kaidah filsafat yang telah disusun dengan rapi. 2. Bidang pemerintahan Di bidang ini, yang dianggap sebagai pelopor pemikiran modern adalah Niccola Machiavelli, yang menganggap bahwa nilai-nilai tertinggi adalah yang berhubungan dengan kehidupan dunia, yang dipersempit menjadi nilai kemasyhuran, kemegahan, dan kekuasaan belaka. Agama hanya diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang dikandung agama itu sendiri (Nasiwan, 2003). Di samping itu, muncul pula para pemikir demokrasi seperti John Locke, Montesquieu, dan lain-lain yang mempunyai pandangan bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan konstitusional yang mampu membatasi dan membagi kekuasaan sementara dari mayoritas, yang dapat melindungi kebebasan segenap individu-individu rakyatnya. Pandangan ini kemudian melahirkan tradisi pemikiran politik liberal, yaitu sistem politik yang melindungi kebebasan individu dan kelompok, yang di dalamnya terdapat ruang bagi masyarakat sipil dan ruang privat yang independen dan terlepas dari kontrol negara (Widodo, 2004). Konsep demokrasi itu kemudian dirumuskan dengan sangat sederhana dan mudah oleh Presiden AS Abraham Lincoln dalam pidatonya tahun 1863 sebagai, “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Roberts & Lovecy, 1984). 3. Bidang ekonomi. Di bidang ini, mucul tokoh besarnya seperti Adam Smith, yang menyusun teori ekonominya berangkat dari pandangannya terhadap hakikat manusia. Smith memandang bahwa manusia memiliki sifat serakah, egoistis, dan mementingkan diri sendiri. Smith menganggap bahwa sifat-sifat manusia seperti ini tidak negatif, tetapi justru sangat positif, karena akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan secara keseluruhan. Smith berpendapat bahwa sifat egoistis manusia ini tidak akan mendatangkan kerugian dan merusak masyarakat sepanjang ada persaingan bebas. Setiap orang yang menginginkan laba dalam jangka panjang (artinya serakah), tidak akan menaikkan harga di atas tingkat harga pasar. (Deliarnov, 1997). 4. Bidang sosiologi. Di bidang ini muncul pemikir besarnya seperti Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, dan sebagainya. Sosiologi ingin memahami bagaimana masyarakat bisa berfungsi dan mengapa orang-orang mau menerima kontrol masyarakat. Sosiologi juga harus bisa menjelaskan perubahan sosial, fungsi-fungsi social, dan tempat individu di dalamnya (Osborne & Loon, 1999). Dari sosiologi inilah diharapkan peran manusia dalam melakukan rekayasa sosial dapat lebih mudah dan leluasa untuk dilakukan, ketimbang harus ‘pasrah’ dengan apa yang dianggap oleh kaum agamawan sebagai ‘ketentuan-ketentuan’ Tuhan. 5. Bidang pengamalan agama. Di bidang ini pun ada prinsip sekularisme yang amat terkenal, yaitu faham pluralisme agama yang memiliki tiga pilar utama, yaitu: 1. Prinsip Kebebasan, yaitu negara harus memperbolehkan pengamalan agama apapun (dalam batasan-batasan tertentu); 2. Prinsip Kesetaraan, yaitu negara tidak boleh memberikan pilihan suatu agama tertentu atas pihak lain; 3. Prinsip Netralitas, yaitu negara harus menghindarkan diri dari suka atau tidak suka pada agama. Dari prinsip pluralisme agama inilah muncul pandangan bahwa semua agama harus dipandang sama, memiliki kedudukan yang sama, namun hanya boleh mewujud dalam area yang paling pribadi, yaitu dalam kehidupan privat dari pemeluk-pemeluknya. 6. Bidang pendidikan. Di bidang pendidikan, kerangka keilmuan yang berkembang di Barat mengacu sepenuhnya pada prinsip-prinsip sekularisme. Hal itu paling tidak dapat dilihat dari kategorisasi filsafat yang mereka kembangkan yang mencakup tiga pilar utama pembahasan, yaitu (Suriasumantri, 1987): filsafat ilmu, yaitu pembahasan filsafat yang mengkaji persoalan benar atau salah; filsafat etika, pembahasan filsafat yang mengkaji persoalan baik atau buruk; filsafat estetika, pembahasan filsafat yang mengkaji persoalan indah atau jelek. Jika kita mengacu pada tiga pilar utama yang dicakup dalam pembahasan filsafat tersebut, maka kita dapat memahami bahwa sumber-sumber ilmu pengetahuan hanya didapatkan dari akal manusia, bukan dari agama, karena agama hanya didudukkan sebagai bahan pembahasan dalam lingkup moral dan hanya layak untuk berbicara baik atau buruk (etika), dan bukan pembahasan ilmiah (benar atau salah). Dari prinsip dasar inilah ilmu pengetahuan terus berkembang dengan berbagai kaidah metodologi ilmiahnya yang semakin mapan dan tersusun rapi untuk menghasilkan produk-produk ilmu pengetahuan yang lebih maju. Dengan prinsip ilmiah ini pula, pandangan-pandangan dasar berkaitan dengan akidah maupun pengaturan kehidupan manusia, sebagaimana telah diuraikan di atas, semakin berkembang, kokoh, dan tak terbantahkan karena telah terbungkus dengan kedok ilmiah tersebut. Umat Islam akhirnya memiliki standar junjungan baru yang lebih dianggap mulia ketimbag standar-standar yang telah ditetapkan al-Quran dan as-Sunnah. Umat lebih suka mengukur segala kebaikan dan keburukan berdasarkan pada nilai-nilai demokrasi, HAM, pasar bebas, pluralisme, kebebasan, kesetaraan, dan lain-lain; yang kandungan nilainya banyak bertabrakan dengan Islah Pandangan Islam Terhadap Sekularisme Untuk dapat menjawab persoalan ini, marilah kita mengembalikan satu persatu masalah ini pada pandangan al-Qur’an terhadap prinsip-prinsip sekularisme di atas, mulai dari yang paling mendasar, kemudian turunan-turunannya. Kita mulai dari firman Allah berikut:
إِنَّا خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا. إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا. إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلاسِلا وَأَغْلالا وَسَعِيرًا
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang hendak Kami uji (dengan perintah dan larangan). Karena itu, Kami menjadikannya mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya dengan jalan yang lurus; ada yang bersyukur ada pula yang kafir. Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala”. (QS al-Insan [76]: 2-4) Ayat-ayat di atas memberitahukan dengan jelas kepada manusia, mulai dari siapa sesungguhnya Pencipta manusia, kemudian untuk apa Pencipta menciptakan manusia hidup di dunia ini. Hakikat hidup manusia di dunia ini tidak lain adalah untuk menerima ujian dari Allah Swt., berupa perintah dan larangan. Allah juga memberi tahu bahwa datangnya petunjuk dari Allah untuk hidup manusia bukanlah pilihan bebas manusia (sebagaimana prinsip HAM), yang boleh diambil, boleh juga tidak; tetapi merupakan kewajiban asasi manusia (KAM), yang jika manusia tolak (kafir) maka Allah Swt. telah menyiapkan siksaan yang sangat berat di akhirat kelak untuk mereka. Selanjutnya, bagi mereka yang berpendapat bahwa jalan menuju petunjuk Tuhan itu boleh berbeda dan boleh dari agama mana saja (yang penting tujuan sama), sebagaimana yang diajarkan dalam prinsip pluralisme agama di atas, maka hal itu telah disinggung oleh Allah dalam firman-Nya: Q.S. Ali ‘Imran: 19 & 85: إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَم Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali ‘Imran [3]: 19).
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja mencari agama selain Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dan di akhirat kelak dia termasuk orang-orang yang merugi (masuk neraka). (QS Ali ‘Imran [3]: 85). Walaupun Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan yang diridhai, namun ada penegasan dari Allah Swt., bahwa tidak ada paksaan untuk masuk Islam. Jika Islam harus menjadi satu-satunya agama pilihan, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana manusia harus melaksanakan agama Islam tersebut? Allah Swt. memberitahu manusia, khususnya yang telah beriman, untuk mengambil Islam secara menyeluruh. Perintah untuk masuk Islam secara keseluruhan juga bukan merupakan pilihan bebas, sebab ada ancaman dari Allah Swt. jika kita mengambil al-Quran secara setengah-setengah. Walaupun penjelasan Allah dari ayat-ayat di atas telah gamblang, masih ada kalangan umat Islam yang berpendapat bahwa kewajiban untuk terikat dengan Islam tetap hanya sebatas persoalan individu dan pribadi, bukan persoalan hubungan antar manusia dalam bermasyarakat dan bernegara. Untuk menjawab persoalan itu, ada banyak ayat yang telah menjelaskan hal itu, di antaranya: firman Allah :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Hukumlah di antara mereka dengan apa saja yang Allah turunkan, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka (dengan meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS al-Maidah [5]: 48). Perintah tersebut menunjukkan bahwa al-Quran juga berfungsi untuk mengatur dan menyelesaikan perkara yang terjadi di antara manusia. Dari ayat ini juga dapat diambil kesimpulan tentang keharusan adanya pihak yang mengatur, yaitu penguasa negara yang bertugas menerapkan al-Quran dan as-Sunnah. Selain itu, ada pembatasan dari Allah Swt. bahwa yang berhak untuk membuat hukum hanyalah Allah Swt. Manusia sama sekali tidak diberi hak oleh Allah untuk membuat hukum; tidak sebagaimana yang diajarkan dalam sekularisme. Oleh karena itu, tugas manusia di dunia hanyalah untuk mengamalkan apa-apa yang telah Allah turunkan kepada mereka; menyangkut urusan ibadah, akhlak, pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Jika manusia, termasuk penguasa, enggan untuk menerapkan hukum-hukum Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir, zalim, dan fasik (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44, 45, dan 47). Referensi Al-Quran al-Karim. Altwajri, Ahmed O., 1997. Islam, Barat dan Kebebasan Akademis. Titian Ilahi Press. Jogjakarta. Widodo, Bambang E. C., 2004. “Demokrasi, Antara Konsep dan Realita,” Makalah Diskusi Publik HTI. 29 Pebruari 2004. Jogjakarta.

SEJARAH PERKEMBANGAN LOGIKA

1.1. Sejarah Singkat Logika A. Masa Yunani Kuno Logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta. Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif. Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu. Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari: 1. Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati) 2. Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia 3. Air jugalah uap 4. Air jugalah es Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta. Sejak saat Thales sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini. Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica , yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme. Buku Aristoteles to Oraganon (alat) berjumlah enam, yaitu: 1. Categoriae menguraikan pengertian-pengertian 2. De interpretatione tentang keputusan-keputusan 3. Analytica Posteriora tentang pembuktian. 4. Analytica Priora tentang Silogisme. Topica tentang argumentasi dan metode berdebat. De sohisticis elenchis tentang kesesatan dan kekeliruan berpikir. Pada 370 SM - 288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangn logika. Istilah logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno dari Citium 334 SM - 226 SM pelopor Kaum Stoa. Sistematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130 M - 201 M) dan Sextus Empiricus 200 M, dua orang dokter medis yang mengembangkan logika dengan menerapkan metode geometri. Porohyus (232 - 305) membuat suatu pengantar (eisagoge) pada Categoriae, salah satu buku Aristoteles. Boethius (480-524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius ke dalam bahasa Latin dan menambahkan komentar- komentarnya. Johanes Damascenus (674 - 749) menerbitkan Fons Scienteae B. Abad pertengahan dan logika modern Pada abad 9 hingga abad 15, buku-buku Aristoteles seperti De Interpretatione, Eisagoge oleh Porphyus dan karya Boethius masih digunakan. Thomas Aquinas 1224-1274 dan kawan-kawannya berusaha mengadakan sistematisasi logika. Lahirlah logika modern dengan tokoh-tokoh seperti: 1. Petrus Hispanus 1210 - 1278) 2. Roger Bacon 1214-1292 3. Raymundus Lullus (1232 -1315) yang menemukan metode logika baru yang dinamakan Ars Magna, yang merupakan semacam aljabar pengertian. 4. William Ocham (1295 - 1349) 5. Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh Thomas Hobbes (1588 - 1679) dengan karyanya Leviatan dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay Concerning Human Understanding 6. Francis Bacon (1561 - 1626) mengembangkan logika induktif yang diperkenalkan dalam bukunya Novum Organum Scientiarum. 7. J.S. Mills (1806 - 1873) melanjutkan logika yang menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya System of Logic Lalu logika diperkaya dengan hadirnya pelopor-pelopor logika simbolik seperti: 1. Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar berdasarkan Ars Magna dari Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih mempertajam kepastian. 2. George Boole (1815-1864) 3. John Venn (1834-1923) 4. Gottlob Frege (1848 - 1925) 5. Lalu Chares Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di John Hopkins University,melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan dalil Peirce (Peirce's Law) yang menafsirkan logika selaku teori umum mengenai tanda (general theory of signs) 6. Puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid yang merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861 - 1914) dan Bertrand Arthur William Russel (1872 - 1970). 7. Logika simbolik lalu diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt Godel (1906-1978), dan lain-lain. 1.2. Macam-macam logika 1. Logika alamiah Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir. [sunting] Logika ilmiah Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau, paling tidak, dikurangi. 1.3. Perbedaan Pandangan Ulama Tentang Munculnya Logika 1) Ada ulama yang antipati, menentang, atau menolak secara mutlak keberadaan ilmu mantiq untuk memahami teks-teks Islam. Keberadaan ulama yang berpandangan demikian diterangkan oleh Umar M. Noor sebagai berikut. Sejak awal kehadirannya di dunia Islam, mantik menyalakan perdebatan sengit di kalangan para ulama, terutama ahli kalam. Mereka sangat anti kepada mantik dan melarang manusia untuk mempelajarinya. Ibn Khaldun berkata bahwa antipati ini lahir karena persinggungan prinsip ilmu kalam dengan mantik yang melahirkan pilihan: terima mantik maka tinggalkan kalam atau terima kalam maka tinggalkan mantik. Padahal, ilmu kalam adalah ilmu dasar yang bertugas menetapkan akidah islamiah menyangkut keesaan Allah dan kebaharuan alam semesta. Bahkan Al Qadhi Abu Bakar Al Baqillani menyatakan bahwa prinsip-prinsip ilmu kalam adalah bagian dari akidah. Menyerangnya sama dengan berusaha menghancurkan sendi-sendi akidah islamiah. Singkatnya, menurut mereka, logika atau ilmu mantiq itu bukan hanya tidak dibutuhkan, melainkan juga haram (tidak boleh) digunakan untuk memahami teks-teks Islam. 2) Ada ulama yang simpati, menyambut, atau menerima secara bulat-bulat keberadaan ilmu mantiq untuk memahami teks-teks Islam. Keberadaan ulama yang berpandangan demikian diterangkan oleh Umar M. Noor sebagai berikut. Seperti Al Farabi dan Ibn Sina, Al Ghazali berpendapat bahwa mantik adalah aturan-aturan berpikir yang berfungsi meluruskan akal dalam menarik kesimpulan dan membebaskannya dari campuran prasangka dan imajinasi. Tugas utama mantik dengan demikian adalah menjaga akal dari kesalahan berpikir. Mantik bagi akal sepadan dengan posisi nahwu bagi bahasa Arab dan ilmu ‘Arud bagi ritme puisi (syair). Meminjam analogi Al Farabi, mantik bagi akal ibarat neraca dan takaran yang berfungsi mengukur bobot benda yang tak bisa diketahui ukurannya dengan tepat jika hanya menggunakan indera. Atau ibarat penggaris untuk mengukur panjang dan lebar sesuatu yang indera manusia sering keliru dalam memastikannya. Al Ghazali bahkan menegaskan bahwa mantik merupakan mukaddimah (organon) seluruh ilmu –-bukan hanya pengantar filsafat. Maka barangsiapa yang tidak menguasai mantik, seluruh pengetahuannya rusak dan diragukan. Singkatnya, menurut mereka, logika atau ilmu mantiq itu bukan hanya dibutuhkan, melainkan juga wajib (harus) digunakan untuk memahami teks-teks Islam. 3) Ada ulama yang tidak bersimpati, tetapi tidak secara mutlak menolak keberadaan ilmu mantiq untuk memahami teks-teks Islam. Keberadaan ulama yang berpandangan demikian diungkapkan oleh Umar M. Noor sebagai berikut: Abu Amr Ibn Shalah … mengatakan bahwa setiap orang yang otaknya cerdas otomatis berpikirnya logis tanpa harus belajar mantik. Lebih lanjut, Umar M. Noor menerangkan: Ketika sekilas saya mengamati buku “Kubra Al Yaqiniat Al Kauniah: Wujud ul-Khaliq wa Wazifat ul-Makhluq” karya Dr Said Ramadhan Al Buthi, saya menemukan sedikit peninggalan Ibn Taymiah di dalamnya. Dalam pengantar cetakan ketiga-nya, Dr Said menulis, “Apakah dalam menguraikan pembahasan akidah islamiah dalam buku ini kami berpedoman kepada filsafat Yunani dan logika formal (mantik shuri)?…Kami tidak menggunakannya sama sekali. Kami hanya menyajikan kepada pembaca dalil-dalil dan bukti-bukti yang diakui akurasinya sepanjang sejarah meski diungkapkan dengan bahasa yang berbeda-beda.” Selanjutnya, setelah menyebutkan kekurangan dan kelebihan mantik, Dr Buthi berkata, “Kami tidak berkata bahwa filsafat Yunani dan logika Aristoteles semuanya salah. Tidak ada alasan sama sekali untuk menutup mata dan pikiran darinya. Di dalamnya [ada] banyak hal yang bermanfaat, namun [ada] banyak pula yang menyulut kritikan dari para ulama dan filosof muslim. Orang yang selalu hendak membangun pemikirannya dengan dasar-dasar ilmiah harus mampu memilih yang baik dari orang lain, daripada menolaknya sama sekali.” Ini pendirian Ibn Taymiah yang mengakui adanya hal-hal positif dalam mantik, karena itu ia tidak membantah demonstrasi [logika] yang didukung premis-premis meyakinkan, meski negatifnya lebih banyak daripada positifnya. Kemudian, di pembukaan (tamhid) yang membandingkan metode ilmiah pemikir muslim dan pemikir Barat, Dr Buthi menyebutkan bahwa analisa rasional yang digunakan kaum muslimin dalam membahas sesuatu yang tidak diberitakan oleh Al Qur’an dan hadis mutawatir adalah dilalah iltizam dan qiyas ‘illat. Dan keduanya benar-benar metode alternatif yang ditawarkan Ibn Taymiah. Wallahu A’lam. Singkatnya, menurut mereka, logika atau ilmu mantiq itu kurang dibutuhkan walaupun boleh (tidak haram) digunakan untuk memahami teks-teks Islam. 4) Ada ulama yang tidak antipati, tetapi tidak secara bulat-bulat menerima keberadaan ilmu mantiq untuk memahami teks-teks Islam. Keberadaan ulama yang berpandangan demikian diungkapkan oleh Umar M. Noor sebagai berikut. Pada masa penerjemahan literatur asing atas perintah Khalifah Al Makmun (w. 218 H), buku-buku [dari Yunani] ini menarik perhatian banyak cendikiawan muslim pada saat itu hingga beberapa dekade setelahnya. Abu Nashr Al Farabi, Abu Ali Ibn Sina dan Ibn Rusyd menulis berbagai komentar dan penjelasan tentang cabang ilmu ini. Kemudian datang generasi selanjutnya yang menyempurnakan ilmu ini dengan memandangnya sebagai ilmu tersendiri, bukan hanya ilmu alat (organon), dengan menambah yang kurang dan membuang yang tidak perlu. Orang pertama yang melakukan ini adalah Imam Fajruddin bin Al Khatib lalu Afdhaluddin Khawanji. Proyek mereka sungguh sukses sehingga berhasil menenggelamkan karya tokoh-tokoh sebelumnya dan mengalahkan metode mereka. Di Indonesia, salah seorang ulama terkemuka yang tidak secara bulat-bulat menerima keberadaan ilmu mantiq untuk memahami teks-teks Islam ialah Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. naskah pidato terakhir Kyai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Kyai terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Kyai dalam pencerahan akal, yaitu: 1. pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan didasari hati yang suci; 2. akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; 3. ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt. Pandangan beliau itu dikembangkan lebih lanjut oleh ulama-ulama Muhammadiyah. Munas Tarjih di Jakarta, 5-7 Juli 2000, menghasilkan Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam yang menggunakan tiga jenis pendekatan: bayani, burhani (yang di dalamnya terkandung ilmu mantiq), dan ‘irfani. Bahwa Muhammadiyah tidak secara bulat-bulat menerima keberadaan ilmu mantiq (atau pun “alat bantu” lain) untuk memahami teks-teks Islam, kita bisa mengetahui dengan menyimak bagaimana Muhammadiyah memadukan ketiga pendekatan tersebut: Hubungan yang baik antara ketiganya adalah hubungan yang bersifat spiral, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam pemikiran keislaman, sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus bersedia memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya. Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, kesalahan, yang melekat pada masing-masing metodologi dapat dikurangi dan diperbaiki, setelah memperoleh masukan dari pendekatan bayani, burhani maupun ‘irfani. Corak hubungan yang bersifat spiral, tidak menunjukkan adanya finalitas dan eksklusivitas, lantaran finalitas –untuk kasus-kasus tertentu– hanya mengantarkan seseorang dan kelompok muslim pada jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar sesama muslim. Lebih-lebih lagi, finalitas tidak memberikan kesempatan munculnya new possibilities (kemungkinan-kemungkinan baru) yang barangkali lebih kondusif untuk menjawab persoalan-persoalan keislaman kontemporer. Jadi, logika atau ilmu mantiq itu sangat dibutuhkan sebagai “alat bantu” untuk memahami teks-teks Islam, supaya kita terjaga dari kesalahan-berpikir atau sesat-pikir (fallacy) dan terjaga dari debat-kusir atau jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar sesama muslim. 1.4. Kadar Logika/Rasionalitas Berikut beberapa aspek yang harus diperhatikan kadar logika/rasionalitasnya. 1. Logika dari segi pengetahuan umum, atau pengetahuan di bidang tertentu Contoh: Beberapa tahun lalu, saya pernah membaca sebuah cerpen. Di dalamnya ada cerita tentang seorang tukang pos yang mengantar surat KILAT KHUSUS dengan mengendarai SEPEDA. Nah, ini adalah contoh yang tidak logis. Coba kita tanyakan pada kantor pos terdekat. Mereka akan menjawab, “Surat kilat khusus biasanya diantar dengan motor. Yang diantar dengan sepeda adalah surat dengan perangko biasa.” 2. Logika dari segi psikologis Contoh: Ada seorang gadis remaja berusia 17 tahun yang sangat menikmati dunianya. Ia sama sekali belum berpikir untuk menikah, karena ia merasa masih terlalu muda. Hubungannya dengan kedua orang tuanya pun tidak terlalu dekat. Lalu suatu ketika, ibunya menyuruh dia menikah dengan seorang kakek-kakek berusia 70 tahun. Dengan serta merta tanpa ba bi bu, si remaja langsung mengiyakan. Tak ada penolakan sedikit pun. Nah, benar-benar aneh, bukan? Apakah tak ada konfilik bathin sedikit pun dari si gadis? Kenapa ia mau menuruti begitu saja perintah ibunya, padahal hubungan dia dengan kedua orang tuanya tidak terlalu dekat? 3. Logika dari segi konsistensi Misalnya: di bagian awal disebutkan bahwa si Ali suka baju warna merah. Tapi di bagian tengah disebutkan, si Ali mentertawakan temannya yang pakai baju warna merah. 4. Logika yang berhubungan dengan karakter tokoh Misalnya: Kita menceritakan tentang tokoh Budi yang penyabar. Tapi di dalam ceritanya, kita sering menggambarkan adegan si Budi yang marah dan ngamuk-ngamuk. Tentu sangat lucu, kan? (*) Penjelasan lebih detil dapat dibaca di sini. Memang, kondisi seperti ini bisa saja terjadi, tapi seharusnya ada “hubungan sebab akibat” di balik keanehan itu. Dan sebagai penulis yang baik, kita harus membuat penjelasan yang memadai mengenai hal ini di dalam cerita kita, agar pembaca tidak bertanya-tanya. 5. Logika yang berhubungan dengan setting cerita Misalnya: Dalam sebuah cerita, dikisahkan tentang seorang tokoh yang jalan-jalan di tengah kota Jakarta yang sedang musim salju. Nah, dari mana ceritanya, di jakarta kok bisa ada musim salju? Ini adalah salah satu contoh yang ekstrim. Dalam penulisan cerita, mungkin kita bisa melakukan kesalahan seperti ini, walau dalam porsi yang sangat kecil. 6. Logika dari segi hubungan sebab akibat Misalnya: Ada orang yang tidak pernah bergaul, tidak melakukan apapun, tapi tiba-tiba menjadi presiden. Tentu tidak masuk akal, bukan? Jadi, kita harus membuat cerita yang mengandung unsur “sebab akibat” yang jelas. Ketika kita menceritakan tokoh yang diangkat jadi presiden, tentu kita harus menceritakan juga mengenai hal-hal apa saja, atau cerita masa lalunya, yang menyebabkan dia akhirnya diangkat jadi presiden. 7. Logika dari segi kewajaran cerita Contoh: Ada dua orang sahabat - si A dan B - yang sudah seperti saudara. Mereka satu sekolah dan satu kelas. Suatu hari, si A mematahkan pensil si B. Pensil itu sebenarnya biasa-biasa saja, si B pun tidak terlalu suka pada pensil itu. Tapi gara-gara kejadian ini, si B marah besar pada si A. Ia mengatakan hubungan persahabatan mereka lebih baik diakhiri saja. Mereka pun musuhan selamanya, hingga akhir hayat. Wah, sebuah cerita yang sangat mengada-ada, bukan? Hanya gara-gara masalah sepele, hubungan persaudaraan menjadi berantakan. Ini tentu sangat tidak logis. Di dalam menulis cerita, tentu kita bebas menulis konflik atau masalah apa saja. Tapi buatlah konflik atau masalah yang wajar dan masih bisa diterima secara logika. Referensi o Pengantar Logika. Asas-asas penalaran sistematis. Oleh Jan Hendrik Rapar. Penerbit Kanisius. ISBN 979-497-676-8 o Logika Selayang Pandang. Oleh Alex Lanur OFM. Penerbit Kanisius 1983. ISBN 979-413-124-5 o Umar M. Noor, “Menimbang Mantik: Antara Al Ghazali dan Ibn Taymiah” o Mohamad Ali dan Marpuji Ali, “Filsafat Pendidikan Muhammadiyah“ o MT-PPI PP Muhammadiyah, “Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam“

Kamis, 05 November 2009

Talak

1.1. Pengertian Talak Talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan, meninggalkan dan memisahkan. Imam Sayyid Sabiq menyatakan dalam kitabnya, talak menurut bahasa diambil dari kata ”Itlaq” yang berarti melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan menurut syara (istilah), kami akan kemukakan menurut Ulama ahli fiqh, mazhab Hanafi dan Hanbali mendefinisikannya sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan yang akan datang. Yang dimaksud ”secara langsung” adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya lansung berlaku ketika ucapan talak itu diucapkan suami. Adapun yang dimaksud dengan ”yang akan datang” adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh suatu hal. Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau atau dengan semakna dengan itu. Sedangkan Mazhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri. Mereka berbeda dalam mendefinisikan talak, akan tetapi intinya sama yaitu lepasnya ikatan pekawinan antara suami istri. 1.2. Legalitas Talak Didalam al-Qur’an terdapat ayat yang menjadi dasar hukum talak, diantaranya adalah: الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagii kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”(QS: Al Baqarah: 229) Dan firman Allah swt: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا Artinya: ”Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”(QS: At Thalaq:1) Kemudian dari hadist Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Al Hakim, dan At Thirmidzi dari Abdullah Ibn Umar. Bahwasannya Rasulullah saw bersabda: Artinya: ”Pekerjaan halal yang dibenci oleh Allah adalah talak” (HR Abu Daud, Al Hakim, dan At Thirmidzi dari Abdullah Ibn Umar). 1.3. Hukum talak Tentang hukum talak ini, ulama fiqh berbeda pendapat. Talak adakalanya wajib, adakalanya haram, adakalanya mubah, adakalanya sunnah. Tergantung kepada situasi dan kondisi yang terjadi antara suami istri. Talak yang adakalanya wajib adalah talak yang dijatuhkan oleh pihak ”hakamain” (penengah) karena perpecahan antar suami istri yang sudah berat. Apabila ”hakam” (penengah) berpendapat hanya cerai lah jalan satu-satunya yang dapat ditempuh untuk menghentikan perpecahan. Talak yang haram yaitu talak tanpa alasan. Talak ini diharamkan karena merugikan suami istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang hendak dicapai dengan perbuatan talaknya itu. Jadi, talaknya haram seperti haramnya merusak harta benda. Rasulullah saw bersabda: Artinya: ”Tidak boleh berbuat membahayakan dan tidak boleh membalas dengan bahaya” Dalam riwayat lain dikatakan bahwa talak serupa ini dibenci. Rasulullah saw bersabda: Artinya: ”Pekerjaan halal yang dibenci oleh Allah adalah talak” (HR Abu Daud, Al Hakim, dan At Thirmidzi dari Abdullah Ibn Umar). Talak adakalanya sunnah, apabila istri mengabaikan kewajibannya kepada Allah, seperti shalat dan sebagainya, padahal suami tidak mampu memaksanya agar istri menjalankan kewajibannya tersebut bisa pula istri kurang malunya. pendapat yang paling benar adalah pendapat yang mengatakan ”terlarang” kecuali karena alasan yang benar. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiah dan Hanabilah. Karena mereka beralasan dengan sabda Rasulullah saw, yang berbunyi: Artinya: ”Allah melaknat setiap lelaki yang suka mencicipi perempuan kemudian menceraikannya (maksudnya suka kawin cerai)” Ini disebabkan karena orang yang bercerai itu kufur akan nikmat Allah, sedangkan kawin adalah suatu nikmat. Dan kufur terhadap nikmat adalah terlarang. Jadi, tidak halal bercerai kecuali darurat. 1.4. Lafal Talak Semua lafal yang artinya memutuskan sesuatu ikatan perkawinan dan dipergunakan untuk menjatuhkan talak, disebut lafal talak. Namun demikian, terdapat juga lafal-lafal tertentu yang menegaskan arti talak dan dapat dipahami oleh masyarakat juga dikenal dalam syariat. Lafal-lafal yang menunjukkan makna talak ada dua macam yaitu lafal sarih dan lafal kinayah. 1. Lafal Sarih Lafal sarih adalah lafal yang bisa dipahami sebagai perceraian saat diucapkan tanpa mengandung pengertian lain karena yang lebih kuat penggunanya hanya pada konteks perceraian, baik dari segi bahasa maupun tradisi. Misalnya ungkapan: ”Kamu tertalak” (anti taliq), ”aku menceraikan mu” (thalllaqtuki), ”kamu tertalak!” (anti muthallaqah), dan sejenisnya. Menurut Imam Syafi’i, Hanbali dan Zhahiri yang termasuk dalam talak ini adalah: talak firaq (pisah), talak sirah (lepas) dan talak kelugasannya dalam menunjukkan arti perceraian. Ketiga lafal ini terdapat dalam al-Qur’an, antara lain: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا Artinya: “Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka…….(QS: Al Ahzab: 49) وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang bertakwa” (Al Baqarah: 241) Menurut Imam Syafi’I, talak akan jatuh dengan menggunakan lafal sarih tanpa niat untuk maksud mentalak istri, karena lafal sarih itu sudah jelas dan tegas maksudnya. 2. Lafal Kinayah Lafal kinayah adalah suatu kata yang bisa berarti talak dan bisa pula berarti lain (mempunyai arti lain). Dengan kata lain lafal kinayah adalah ungkapan yang sebenarnya tidak digunakan untuk menyebut talak secara khusus, akan tetapi ia mengandung arti talak dan lainnya. Seperti kata suami kepada istrinya: “kembalilah engkau kepada orang tuamu”. Menurut Mazhab Hanafi, menjatuhkan talak dengan lafal kinayah tidak mesti ada niat, tetapi tergantung suasana yang dapat menterjemahkan makna talak yang terkandung dalam lafal kinayah yang diucapkan suami ketika itu. Menurut Imam Syafi’I dan Malik, menjatuhkan talak dengan lafal kinayah tidak akan jatuh talak kecuali dengan niat, tidak cukup dengan “suasana” saja (pada waktu dijatuhkan talak dengan lafal kinayah itu) tanpa niat. Karena lafal kinayah itu tidak pasti dipakai dalam bidang syariat (hukum) dan kebiasaan pemakaiannya pun tidak mesti menunjukkan arti talak, maka harus ada niat., barulah talak itu sah. 1.5. Macam-Macam Talak Talak dilihat dari boleh atau tidaknya suami rujuk dengan istri yang telah ditalaknya terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: Talak raj’i dan Talak Bain . a. Talak Raj’i adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan suami kepada istrinya. Dalam keadaan ini suami berhak rujuk dengan istrinya tanpa akad dan mahar yang baru selama rujuk tersebut dilakukan dalam masa iddah istri. Talak seperti ini, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 229, dijatuhkan secara bertahap atau satu demi satu. Dan akibat dari talak raj’i adalah berkurangnya bilangan talak yang dimiliki oleh suami. Jika talak tersebut talak satu, maka dia hanya mempunyai kesempatan dua kali; jika talak itu talak kedua, dia hanya mempunyai hak menalak satu kali; dan jika talak itu talak ketiga, maka hilang segala hak talaknya dan bahkan dia tidak boleh rujuk lagi, jikalau ingin rujuk kembali, mantan istri harus nikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain. b. Talak Bain adalah talak yang dijatuhkan suami pada istri dimana suami berhak kembali kepada istrinya melalui akad dan mahar baru. Dan talak bain terbagi kepada 2 (dua) bagian lagi, yaitu: talak bain sugra dan talak bain kubra. Talak Bain Shugra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang belum pernah disetubuhi, talak dengan tebusan (khuluk), dan talak raj’i yang telah habis masa iddahnya sementara suami tidak rujuk dalam masa tersebut. Dalam talak seperti ini, suami tidak memiliki hak rujuk lagi pada istri yang telah ditalaknya tersebut, kecuali dengan akad dan mahar baru. Namun tidak isyaratkan si istri kawin dahulu dengan laki-laki lain. Dan talak Bain Kubra adalah talak yang ketiga kalinya. Dalam talak Bain Kubra, suami dapat kembali pada istrinya dengan akad nikah setelah istri tersebut kawin dengan laki-laki lain dan bercerai kembali secara wajar, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 230. فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ Artinya: ”Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” Para Ulama Mazhab sepakat bahwa seorang laki-laki yang mencerai tiga, maka istrinya tidak halal lagi baginya sampai ia kawin terlebih dahulu dengan laki-laki lain dengan cara yang benar. Lalu dicampuri dalam arti sesungguhnya. Berdasarkan firman Allah yang telah disebutkan diatas. Diriwayatkan dari Saiid Ibn Musayyab, bahwasannya ia berkata: wanita yang ditalak tiga halal untuk dikawini kembali oleh suami pertamanya dengan sekedar mengadakan akad nikah dengan suami yang kedua. Hadist ini adalah dhoif, karena kontradiksi dengan hadist shohih berikut ini. Jumhur Ulama berhujjah dengan Hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Aisyah bahwasannya ia berkata:”Istri Rifa’ah datang kepada Rasulullah saw. Dan berkata: Aku tadinya menikah dengan Rifa’ah, kemudian ia menceraiku lalu ia mengukuhkan talak terhadapku itu. Kemudian aku kawin dengan Abdurrahman Bin Zubair, dan yang ada padanya benar-benar seperti ujung baju. ”Rasulullah bersabda kepadanya: Yang artinya:”Lalu kamu hendak kembali lagi kepada Rifa’ah?Tidak boleh, sebelum kamu merasa kenikmatan persetubuhan dengan dia (yakni suaminya yang sekarang) dan dia merasakan kenikmatan persetubuhan dengan kamu”.(HR: Ashhabus Sunan) Talak pula terbagi 2 (dua) bagian, yaitu: talak Sunni dan talak Bid’i. Talak Sunni adalah talak yang sesuai dengan ajaran Sunnah dalam mekanisme penjatuhannya. Talak Sunni juga dapat didefinisikan dengan talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seseorang mentalak perempuan yang sudah dicampurinya dengan sekali talak dimasa bersih dan belum ia sentuh kembali selama bersih itu, sesuai dengan firman Allah: Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.(Al Baqarah: 229) Maksudnya, talak yang dibenarkan oleh agama untuk dirujuki kembali adalah sekali cerai kemudian rujuk lalu cerai lagi kemudian rujuk lagi. Selanjutnya apabila seorang suami yang menceraikan istrinya sesudah rujuk yang kedua, ia boleh memilih antara terus mempertahankan istrinya dengan baik atau melepaskannya dengan baik juga. Dan yang dimaksud dengan Talak Bid’i adalah talak yang bertentangan dengan Sunnah dalam proses penjatuhannya, atau dapat juga didefinisikan dengan talak yang menyalahi ketentuan agama, seperti mentalak tiga kali dengan sekali ucap atau mentalak tiga kali dengan secara terpisah-pisah dalam satu majlis (tempat). Para Ulama telah sepakat bahwa talak bid’i hukumya haram dan pelakunya berdosa. Akan tetapi jumhur Ulama berpendapat bahwa talaknya sah. Mereka beralasan sebagai berikut: a. Talak Bid’i tetap termasuk dalam pengertian yang tersebut dalam ayat-ayat talak pada umunya. b. Penjelasan terus terang dari Ibn umar sewaktu ia menalak istrinya ketika haid lalu Rasulullah saw menyuruh merujuknya. Ini berarti talaknya sah. Segolongan Ulama berpendapat bahwa talak bid’i tidak sah. Mereka beralasan menolak memasukkan talak Bid’i dalam pengertian pada umumnya. Karena talak Bid’i bukan talak yang diizinkan oleh Allah, bahkan diperintahkan oleh Allah untuk meninggalkannya. 1.6. Pernikahan Muhalil Yang dimaksud dengan Muhalil adalah pernikahan seorang mantan istri orang lain yang telah dicerainya secara bain, agar suami pertama dari perempuan tersebut dapat menikahinya kembali. Suami kedua itu dinamakan ”pengahalal” atau Muhalil karena menjadikan suami pertama halal untuk menikahi kembali istri yang telah dicerainya secara bain tersebut. Imam Ali Ash-shabuni mendefinisikan Muhalil adalah laki-laki yang dengan sengaja mengawini seorang wanita yang ditalak tiga agar menjadi halal bagi suami yang pertama (dari wanita itu) untuk kembali lagi kepadanya. Rasulullah saw menamakan laki-laki yang praktek demikian itu ”Bandot yang dipinjam”. Dalam hadist disabdakan: ”Sukakah kalian kuberitahu apakah bandot yang dipinjam itu?” Para sahabat menjawab: ”baik, ya Rasulullah”. Beliau bersabda: ”dia itu adalah ”Muhalil”. Allah melaknat muhalil dan muhalal lahu. Para Ulama berbeda pendapat tentang nikahnya seorang muhalil. Jumhur ulama berpendapat bahwa perkawinan muhalil itu batil dan wanita itu tetap tidak halal bagi suaminya. Mereka berhujjah dengan yang hadist sebagai berikut: a. ”Sukakah kalian kuberitahu apakah bandot yang dipinjam itu?” Para sahabat menjawab: ”baik, ya Rasulullah”. Beliau bersabda: ”dia itu adalah ”Muhalil”. Allah melaknat muhalil dan muhalal lahu. b. Hadist Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah saw, ditanya tentang perkawinan seorang muhalil. Rasulullah saw brsabda: ”Tidak halal, kecuali bila perkawinan itu terjadi atas dasar suka sama suka bukan perkawinan yang didasari tipu daya, dan bukan pula untuk memperolok-olok kitab Allah SWT. Ia harus menikah kemudian merasakan kenikmatan persetubuhan dengan istrinya.” c. Riwayat yang diriwayatkan dari Ibn Umar r.a, bahwasannya ia berkata:”Tiada seorang muhalil dan muhalal lahu didatangkan di hadapan saya, melainkan saya akan merajam keduanya”. Golongan Ulama Mazhab Hanafi dan sebagian Ulama Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa perkawinan itu hukumnya makruh, sebab digelarinya orang yang berbuat demikian itu dengan ”muhalil”, merupakan suatu petunjuk akan sahnya perkawinan, sebab perkawinan itu menjadi sebab bagi adanya kehalalan bagi suami kembali pada istrinya. 1.7. Hikmah Talak Islam membolehkan talak, tetapi dalam pada itu memandangnya sebagai barang halal yang paling dibenci oleh Allah. Talak adalah sebagai suatu keharusan yang tak dapat di elakkan, dalam situasi darurat yang mendesak, yang menjaidikan talak sebagai obat dan cara penyembuhan untuk melepaskan diri dari kesengsaraan yang pasti, yang mungkin penderitaannya tidak terbatas pada suami istri saja, melainkan meluas sampai kepada keluarga semuanya, sehingga kehidupannya berubah menjadi neraka yang tidak tertahan. Ibnu Sina berkata dalam kitabnya (Asy Syifa), ”seharusnya jalan untuk cerai itu diberikan dan jangan ditutup sama sekali karena menutup mati jalan perceraian akan mengakibatkan beberapa bahaya dan kerusakan. Diantaranya karena tabiat suami istri satu sama lain sudah tidak saling berkasih sayang lagi. Jika terus menerus dipaksakan untuk tetap bersatu, justru akan tambah tidak baik, pecah dan kehidupannya yang menjadi kalut. Maka, jikalau semua upaya perbaikan untuk memulihkan hubungan baik antara suami-istri sudah tidak berhasil, talak akan merupakan suatu keharusan yang tak dapat dilakukan lagi.

TALAK

1.1. Pengertian Talak
Talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan, meninggalkan dan memisahkan. Imam Sayyid Sabiq menyatakan dalam kitabnya, talak menurut bahasa diambil dari kata ”Itlaq” yang berarti melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan menurut syara (istilah), kami akan kemukakan menurut Ulama ahli fiqh, mazhab Hanafi dan Hanbali mendefinisikannya sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan yang akan datang. Yang dimaksud ”secara langsung” adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya lansung berlaku ketika ucapan talak itu diucapkan suami. Adapun yang dimaksud dengan ”yang akan datang” adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh suatu hal. Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau atau dengan semakna dengan itu. Sedangkan Mazhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri. Mereka berbeda dalam mendefinisikan talak, akan tetapi intinya sama yaitu lepasnya ikatan pekawinan antara suami istri.
1.2. Legalitas Talak 
Didalam al-Qur’an terdapat ayat yang menjadi dasar hukum talak, diantaranya adalah: الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagii kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.”(QS: Al Baqarah: 229) Dan firman Allah swt: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا Artinya: ”Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”(QS: At Thalaq:1) Kemudian dari hadist Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Al Hakim, dan At Thirmidzi dari Abdullah Ibn Umar. Bahwasannya Rasulullah saw bersabda: Artinya: ”Pekerjaan halal yang dibenci oleh Allah adalah talak” (HR Abu Daud, Al Hakim, dan At Thirmidzi dari Abdullah Ibn Umar).
1.3. Hukum talak
Tentang hukum talak ini, ulama fiqh berbeda pendapat. Talak adakalanya wajib, adakalanya haram, adakalanya mubah, adakalanya sunnah. Tergantung kepada situasi dan kondisi yang terjadi antara suami istri. Talak yang adakalanya wajib adalah talak yang dijatuhkan oleh pihak ”hakamain” (penengah) karena perpecahan antar suami istri yang sudah berat. Apabila ”hakam” (penengah) berpendapat hanya cerai lah jalan satu-satunya yang dapat ditempuh untuk menghentikan perpecahan. Talak yang haram yaitu talak tanpa alasan. Talak ini diharamkan karena merugikan suami istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang hendak dicapai dengan perbuatan talaknya itu. Jadi, talaknya haram seperti haramnya merusak harta benda. Rasulullah saw bersabda: Artinya: ”Tidak boleh berbuat membahayakan dan tidak boleh membalas dengan bahaya” Dalam riwayat lain dikatakan bahwa talak serupa ini dibenci. Rasulullah saw bersabda: Artinya: ”Pekerjaan halal yang dibenci oleh Allah adalah talak” (HR Abu Daud, Al Hakim, dan At Thirmidzi dari Abdullah Ibn Umar). Talak adakalanya sunnah, apabila istri mengabaikan kewajibannya kepada Allah, seperti shalat dan sebagainya, padahal suami tidak mampu memaksanya agar istri menjalankan kewajibannya tersebut bisa pula istri kurang malunya. pendapat yang paling benar adalah pendapat yang mengatakan ”terlarang” kecuali karena alasan yang benar. Ini adalah pendapat Ulama Hanafiah dan Hanabilah. Karena mereka beralasan dengan sabda Rasulullah saw, yang berbunyi: Artinya: ”Allah melaknat setiap lelaki yang suka mencicipi perempuan kemudian menceraikannya (maksudnya suka kawin cerai)” Ini disebabkan karena orang yang bercerai itu kufur akan nikmat Allah, sedangkan kawin adalah suatu nikmat. Dan kufur terhadap nikmat adalah terlarang. Jadi, tidak halal bercerai kecuali darurat. 
1.4. Lafal Talak 
Semua lafal yang artinya memutuskan sesuatu ikatan perkawinan dan dipergunakan untuk menjatuhkan talak, disebut lafal talak. Namun demikian, terdapat juga lafal-lafal tertentu yang menegaskan arti talak dan dapat dipahami oleh masyarakat juga dikenal dalam syariat. Lafal-lafal yang menunjukkan makna talak ada dua macam yaitu lafal sarih dan lafal kinayah. 1. Lafal Sarih Lafal sarih adalah lafal yang bisa dipahami sebagai perceraian saat diucapkan tanpa mengandung pengertian lain karena yang lebih kuat penggunanya hanya pada konteks perceraian, baik dari segi bahasa maupun tradisi. Misalnya ungkapan: ”Kamu tertalak” (anti taliq), ”aku menceraikan mu” (thalllaqtuki), ”kamu tertalak!” (anti muthallaqah), dan sejenisnya. Menurut Imam Syafi’i, Hanbali dan Zhahiri yang termasuk dalam talak ini adalah: talak firaq (pisah), talak sirah (lepas) dan talak kelugasannya dalam menunjukkan arti perceraian. Ketiga lafal ini terdapat dalam al-Qur’an, antara lain: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا Artinya: “Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka…….(QS: Al Ahzab: 49) وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ Artinya: “Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang bertakwa” (Al Baqarah: 241) Menurut Imam Syafi’I, talak akan jatuh dengan menggunakan lafal sarih tanpa niat untuk maksud mentalak istri, karena lafal sarih itu sudah jelas dan tegas maksudnya. 2. Lafal Kinayah Lafal kinayah adalah suatu kata yang bisa berarti talak dan bisa pula berarti lain (mempunyai arti lain). Dengan kata lain lafal kinayah adalah ungkapan yang sebenarnya tidak digunakan untuk menyebut talak secara khusus, akan tetapi ia mengandung arti talak dan lainnya. Seperti kata suami kepada istrinya: “kembalilah engkau kepada orang tuamu”. Menurut Mazhab Hanafi, menjatuhkan talak dengan lafal kinayah tidak mesti ada niat, tetapi tergantung suasana yang dapat menterjemahkan makna talak yang terkandung dalam lafal kinayah yang diucapkan suami ketika itu. Menurut Imam Syafi’I dan Malik, menjatuhkan talak dengan lafal kinayah tidak akan jatuh talak kecuali dengan niat, tidak cukup dengan “suasana” saja (pada waktu dijatuhkan talak dengan lafal kinayah itu) tanpa niat. Karena lafal kinayah itu tidak pasti dipakai dalam bidang syariat (hukum) dan kebiasaan pemakaiannya pun tidak mesti menunjukkan arti talak, maka harus ada niat., barulah talak itu sah. 
1.5. Macam-Macam Talak 
Talak dilihat dari boleh atau tidaknya suami rujuk dengan istri yang telah ditalaknya terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: Talak raj’i dan Talak Bain . a. Talak Raj’i adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan suami kepada istrinya. Dalam keadaan ini suami berhak rujuk dengan istrinya tanpa akad dan mahar yang baru selama rujuk tersebut dilakukan dalam masa iddah istri. Talak seperti ini, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 229, dijatuhkan secara bertahap atau satu demi satu. Dan akibat dari talak raj’i adalah berkurangnya bilangan talak yang dimiliki oleh suami. Jika talak tersebut talak satu, maka dia hanya mempunyai kesempatan dua kali; jika talak itu talak kedua, dia hanya mempunyai hak menalak satu kali; dan jika talak itu talak ketiga, maka hilang segala hak talaknya dan bahkan dia tidak boleh rujuk lagi, jikalau ingin rujuk kembali, mantan istri harus nikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain. b. Talak Bain adalah talak yang dijatuhkan suami pada istri dimana suami berhak kembali kepada istrinya melalui akad dan mahar baru. Dan talak bain terbagi kepada 2 (dua) bagian lagi, yaitu: talak bain sugra dan talak bain kubra. Talak Bain Shugra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang belum pernah disetubuhi, talak dengan tebusan (khuluk), dan talak raj’i yang telah habis masa iddahnya sementara suami tidak rujuk dalam masa tersebut. Dalam talak seperti ini, suami tidak memiliki hak rujuk lagi pada istri yang telah ditalaknya tersebut, kecuali dengan akad dan mahar baru. Namun tidak isyaratkan si istri kawin dahulu dengan laki-laki lain. Dan talak Bain Kubra adalah talak yang ketiga kalinya. Dalam talak Bain Kubra, suami dapat kembali pada istrinya dengan akad nikah setelah istri tersebut kawin dengan laki-laki lain dan bercerai kembali secara wajar, sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 230. فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ Artinya: ”Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” Para Ulama Mazhab sepakat bahwa seorang laki-laki yang mencerai tiga, maka istrinya tidak halal lagi baginya sampai ia kawin terlebih dahulu dengan laki-laki lain dengan cara yang benar. Lalu dicampuri dalam arti sesungguhnya. Berdasarkan firman Allah yang telah disebutkan diatas. Diriwayatkan dari Saiid Ibn Musayyab, bahwasannya ia berkata: wanita yang ditalak tiga halal untuk dikawini kembali oleh suami pertamanya dengan sekedar mengadakan akad nikah dengan suami yang kedua. Hadist ini adalah dhoif, karena kontradiksi dengan hadist shohih berikut ini. Jumhur Ulama berhujjah dengan Hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari Aisyah bahwasannya ia berkata:”Istri Rifa’ah datang kepada Rasulullah saw. Dan berkata: Aku tadinya menikah dengan Rifa’ah, kemudian ia menceraiku lalu ia mengukuhkan talak terhadapku itu. Kemudian aku kawin dengan Abdurrahman Bin Zubair, dan yang ada padanya benar-benar seperti ujung baju. ”Rasulullah bersabda kepadanya: Yang artinya:”Lalu kamu hendak kembali lagi kepada Rifa’ah?Tidak boleh, sebelum kamu merasa kenikmatan persetubuhan dengan dia (yakni suaminya yang sekarang) dan dia merasakan kenikmatan persetubuhan dengan kamu”.(HR: Ashhabus Sunan) Talak pula terbagi 2 (dua) bagian, yaitu: talak Sunni dan talak Bid’i. Talak Sunni adalah talak yang sesuai dengan ajaran Sunnah dalam mekanisme penjatuhannya. Talak Sunni juga dapat didefinisikan dengan talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seseorang mentalak perempuan yang sudah dicampurinya dengan sekali talak dimasa bersih dan belum ia sentuh kembali selama bersih itu, sesuai dengan firman Allah: Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.(Al Baqarah: 229) Maksudnya, talak yang dibenarkan oleh agama untuk dirujuki kembali adalah sekali cerai kemudian rujuk lalu cerai lagi kemudian rujuk lagi. Selanjutnya apabila seorang suami yang menceraikan istrinya sesudah rujuk yang kedua, ia boleh memilih antara terus mempertahankan istrinya dengan baik atau melepaskannya dengan baik juga. Dan yang dimaksud dengan Talak Bid’i adalah talak yang bertentangan dengan Sunnah dalam proses penjatuhannya, atau dapat juga didefinisikan dengan talak yang menyalahi ketentuan agama, seperti mentalak tiga kali dengan sekali ucap atau mentalak tiga kali dengan secara terpisah-pisah dalam satu majlis (tempat). Para Ulama telah sepakat bahwa talak bid’i hukumya haram dan pelakunya berdosa. Akan tetapi jumhur Ulama berpendapat bahwa talaknya sah. Mereka beralasan sebagai berikut: a. Talak Bid’i tetap termasuk dalam pengertian yang tersebut dalam ayat-ayat talak pada umunya. b. Penjelasan terus terang dari Ibn umar sewaktu ia menalak istrinya ketika haid lalu Rasulullah saw menyuruh merujuknya. Ini berarti talaknya sah. Segolongan Ulama berpendapat bahwa talak bid’i tidak sah. Mereka beralasan menolak memasukkan talak Bid’i dalam pengertian pada umumnya. Karena talak Bid’i bukan talak yang diizinkan oleh Allah, bahkan diperintahkan oleh Allah untuk meninggalkannya. 
1.6. Pernikahan Muhalil 
Yang dimaksud dengan Muhalil adalah pernikahan seorang mantan istri orang lain yang telah dicerainya secara bain, agar suami pertama dari perempuan tersebut dapat menikahinya kembali. Suami kedua itu dinamakan ”pengahalal” atau Muhalil karena menjadikan suami pertama halal untuk menikahi kembali istri yang telah dicerainya secara bain tersebut. Imam Ali Ash-shabuni mendefinisikan Muhalil adalah laki-laki yang dengan sengaja mengawini seorang wanita yang ditalak tiga agar menjadi halal bagi suami yang pertama (dari wanita itu) untuk kembali lagi kepadanya. Rasulullah saw menamakan laki-laki yang praktek demikian itu ”Bandot yang dipinjam”. Dalam hadist disabdakan: ”Sukakah kalian kuberitahu apakah bandot yang dipinjam itu?” Para sahabat menjawab: ”baik, ya Rasulullah”. Beliau bersabda: ”dia itu adalah ”Muhalil”. Allah melaknat muhalil dan muhalal lahu. Para Ulama berbeda pendapat tentang nikahnya seorang muhalil. Jumhur ulama berpendapat bahwa perkawinan muhalil itu batil dan wanita itu tetap tidak halal bagi suaminya. Mereka berhujjah dengan yang hadist sebagai berikut: a. ”Sukakah kalian kuberitahu apakah bandot yang dipinjam itu?” Para sahabat menjawab: ”baik, ya Rasulullah”. Beliau bersabda: ”dia itu adalah ”Muhalil”. Allah melaknat muhalil dan muhalal lahu. b. Hadist Ibnu Abbas, bahwasannya Rasulullah saw, ditanya tentang perkawinan seorang muhalil. Rasulullah saw brsabda: ”Tidak halal, kecuali bila perkawinan itu terjadi atas dasar suka sama suka bukan perkawinan yang didasari tipu daya, dan bukan pula untuk memperolok-olok kitab Allah SWT. Ia harus menikah kemudian merasakan kenikmatan persetubuhan dengan istrinya.” c. Riwayat yang diriwayatkan dari Ibn Umar r.a, bahwasannya ia berkata:”Tiada seorang muhalil dan muhalal lahu didatangkan di hadapan saya, melainkan saya akan merajam keduanya”. Golongan Ulama Mazhab Hanafi dan sebagian Ulama Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa perkawinan itu hukumnya makruh, sebab digelarinya orang yang berbuat demikian itu dengan ”muhalil”, merupakan suatu petunjuk akan sahnya perkawinan, sebab perkawinan itu menjadi sebab bagi adanya kehalalan bagi suami kembali pada istrinya. 
1.7. Hikmah Talak 
Islam membolehkan talak, tetapi dalam pada itu memandangnya sebagai barang halal yang paling dibenci oleh Allah. Talak adalah sebagai suatu keharusan yang tak dapat di elakkan, dalam situasi darurat yang mendesak, yang menjaidikan talak sebagai obat dan cara penyembuhan untuk melepaskan diri dari kesengsaraan yang pasti, yang mungkin penderitaannya tidak terbatas pada suami istri saja, melainkan meluas sampai kepada keluarga semuanya, sehingga kehidupannya berubah menjadi neraka yang tidak tertahan. Ibnu Sina berkata dalam kitabnya (Asy Syifa), ”seharusnya jalan untuk cerai itu diberikan dan jangan ditutup sama sekali karena menutup mati jalan perceraian akan mengakibatkan beberapa bahaya dan kerusakan. Diantaranya karena tabiat suami istri satu sama lain sudah tidak saling berkasih sayang lagi. Jika terus menerus dipaksakan untuk tetap bersatu, justru akan tambah tidak baik, pecah dan kehidupannya yang menjadi kalut. Maka, jikalau semua upaya perbaikan untuk memulihkan hubungan baik antara suami-istri sudah tidak berhasil, talak akan merupakan suatu keharusan yang tak dapat dilakukan lagi.

Selasa, 04 Agustus 2009

Asal Usul Orientalisme

A. Asal-usul Orientalisme Munculnya orientalisme tidak terlepas dari beberapa faktor yang melatarbelakangi, antara lain akibat perang salib atau ketika dimulainya pergesekan politik dan agama antara islam dan Kristen barat Palestina argumentasi mereka menyatakan bahwa permusuhan politik berkecamuk antara umat islam dan Kristen selama pemerintahan Nuruddin Zanki dan Salahudin al Ayubi. Karena kekalahan demi kekalahan yang dialami pasukan Kristen, maka semangat membalas dendam tetap membara selama berabad-abad. Kecemburuan kaum Orientalis antara lain dilatarbelakangi oleh giatnya penyebaran syiar Islam. Dalam waktu satu abad sejak kelahirannya, Islam telah melintasi Jazirah Arabia, Afrika Utara, Spanyol, dan Negara-negara Eropa lainnya. Faktor lainnya adalah bahwa orientalisme muncul untuk kepentingan penjajahan Eropa terhadap Negara-negara Arab dan islam di Timur, Afrika Utara dan Asia Tenggara, serta kepentingan mereka dalam memahami adat istiadat dan agama bangsa-bangsa jajahan itu demi memperkokoh kekuasaan dan dominasi ekonomi mereka pada bangsa-bangsa jajahan. Faktor-faktor tersebut mendorong mereka menggalakkan studi orientalisme dalam berbagai bentuknya di perguruan-perguruan tinggi dnegan perhatian dan bantuan dari pemerintah mereka. Kekhawatiran orang Eropa (Kristen) timbul karena tersebarnya Islam melalui sekolah Islam di Cevilla, Toledo, dan Cordova (Spanyol). Sekolah ini menarik banyak murid dari kalangan masyarakat Eropa, masyarakat Kristen Eropa, maupun kalangan Muslim. Karena iri, mereka pun melontarkan berbagai macam tuduhan terhadap Islam, diantaranya Islam disampaikan dengan kekerasan. Para Paus, uskup, dan pastur pun turut mempelajari Islam dalam rangka mengatur strategi penghancuran umat Islam. Karena pengaruh merekalah banyak diantara raja Eropa mempelajari Islam dengan tujuan melemahkan kaum muslimin. Salah seorang pastur yang mempelajari Islam di Cordova adalah Jerbert de Oralic (938-1003 M). Setelah menguasai bahasa Arab, ilmu pengetahuan Islam, ilmu eksakta, dan ilmu falak, ia diangkat menjadi pemimpin agama tertinggi di Perancis (999-1003 M). Gerared de Cremona (1111-1187) adalah seorang pendeta Hilia yang mempelajari Islam di Toledo, Andalusia. Setelah menguasai bahasa Arab, ia menerjemahkan tidak kurang dari 87 buku berbahasa Arab, termasuk kitab Rasaail al-Kindi fi al-Aqli wal-Ma’quul karya al-Farabi dan Al-Qanuun fil-Thibi karya Ibnu Sina. Setelah kaum muslimin menguasai semenanjung Iberia (Andalusia), sebagian Negara Prancis, Italia, Sisilia, dan beberapa pulau di laut Tengah sejak pertengahan abad ke-8 Miladiyah, kebudayaan Islam terus berkembang. Ia menerangi hampir separuh dunia dan menjadi dasar pendorong kebangkitan bangsa-bangsa di Eropa. Hal ini berlangsung hingga abad ke-13 Masehi. Banyak diantara para pelajar mempelajari berbagai ilmu pengetahuan di Andalusia. Misalnya, utusan dari Prancis adalah Ratu Elizabeth, putri raja Prancis Louis VI. Ratu Duban, putri Pangeran George (yang menjabat gubernur di provinsi Wales) memimpin 18 orang putri kerajaan negri tersebut menuntut ilmu di Andalusia. Sedangkan utusan dari provinsi Savo, Bavir, Saxon, dan Rhein berjumlah 700 pemuda dan pemudi dikirim ke sana pada tahun 1293. Landasan rasa iri kepada umat Islam jugalah yang mendorong mereka merebut kekuasaan kaum muslimin atas Baitul Muqaddis di Yerusalem. Muncullah kemudian doktrin Perang Suci yang menyebabkan meletusnya Perang Salib I (1096 M). Tokohnya antara lain Johannes Damscendi dan Theofanes Confesor. Perang Salib yang dikenal sebagai perang Fisabilillah di kalangan umat Islam ini berlangsung sekitar 200 tahun. B. Kristenisasi di Indonesia Kemenangan partai agama (Kristen) pada pemilihan di Belanda tahun 1901 mengubah wajah politik di sana. Partai Liberal - yang telah menguasai politik selama 50 tahun - kehilangan kekuasaannya, sedangkan golongan agama semakin kuat dan membawa pemerintahan ke prinsip Kristen. Pidato tahunan raja pada bulan September 1901 --yang menggambarkan jiwa Kristen - menyatakan mempunyai kewajiban etis dan tanggung jawab moral kepada rakyat Hindia Belanda (Nusantara), yakni memberikan bantuan lebih banyak kepada penyebaran agama Kristen. Dukungan terhadap kristenisasi Hindia Belanda dipertegas, sejalan dengan politik hutang budi yang dicanangkan. Selanjutnya, berlangsung misi penjajahan kolonialisme dan imperialisme untuk mewujudkan tri logi Gold (meraih kekayaan), Gospel (menyebarkan ajaran), dan Glory (mencapai kemegahan). Tri logi ini diwujudkan melalui tindak kekerasan dan perampasan terhadap kekayaan bangsa Islam. Mereka memaksakan diterimanya faham Kristen di dunia Islam, terutama Suriah yang pada saat itu merupakan kota perdagangan utama bagi dunia Barat dan Timur. Menurut para pengamat Muslim, kegiatan Orientalis di negeri-negeri Muslim tidak berdiri sendiri. Pada hakikatnya, ia merupakan kelanjutan strategi Perang Salib, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Husein dalam bukunya. Bangsa Indonesia pun mengenal sejumlah tokoh orientalis yang pernah menjalankan misinya di tanah air. Salah seorang diantaranya adalah snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Kaki tangan Belanda ini ditugaskan untuk mematahkan perlawanan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim khususnya di daerah Aceh. Rudi Paret memperkirakan, bangsa Eropa mulai mempelajari bahasa pada abad ke 12 M. sebab, pada saat itu Al-Qur’an telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan telah banyak pula terbit kamus arab latin. Dalam bukunya, Edward Said mengisyaratkan bahwa orientalis lahir bersamaan dengan ditetapkannya keputusan konferensi Gereja Wina pada tahun 1312 M. pada saat itu telah terbentuk departemen-departemen studi arab di beberapa universitas di Eropa. Sesungguhnya, orientalisme berawal dari pembenturan antara dunia Islam dan Kristen yang didorong oleh sentimen agama pada abad pertengahan. Adanya sifat sentimen itu sendiri diakui oleh kalangan Barat. Misalnya, di dalam bukunya, Gulbert Denogent (meninggal tahun 1124) mengatakan bahwa ia tidak memiliki referensi tertulis untuk membedakan yang benar dan yang salah mengenai Islam. Pengakuan serupa juga dikemukakan Southern di dalam bukunya Nadazaratul-Gharib ilial-islam fil-Qarnil-Wusthaa (pandangan barat terhadap Islam pada abad pertengahan). C. Taktik Penjajah Belanda Munculnya para orientalis Belanda itu perlu disimak pula latar belakang politik penjajah Belanda yang menguasai Indonesia selama tiga setengah abad. Dr. Aqib Suminto menggambarkan strategi penjajah Belanda, di antaranya diungkapkan sebagai berikut: Usaha Belanda untuk mengkonsolidasi kekuatannya mendapat perlawanan dari raja-raja Islam, dan di tingkat desa, dari para guru serta ulama Islam. Meskipun Belanda berhasil mengontrol sebagian besar daerah Nusantara yang ditaklukkannya, namun Islam tetap melebarkan sayapnya. Bahkan sejak abad ke-19 Islam mendapatkan daya dorong, berkat semakin meningkatnya hubungan dengan Timur Tengah. Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda dalam menangani masalah Islam ini, sering disebut dengan istilah Islam Politiek, dimana Prof. Snouck Hurgronje dipandang sebagai peletak dasarnya. Sebelum itu kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam hanya berdasarkan rasa takut dan tidak mau ikut campur, karena Belanda belum banyak menguasai masalah Islam. Berkat pengalamannya di Timur Tengah dan Aceh, Snouck Hurgronje, sarjana sastra Smith yang mempunyai andil sangat besar dalam penyelesaian perang Aceh ini kemudian berhasil menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan menghadapi Islam di Indonesia.

PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM ORIENTALISME

A. PENDAHULUAN Di zaman era globalisasi ini tanggapan terhadap kajian mengenai karya-karya orientalisme semakin bertambah banyak, ini merupakan bukti adanya kesadaran umat Islam yang semakin tinggi terhadap pemahaman agamanya. Kajian Orientalisme secara besar-besaran yang terus meningkat sejak abad ke-18 dan pengaruhnya yang semakin meluas telah menggugah para pemimpin muslim untuk menelaah hasil-hasil kajian pemikir barat mengenai Islam dengan motif dan tujuan yang berbeda-beda. Merupakan hak bagi setiap muslim untuk mengetahui penilaian pihak lain terhadap ajarannya, moralitasnya, sejarahnya, kebudayaannya, dan sebagainya. Disamping itu pula sebelum mengetahui semua itu terlebih dahulu cari tahu mengenai pengertian dari pada Orientalisme itu sendiri, agar tidak terjadi kesalahan dalam memahaminya. Kajian mengenai Orientalisme merupakan fenomena yang relative baru yang diwakili oleh beberapa Orientalis modern, karena kajian orientalisme pada masa-masa sebelumnya hampir seluruhnya mengisyaratkan tujuan-tujuan terselubung atau kebencian. Oleh karena itu perlunya kita mengkaji dan mempelajari mengenai pemahaman tentang orientalisme untuk menelaah pandangan para pemikir non muslim tentang Islam, Al-qur'an, kenabian, hadits dan Umat Islam. Selain itu juga manfaatnya ialah untuk menyanggah tuduhan-tuduhan kaum orientalisme terhadap Islam dan umat Islam serta menumbuhkan kesadaran terhadap kesadaran kesalahan yang dilakukan oleh kaum orientalis yang memandang secara sempit tentang wawasan keislaman juga untuk mengambil manfaat dari hasil kajian kaum orientalis. Khususnya kajian objektif ilmiah murni yang tidak dicemari motif-motif misi keagamaan, penjajahan, dan sikap apriori. Karena itu kajian mengenai orientalisme perlu kita kaji bersama. B. PENGERTIAN ORIENTALISME 1. Pengertian Secara Etimologi Pengertian Orientalisme secara etimologi berasal dari bahasa Latin; "orient" atau "oriri" yang berarti terbit. Dalam bahasa Prancis dan Inggris "orient" berarti; " Direction of rising sun " (arah terbitnya matahari atau bumi belahan timur). Sedangkan yang dimaksud dengan bumi belahan timur adalah wilayah yang membentang luas dari kawasan Timur Dekat ( wilayah Turki dan sekitarnya) hingga Timur jauh (Jepang, Korea, dan Cina) dan dari Asia Selatan hingga Republik-republik Muslim bekas Uni soviet, serta kawasan Timur Tengah hingga Afrika Utara. Sebagai lawan dari "orient" adalah "occident", yang dalam bahasa Inggris berarti: "direction of setting sun" (arah tenggelamnya matahari atau bumi belahan barat), yang dalam bahasa Latin disebut "occident". Namun pengertian orient dalam konteks orientalisme lebih banyak menekankan pada Dunia Timur Islam secara keseluruhan termasuk Andalusia, Sisilia dan wilayah Balkan dari pada mengenai dunia Timur secara geografis atau politis. Karena ancaman ancaman terhadap Barat dalam sejarah, hanya kekuatan Islam sajalah yang menghadang Eropa dengan tantangan yang gigih, sehingga Islam merupakan problem sendiri bagi Barat. Maka istilah Timur bagi Barat tidak sinonim dengan Timur Asia secara keseluruhan. Maka Istilah yang paling ketat dipahami, berlaku untuk Islam yang dianggap mengancam Barat. Sedangkan bubuhan "isme" berasal dari bahasa Belanda, atau "isma" dalam bahasa Latin atau "ism" dalam bahasa Inggris berarti: "Adoctrin, theory, or system". Maka orientalisme menurut bahasa dapat diartikan dengan ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia Timur. 2. Pengertian Secara Terminologi Orientalis menurut istilah banyak berbagai pendapat yang mengemukakan, tapi orientalisme bisa diartikan sebagai ilmu yang mempelajari dunia ketimuran dalam bidang akademik. Namun pada kenyataannya orientalisme bukan hanya sebatas mempelajari dunia timur atau dalam hal ini tentang keislaman, namun mereka juga mengatur strategi untuk menghancurkan umat Islam lewat apa yang ia pelajari, oleh sebab itu ia mempelajari tentang keislaman agar ia mengetahui kelemahan dari umat Islam itu sendiri. Menurut Edward Orientalisme ialah: Suatu aliran penafsiran yang kebetulan materinya adalah Timur, peradaban-peradabannya, orang-orangnya dan lokalitas-lokalitasnya. 1) Itu sebabnya karena mereka merasa gagal dalam politik imprealisme, sehingga mereka menempuh jalan ini. Mereka juga melakukan kajian keislaman agar dapat menghancurkan keimanan umat Islam, sebagaimana dikemukakan oleh Daud Rasyid: Ini semua setelah mereka merasa gagal menguasai umat Islam melalui politik Imperialisme, Barat menempuh jalan lain. Diantaranya melancarkan serangan dari 'dalam'. Untuk itu, mereka mengadakan kajian tentang Islam, untuk mengetahui "titik-titik lemah"nya (menurut asumsi mereka). Kemudian disebar luaskan di lingkungan mereka dan ketengah-tengah umat Islam sendiri untuk menggoyahkan keimanan umat Islam terhadap agamanya. 2) Dengan demikian orientalisme bukan hanya satu doktrin positif mengenai Timur yang selalu hadir di Barat; orientalisme juga merupakan tradisi akademis yang berpengaruh (jika orang merujuk kepada seorang spesialis akademik yang disebut seorang orientalis). 3) Oleh karena itu orientalisme menurut bahasa sangat berbeda jauh dengan orientalisme menurut istilah, karena memang dalam hal aplikasinya mereka melancarkan serangan dengan rencana-rencana jahat yang mereka buat. C. KARAKTERISTIK ORIENTALISME, INTEGRASI KEPENTINGAN IMPERIALISME, MISIONARISME DAN ORIENTALISME Dalam kajian orientalisme, memiliki beberapa karakteristik yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, karena antara kesemuanya memiliki keterkaitan secara khusus, seperti yang dikutip dalam buku tentang Orientalisme; 1. Orientalisme merupakan satu kajian yang memiliki satu keterkaitan kuat dengan penjajahan barat didunia Timur, khususnya Inggris dan Prancis sejak akhir abad kedelapan belas hingga akhir perang dunia kedua. Kemudian tongkat estafet neo imperialisme diwariskan kepada Amerika Serikat yang mewakili Negara-negara imperialis barat pasca perang dunia II hingga sekarang. Fenomena orientalisme mempunyai hubungan organis dengan fenomena imperialisme sehingga antara keduanya sulit dipisahkan. Maka setiap Negara imperialis baik yang kecil maupun yang besar dapat dipastikan memiliki pusat kajian orientalisme. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bilamana wilayah dapat bertambah luas, bertambah luas pula kajian-kajian mengenai orientalisme seperti yang pernah dilakukan oleh Negara Inggris dan Prancis khususnya pada abad kesembilan belas dan awal abad ke dua puluh. 2. Orientalisme merupakan suatu kajian yang memiliki keterkaitan kuat dengan missionarisme. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya orientalis Kristen yang mempunyai spesialis kajian teologis dan kitab suci (perjanjian lama dan perjanjian baru) dengan pengkaderan khusus, bekerja sama dengan kaum orientalis Yahudi untuk melakukan kajian Islam dan kaum muslimin yang bertujuan diantaranya adalah untuk mengetahui celah-celah yang dapat dimasuki untuk memutar balik fakta kebenaran islam, menyebar bibit-bibit permusuhan dan pertentangan dikalangan umat Islam, menabur keraguan untuk mendangkalkan keraguan keyakinan yang mereka anut, dan berusaha untuk menjauhkan mereka, bahkan sampai batas tertentu berusaha memurtadkan mereka untuk kemudian memeluk agama Kristen. 3. Orientalisme adalah suatu kajian yang disebabkan adanya keterkaitan kepentingan secara organis dengan imperialisme dan missionarisme, tidak mempunyai komitmen, atau setidaknya, kecil kemungkinannya memiliki komitmen pada objektivitas ilmiah, khususnya pada domain kajian mengenai Islam. Maka kiranya dapat dimaklumi, jika kajian-kajian orientalisme menyajikan Islam dengan nuansa sikap meremehkan, memutarbalik fakta, menghukumi dan mengeneralisasikan secara asal-asalan dengan maksud agar umat Islam membenci ajaran agama yang mereka anut, berusaha melakukan pemurtadan cultural yaitu merubah budaya muslim dari Islam kepada budaya barat dengan cara yang diantaranya berupa ajakan kepada pembaharuan Islam, westernalisasi dan modernisasi, sekulerisme dan nasionalisme, dialog dengan kebudayaan-kebudayaan kontemporer, pendekatan dan kerukunan umat beragama, dan setrusnya menurut versi mereka. 4. Orientalisme adalah kajian yang memberi andil secara efektif bagi pengambilan kebijaksanaan politik barat terhadap negeri-negeri muslim. Diantara kaum orientalis banyak yang bekerja sebagai penasihat bagi pemerintah Negara mereka dalam merancang atau mengantisipasi perkembangan politik imperialisme dan missionarisme di dunia Islam. 4) Jadi, penjajahan barat didunia timur dan missionarisme tidak terlepas dari misi Orientalisme sebagai pelaksana dari apa yang mereka pelajari tentang dunia ketimuran. Oleh karena itu imperialis bukan hanya penjajahan semata tetapi mereka juga mencoba menebarkan permusuhan dan pertentangan diantara umat Islam ditambah dengan para missionaries yang berusaha untuk menjauhkan umat Islam dari keyakinannya dan memurtadkannya. Selain itu, orientalis memiliki kaitan penting dengan kristenisasi, karena orientalisme merupakan senjatanya kristenisasi. Orientalisme dan kristenisasi termasuk akal pembaratan dan senjata perang kebudayaan yang paling mencolok. Masing-masing mempunyai medannya sendiri tetapi keduanya saling melengkapi dalam hal bahwa orientalisme mempersiapkan racun yang disebarluaskan oleh kristenisasi dilembaga-lembaga pendidikan dan perguruan-perguruan tinggi. D. DASAR HUKUM ORIENTALISME 1. Q.S. Al-Baqarah: 6 إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ (6) “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.” Disini menunjukan bahwa orang-orang kafir apabila diajak untuk berdiskusi dan diberi masukan dan peringatan mereka hanya mendengarkan saja, dan sama saja dengan tidak kita beri masukan atau peringatan. 2. Q.S. Al-Baqarah: 7 خَتَمَ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَعَلَى سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (7) “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka[5], dan penglihatan mereka ditutup[6]. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” 3. Q.S. Al-Baqarah: 9 يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ (9) “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” Orientalisme adalah bagian dari tipu daya mereka yang sedang dan terus berlangsung untuk menghancurkan umat Islam, tapi ternyata secara tidak sadar usaha itu hanya akan sia-sia saja dan justru akan menguntungkan umat Islam. 4. Q.S. Al-Baqarah: 109 وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (109) “Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya[7]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Pada kenyataannya orang-orang kafir berusaha memurtadkan orang-orang Islam, dan itu terjadi pada umat Islam yang awam dan berada ditingkat bawah. Tapi bisa kita lihat orang-orang yang masuk agama Islam mereka adalah orang-orang yang pintar dan paham tentang ilmu pengetahuan serta banyak dikalangan pendeta dan pastur yang masuk Islam dan itulah kekuasaan Allah mencakup segala sesuatu. 5. Q.S. Al-Baqarah: 120 وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (120) “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” Sebagaimana yang kita ketahui ayat ini tidak asing lagi bagi umat Islam, karena kita dapat menyadari apabila orang-orang kafir menyerang kita lewat berbagai cara, maka kita akan kembali pada ayat ini. Selain tiu mereka juga memiliki tiga tujuan pokok dari pembaratan dan perang kebudayaan yang dilancarkan oleh kekuasaan barat melalui lembaga orientalisme dan kristenisasi, yaitu: 1. Menyimpangkan pemahaman Islam 2. Menghancurkan persatuan Islam 3. Merusakkan sumber-sumber informasi dan ajaran Islam8) 6. Q.S. Al-Baqarah: 217 وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (217) “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” Segala cara apapun yang mereka kerahkan demi kehancuran umat Islam, seperti yang tergambar dalam ayat diatas. 7. Q.S. Ali Imran: 118 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآَيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (118) “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” Oleh karena itu kita jangan sekali-kali menjadikan dari mereka sebagai pimpinan atau seseorang yang kita taati karena itu hanya akan memberikan kemudharathan bagi kita dan juga akan menyusahkan kita. Selain itu semua orang-orang kafir sekarang sudah dibekali untuk pemurtadan. 8. Q.S. Al-Anfal: 73 وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ (73) “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu[9], niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” E. KESIMPULAN Dunia barat secara terus menerus memerangi Islam dengan persenjataan yang semakin canggih. Dalam pendidikan tinggi, Islam dibombardir dengan tidak kurang dari delapan buah penerbitan majalah berkala mereka mengenai agama, budaya, sejarah dan peradaban Islam menurut pemikiran barat. Dalam surat Al-baqarah ayat 120 menjelaskan bahwa ketidak relaan mereka terhadap Islam. Sehingga mereka menggunakan berbagai cara untuk menghancurkan Islam dan supaya Islam mengikuti ajaran mereka. Namun suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adalah bahwa kaum orientalis tidak mampu menunjukkan argumentasi yang dapat membantah kebenaran Al-qur’an dan Assunnah. Mereka hanya mampu mengejek, mengecam, dan tidak jarang memutar balikkan fakta. Dan seandainya anggapan mereka benar, mengapa mereka tidak mampu memberikan argumentasi dengan dukungan kemampuan intelektual yang mereka miliki yang dapat membantah kebenaran Islam? Islam diserang semata karena menentang pandangan materialisme, dan menjadi penghalang utama bagi dominasi Dunia barat atas dunia timur. Mereka berkesimpulan bahwa jika ajaran Islam tidak dapat dipadukan dengan filsafat materialisme barat berarti Islam ajaran bakhil. Oleh karena itu kita harus mewaspadai para orientalis yang berkeliaran disekitar kita walau pada kenyataannya orientalis yang paling benci terhadap Islam sekalipun, tidak mampu mengingkari secara ilmiah outentisitas Al-qur’an yang tetap terpelihara hingga kini dan dijamin hingga masa mendatang.

UNSUR-UNSUR MANAJEMEN DAKWAH

1. PENDAHULUAN Kegiatan dakwah bukan hanya mencakup sisi ajakan (materi dakwah) saja, tetapi juga seluruh unsur yang terkait dengan dakwah yang dapat menjalankan secara efektif tujuan dari apa yang dikehendaki oleh maksud dan tujuan dakwah itu sendiri. Aktivitas dakwah dapat berjalan secara efektif bila mana apa yang menjadi tujuan benar-benar dapat dicapai, dan dalam pencapaiannya dikeluarkan pengorbanan-pengorbanan yang wajar. Atau lebih tepatnya jika kegiatan dakwah yang dilakasanakan mengandung unsur-unsur manajemen dakwah, maka pelaksanaan dakwah dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan agar tujuan tercapai. Namun, aktivitas dakwah ternyata tidak cukup membutuhkan kesholehan dan keikhlasan bagi para aktivisnya, tetapi juga dibutuhkan kemampuan pendukung berupa manajemen. “Kebaikan yang tidak terorganisir, akan dapat dikalahkan oleh kemunkaran yang terorganisir dengan baik”, demikian sayyidina Ali ra. berujar. Disinilah pentingnya manajemen dalam dakwah, yaitu kemampuan untuk mengumpulkan dan mengelola seluruh potensi dakwah (internal dan eksternal), memberdayakannya, dan menggunakannya sebagai kekuatan dalam melakukan dakwah. 2. PENGERTIAN MANAJEMEN Secara etimologis, kata manajemen berasal dari bahasa Inggris, manajemen, yang berarti ketatalaksanaan, tata pimpinan, dan pengelolaan. Artinya, manajemen sebagai suatu proses yang diterapkan oleh individu atau kelompok dalam upaya-upaya koordinasi untuk mencapai suatu tujuan. Dalam bahasa Arab, istilah manajemen diartikan sebagai an-nizam atau at-tanzhim, yang merupakan suatu tempat untuk menyimpan segala sesuatu dan penempatan segala sesuatu pada tempatnya. Pengertian tersebut dalam skala aktivitas juga dapat diartikan sebagai aktivitas menertibkan, mengatur, dan berpikir yang dolakukan oleh seseorang, sehingga ia mampu mengemukakan, menata, dan merapikan segala sesuatu yang ada di sekitarnya, mengetahui prinsip-prinsipnya serta menjadikan hidup selaras dan serasi dengan yang lainnya. Sedangkan secara terminology terdapat banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah: “The process of planning, organizing, leading, and controlling the work of organization members and of using all available organizational resources to reach stated organizational goals”. [Sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengaturan terhadap para anggota organisasi serta penggunaan seluruh sumber-sumber yang ada secara tepat untuk meraih tujuan organisasi yang telah ditetapkan] Disamping itu, terdapat pengertian lain dari kata manajemn, yaitu “ kekuatan yang menggerakkan sesuatu uasaha yang bertanggungjawab atas sukses dan kegagalannya suatau kegiatan atau usaha untuk mencapai tujuan tertentu melalui kerjasama dengan orang lain. 3. PENGERTIAN DAKWAH Secara etimologis, dakwah berasal dari bahasa arab, yaitu da'a, yad'u, da'wan, du'a. yang diartikan sebagai mengajak atau menyeru, memanggil, seruan, permohonan, dan permintaan. Istilah ini sering diberi arti yang sama dengan istilah-istilah tabligh, amar ma'ruf dan nahi munkar, mauidzhah hasanah, tabsyir, indzhar, washiyah, tarbiyah, ta'lim dan khotbah. Secara terminologis pengertian dakwah dimaknai dari aspek positif ajakan tersebut, yaitu ajakan kepada kebaikan dan kesalamatan dunia dan akhirat. Memang pada dasarnya para ulama memberikan definisi yang berfariasi seperti contoh Ali Makhfudh dalam kitabnya Hidayatul Mursyidin mengatakan, dakwah adalah mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan mengikuti petunjuk (agama), menyeru mereka kepada kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan yang munkar agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun lebih dari itu, istilah dakwah mencakup pengertian mengenai suatu aktivitas yang bersifat mengajak pada orang lain untuk mengamalkan ajaran islam, yang proses penyampaiannya dilakukan secara sadar dan sengaja juga dengan berbagai cara atau metode yang direncanakan dengan tujuan mencari kebahagian hidup dengan dasar keridhoan allah sehingga dengan hal itu syariat islam dapat dicapai dan memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. 4. UNSUR-UNSUR MANAJEMEN DAKWAH Tahapan Manajemen Dalam Dakwah Paling tidak ada 4 aspek pokok dalam aktivitas dakwah yang harus dimiliki oleh setiap gerakan (organisasi) dakwah Islam, yaitu 1) Memiliki konsep, pemikiran (fikrah) yang jelas 2) Memiliki metode (thoriqoh) yang benar bagi penerapan fikrah tersebut, 3) Digerakkan oleh SDM dengan kualifikasi tertentu, dan 4) Ikatan yang benar antar SDM dalam organisasi tersebut. Keempat hal itu tentu harus dibangun di atas dasar (kaidah) gerak yang shahih, yaitu aqidah Islam. Jika melihat empat hal pokok diatas, maka kemampuan manajemen dan manajemen itu sendiri mutlak dibutuhkan dalam aktivitas dakwah Islam. Manajemen dapat diartikan sebagai rangkaian proses aktivitas yang mencakup perancangan formulasi, implementasi dan evaluasi keputusan-keputusan organisasi dalam mencapai suatu tujuan tertentu dimasa datang. Secara praktis diterapkan dalam empat tahapan utama, meliputi : a. Analisis Lingkungan Organisasi Yaitu aktivitas untuk mengetahui kondisi lingkungan internal maupun eksternal organisasi, sehingga tergambar keadaan internal organisasi (kekuatan dan kelemahan) dan posisi organisasi terhadap eksternal (peluang dan ancaman). Hasil ini, menjadi dasar yang faktual dalam menyusun kebijakan dan keputusan strategis dalam operasional dakwah. b. Formulasi Strategi dan Taktik Merupakan hal penting yang menjadi sandaran utama dari semua aktivitas dakwah, serta mengarahkan (orientasi) semua potensi yang dimiliki oleh organisasi (baca: dakwah) ke suatu tujuan secara fokus dalam batas waktu yang terukur. Maka formulasi strategi harus mengandung kejelasan : visi, misi, tujuan, target, rancangan program kerja/ aksi. Dengan ini akan jelas apa yang akan dihasilkan (output) untuk objek dakwah dan bagi gerakan atau organisasi dakwah Islam itu sendiri (outcome). Dalam istilah lain, ada hulu dan jelas muaranya. c. Implementasi Strategi Implementasi strategi menitik beratkan pada unsur-unsur : struktur organisasi dan pemberdayaan SDM, kepemimpinan, budaya organisasi, yang memperjelas kefungsian tiap-tiap posisi dan orang di dalamnya. Siapa melakukan apa dan bagaimana melakukannya merupakan hal terpenting dalam implementasi strategi. d. Pengendalian dan kontrol Biasanya bagian ini yang paling sulit dilakukan secara konsisten, karena pengendalian merupakan penetapan standar/ tolok ukur secara sistematis berjalannya sebuah organisasi. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Dengan itu, organisasi akan bisa memotret perkembangan yang telah dicapainya dalam meraih tujuan. Sekaligus menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan berikutnya. 5. PENUTUP Manajemen merupakan sebuah sarana yang bisa memberikan berbagai kemudahan. Sehingga dakwah menjadi lebih dinamis, cepat dalam bertindak (responsif) namun terencana dan terukur, dilakukan oleh SDM yang tepat, dan memberikan dampak yang besar terhadap organisasi dan lingkungan. Bukan justru sebaliknya, menjadi rumit dan menghambat dinamisasi dakwah, atau bahkan menimbulkan masalah baru. Referensi: M. Munir, Ilahi Wahyu, Manajemen Dakwah, Kencana, Jakarta, 2006.

ISTIKHARAH

Di zaman sekarang sering kita lihat sebagian orang mempraktekkan berbagai macam takhayul untuk membantu mereka memilih dan membuat suatu keputusan dalam hidup. Sebagian orang menggunakan media membaca telapak tangan. Masyarakat Arab pagan (masa lalu) menggunakan media anak panah atau arah burung. Jika ada seekor burung terbang ke satu arah maka dianggap itu pertanda buruk dan jika si burung tersebut terbang ke arah lainnya maka itu dianggap sebagai pertanda baik. Islam tidak mengenal takhayul. Islam mengajarkan prinsip dasar bahwa pengetahuan tentang masa depan hanya milik Allah SWT. Dan untuk itu jalan satu-satunya bagi mereka yang beriman adalah dengan meminta bantuan Sang Pencipta yang Maha Mengetahui apa yang terjadi di masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Shalat Istikharah merupakan salah satu cara untuk meminta bantuan dan pertolongan dari Allah SWT ketika kita harus memilih pilihan yang terbaik diantara beberapa pilihan yang ada. Shalat Istikharah dilakukan setelah sebelumnya berwudhu lalu shalat dua rakaat dan sesudahnya membaca Doa Istikharah. Nabi Muhammad SAW besabda "Tidak akan rugi orang yang mengerjakan istikharah dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah." Setelah melakukan shalat Istikharah lalu lanjutkan dengan melaksanakan keputusan yang menurut ia terbaik dan keputusannya itu akan diberkati oleh Allah SWT. Shalat Istikharah tidak mesti melibatkan pengalaman seseorang dengan penampakan atau lewat mimpi. Mungkin saja sebagian orang mempunyai 'penglihatan' atau merasa terdorong dengan hati nuraninya untuk melangkah ke suatu arah tertentu. Shalat Istikharah adalah shalat sunnat yang dikerjakan untuk meminta petunjuk Allah oleh mereka yang berada diantara beberapa pilihan dan merasa ragu-ragu untuk memilih. Spektrum masalah dalam hal ini tidak dibatasi. Seseorang dapat shalat istikharah untuk menentukan dimana ia kuliah, siapa yang lebih cocok menjadi jodohnya atau perusahaan mana yang lebih baik ia pilih. Setelah shalat istikharah, maka dengan izin Allah pelaku akan diberi kemantapan hati dalam memilih. Rasulullah saw bersabda: عن جابر بن عبد الله قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعلمنا الاستخارة في الأمور كما يعلمنا السورة من القرآن يقول : " إذا هم أحدكم بالأمر فليركع ركعتين من غير الفريضة ثم ليقل : اللهم إني أستخيرك بعلمك وأستقدرك بقدرتك وأسألك من فضلك العظيم فإنك تقدر ولا أقدر وتعلم ولا أعلم وأنت علام الغيوب اللهم إن كنت تعلم أن هذا الأمر خير لي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري - أوقال في عاجل أمري وآجله - فاقدره لي ويسره لي ثم بارك لي فيه وإن كنت تعلم أن هذا الأمر شر لي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري - أو قال في عاجل أمري وآجله - فاصرفه عني واصرفني عنه واقدر لي الخير حيث كان ثم أرضني به " . قال : " ويسمي حاجته " . رواه البخاري Jabir r.a. berkata: Rasulullah telah mengajarkan kepada kami istikharah dalam segala urusan kami sebagaimana ia mengajarkan sesuatu surat dari Al-Qur’an, maka Nabi bersabda: Apabila salah seorang diantara kamu akan mengerjakan sesuatu, hendaklah ia mengerjakan shalat dua raka’at. (sunnat). Kemudian membaca do’a: Allahumma inni astakhiruka bi’ilmika waastaqdiruka biqudratika wa as’aluka min fadhlikal adhim, fa innaka taqdiru wala aqdiru wata’lamu wala a’lamu wa anta allamul ghuyub allahumma inkunta ta’lamu anna hadzal amra khairun aajilihi faqdurhu li wayassirhu li,tsumma baarik li fihi, wa inkunta ta’lamu anna haadzal amra syarrun li fi dini wa ma’asyi wa ‘aqibati amri. Auqala: aajili amri wa aajilihi fashrifhu anni washrifni anhu waqdurlial khaira haitsu kana tsumma raddhini bihi qala: wayusammi hajatahu. (Ya Allah saya minta pilihan-Mu menurut pengetahuan-Mu, dan saya mengharap dengan kekuasaan-Mu dan saya ohon dari kurnia-Mu yang besar, sesungguhnya Engkaulah yang kuasa dan saya tidak kuasa. Dan Engkau mengetahui sedang aku tidak mengetahui. Engkau ya Allah mengetahui yang ghaib, ya Allah jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik bagiku, di dalam agamaku dan penghidupanku serta akibatnya baik yang segera maupun yang akhir, maka takdirkanlah bagiku dan mudahkanlah untukku kemudian berkatilah bagiku di dalamnya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini berbahaya bagiku, dalam agamaku dan penghidupanku serta akibatnya, yang segera atau yang terakhir maka hindarkanlah dia daripadaku, dan jauhkan diriku daripadanya. Dan tentukanlah yang baik untukku, bagaimanapun adanya. Kemudian puaskanlah hariku dengan kebaikan itu. Kemudian menyebut hajatnya (hajatnya supaya disebut diwaktu berkata: Ya Allah jika Kau tahu urusan ini ……..). (HR. Bukhari).
KETERANGAN TENTANG SHALAT ISTIKHARAH  Shalat Istikharah hukumnya sunnah.  Boleh melakunkannya kapan waktu saja, siang atau malam, setelah shalat wajib atau sebelumnya.  Do'a Istikharah dilakukan setelah shalat Istikharah.  Boleh membaca surat apa saja setelah Al Fatihah karena tidak ada dalil yang menetapkan bacaan surat tertentu.  Tidak ada keterangan bahwa seseorang apabila sudah shalat akan bermimpi, melihat sesuatu, atau lapang dadanya.  Yang jelas bahwa Istikharah adalah ibadah, ibadah harus ikhlas dan sesuai dengan contoh Rasullulah SAW, Istikgarah termasuk juga dzikir kepada ALlah dan Allah akan membuat hati menjadi tenang.  Seorang muslim harus ridha denagn qadha' dan qadar Allah, dan apa yang ia peroleh insya Allah itu yang terbaik untuknya.  Yang harus kita perhatikan dalam istikharah adalah apa yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabantnya. Mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling tentang maksud Rasulullah SAW  Shalat Istikharah cukup dilakukan sekali menurut hajat yang di butuhkan, adapun berulang sampai tujuh kali tidak ada contohnya.