Free Widgets

Jumat, 10 Juni 2011

PROFESI KEWARTAWANAN 4

F. Pendidikan Kewartawanan
Sesungguhnya, wartawan itu tidaklah dilahirkan, tetapi diciptakan. Jurnalisme adalah perpaduan antara seni dan ilmu. Itulah sebabnya, mengandalkan bakat saja tidaklah cukup untuk dijadikan modal sebagai wartawan. Terlebih lagi untuk menjadi seorang wartawan yang baik.
Dulu, memang pernah ada ungkapan di kalangan tokoh-tokoh jurnalistik, "A Journalist is born," wartawan itu dilahirkan, sebagai lawan dari ungkapan lain, "Wartawan bisa dididik atau diciptakan."
Mereka yang mempunyai pendapat pertama, tidak setuju dengan adanya kursus atau pendidikan wartawan. Pendapat kedua, memandang perlu. Akhirnya, seperti terlihat belakangan ini, pendapat pertama dan kedua larut menjadi satu. Maka orang yang mempunyai bakat dan ditambah dengan teori, akan mencapai prestasi yang lebih baik daripada orang yang hanya mengalami praktek saja. Juga akan melebihi orang yang baik teorinya, tapi memang tidak punya bakat. Jadi, bakat dan teori harus bergandengan tangan.
Untuk mengerjakan sesuatu memang harus ada bakat. Dan bakat itu baru tampak, kalau seseorang melakukan praktek itu sendiri. Barulah bisa dikatakan apakah ia mempunyai bakat atau tidak.
Menurut penuturan Soendoro (1977:24-26), tokoh-tokoh jurnalistik Indonesia seperti Soewardi Soeryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Dr. Setya Budhi, Agus Salim, Dr. Rivai, Dr. Sam Ratulangie, Tjindarbumi, JD Syaranamual, Soetopo Wonobojo, Soedarjo Tjokrosisworo, Parada Harahap, Anwar Tjokroaminoto -- dan masih banyak lagi -- tidak mempunyai pendidikan jurnalistik. Biasanya mereka guru atau pemimpin pergerakan, yang harus mempergunakan organ untuk mendukung propaganda perjuangan kemerdekaan. Satu contoh seperti Soedarjo Tjokrosisworo adalah orang yang lulusan "Ujian Pegawai Kecil" (Klein Ambtenaars Examen) zaman Hindia Belanda. Tjindarbumi, Syaranamual, Soewardi Soeryaningrat, adalah mahasiswa kedokteran yang tidak lulus. Namun namanya terkenal pada zamannya. Tulisannya dibaca dan disukai orang.
Djamaluddin Adinegoro dan Tabrani, di samping keduanya memang mempunyai bakat, mereka juga adalah orang yang pernah mengikuti pendidikan jurnalistik di luar negeri, sehingga mereka berkembang menjadi wartawan-wartawan yang baik pada masanya.
"Apabila di kalangan jagat wartawan Indonesia ada bintang-bintang, maka Djamaluddin Adinegoro adalah salah satu di antaranya," demikian tulis Soebagijo I.N.(1987:v) dalam bukunya Adinegoro: Pelopor Jurnalistik Indonesia. Dia, kata Soebagijo, merupakan salah seorang pelopor dari kaum wartawan Indonesia yang mempelajari ilmu publisistik dan ilmu jurnalistik, langsung dari sumbernya, di Jerman.
Memang, pada masa itu jumlah kaum wartawan Indonesia yang menuntut ilmu jurnalistik secara formal masih sangat langka; mengingat bahwa pada tahun 25-an di Indonesia (yang masih menjadi tanah jajahan Belanda) masih belum mempunyai sekolah yang sejenis.
Nama Adinegoro lebih dikenal sebagai seorang wartawan, pengarang; seorang ahli pikir yang cemerlang, cerdas, dan seorang ahli pembuat laporan perjalanan, tukang membuat analisis politik dalam dan luar negeri. Tulisan-tulisannya banyak mendapatkan minat serta perhatian dari sidang pembacanya.
Menurut penuturan Soebagijo, tidak sedikit jumlah kaum muda di sekitar tahun 1930-an menjadi pengagum Adinegoro dan di kemudian hari bahkan lalu menduduki tempat yang penting di kalangan jagat wartawan Indonesia. Diam-diam mereka meneladani serta mengikuti jejak langkah yang telah ditempuh Djamaluddin tadi.
Begitulah, dalam perjalanan hidupnya, akhirnya Adinegoro berhasil mendapatkan tempat terpandang di kalangan jagat wartawan Indonesia; dan bahkan untuk menghormati serta memperingati jasa-jasanya setiap tahun -- sudah sejak beberapa waktu lamanya -- Persatuan Wartawan Indonesia Jakarta Raya menyediakan tanda penghargaan bagi karya jurnalistik terbaik. Tanda penghargaan tadi diberi nama "Hadiah Adinegoro," yang memang dikaitkan dengan nama nestor jurnalis Indonesia itu.
Sementara itu, di negara-negara yang telah maju sekalipun, sampai sekarang masih diperdebatkan tentang perlu tidaknya seseorang melalui proses pendidikan di bidang kewartawanan sebelum ia terjun ke dunia jurnalistik. Sebagian orang beranggapan, yang diperlukan hanyalah langsung terjun ke lapangan dan sambil jalan meningkatkan mutu kerja kewartawanannya. Sebagian orang lagi menganggap, pendidikan khusus bagi para wartawan masih diperlukan sebelum mereka terjun ke dunia kewartawanan.
Terlepas dari perdebatan di atas, dalam kenyataannya hampir di semua negara, termasuk Indonesia, kita mengenal adanya perguruan tinggi yang memiliki akademi/program studi/jurusan/ fakultas/college jurnalistik/publisistik/komunikasi massa/komunikasi. Namun, kita pun melihat kenyataan bahwa tidak semua lulusannya menerjunkan diri ke dalam dunia kewartawanan.
Pendidikan secara formal di bidang jurnalistik sudah ada di tanah air kita sejak zaman kolonial dulu. Institut Kesatrian yang didirikan oleh Douwes Dekker, mengajarkan jurnalistik dan ada beberapa muridnya dahulu yang kemudian berkembang menjadi warta­wan yang baik (Assegaff, 1982).
Yang dimaksud pendidikan formal bidang jurnalistik menurut hasil perumusan "Seminar mengenai Fasilitas dan Pola Pendidikan dan Latihan Kewartawanan di Indonesia", yang diselenggarakan pada tahun 1976, adalah: pendidikan yang menganut sistem persekolahan dan diselenggarakan oleh fakultas/jurusan publisistik atau komunikasi dari suatu perguruan tinggi/akademi.
Sebagai pendidikan tinggi, bidang jurnalistik baru dimulai setelah kemerdekaan; tepatnya setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada tahun 1949, yakni dengan pendirian Akademi Wartawan oleh Parada Harahap, di Jakarta. Akademi inilah sebenarnya yang menjadi pelopor dari Perguruan Tinggi Djurnalistik (PTD), kemudian menjadi Sekolah Tinggi Publisistik (STP), yang akhirnya berganti lagi menjadi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.
Lembaga-lembaga pendidikan tinggi lain, Gadjah Mada, misalnya, merupakan universitas negeri tertua yang mempunyai program pendidikan ilmu komunikasi. Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) didirikan bulan Mei 1948, sebagai bagian dari Akademi Ilmu Politik (Negeri) di Yogyakarta. Dewasa ini, pendidikan ilmu komunikasi pada universitas tersebut, menurut buku pedoman yang dikeluarkan Korps Mahasiswa Komunikasi Fisipol UGM (1985), diarahkan ke pendidikan profesional; profesional dalam pengetahuan, etika, dan tanggung jawabnya.
Selain di UGM, program pendidikan ilmu komunikasi pun diselenggarakan di Universitas Indonesia (1959), Jakarta, kemudian diikuti Universitas Padjadjaran (1960), Bandung.
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran yang berkembang pesat seperti sekarang, pada awalnya bernama Fakultas Jurnalistik dan Publisitik. Pada tanggal 1 Februari 1962, namanya mengalami perubahan menjadi Fakultas Publisistik dan Jurnalistik. Kemudian berubah lagi menjadi Fakultas Publisistik Yayasan pembina Unpad (1963); lalu menjadi Institut Publisistik Yayasan Pembina Unpad (1964); tahun 1965, berubah lagi menjadi Fakultas Publisistik (negeri); dan terakhir hingga sekarang, menjadi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad). Fikom Unpad ini sekarang memayungi empat jurusan, yakni: Jurusan Ilmu Jurnalistik, Ilmu Hubungan Masyarakat, Ilmu Perpustakaan, dan jurusan Manajemen Komunikasi.
Pada perkembangan selanjutnya, banyak universitas negeri lain yang menyelenggarakan pendidikan ilmu komunikasi/jurnalis- tik. Begitu pula dengan beberapa universitas swasta. Universitas Islam Bandung (Unisba), misalnya, menyelenggarakan program pendidikan Ilmu Jurnalistik -- selain membuka program studi Ilmu Hubungan Masyarakat, dan program studi Manajemen Komunikasi -- di bawah binaan Fakultas Ilmu Komunikasi (1983). Sekarang, Fikom Unisba yang bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Islam (YPI) ini sudah menghasilkan para sarjananya yang kini bekerja, baik sebagai wartawan media cetak, maupun wartawan media elektronika, di samping ada pula yang menjadi pegawai di berbagai departemen, dan lain-lain.
Dari cukilan sejarah serta fenomena pendirian beberapa lembaga pendidikan tinggi bidang jurnalistik atau ilmu komunikasi ini, dalam pengamatan Dja'far H. Assegaff (1982), ada sesuatu yang patut sekali diperhatikan:
Pertama, pendirian Akademi Wartawan yang kemudian menjadi Perguruan Tinggi Djurnalistik (PTD) oleh Parada Harahap, jelas ditujukan untuk mendidik wartawan. Kurikulumnya jelas berorienta- si pada profesi. Ia merupakan suatu professional school.
Kedua, pendidikan tinggi di universitas-universitas negeri, orientasinya ilmiah dan tidak menjurus kepada professional school. Dalam pendirian Jurusan Publisistik pada Fakultas Hukum IPK, Prof. Djokosutono (almarhum), selama beberapa kali kuliah menguraikan "publisistik" sebagai ilmu untuk menghadapi kritik-kritik pendirian jurusan ini, yang oleh sebagian sarjana menganggap bahwa kewartawanan atau jurnalistik adalah seni.
Dengan menunjukkan dua hal di atas, demikian Assegaff, ingin ditunjukkan bahwa titik pangkal pendirian pendidikan tinggi ini jauh berbeda. "Yang satu secara nyata ditujukan sebagai professional school, sedang yang lain dikembangkan sebagai lembaga ilmiah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya publisistik," jelas Assegaff.
Sebagai suatu applied science (ilmu terpakai), maka bentuk pendidikan pada fakultas/jurusan publisistik atau jurnalistik atau komunikasi massa, pada pokoknya memang harus meliputi tiga aspek pendidikan, yakni aspek pendidikan umum, aspek pendidikan profesional, dan aspek pendidikan spesialisasi (Abdurrachman, dalam Suparto, 1982).
Aspek pendidikan umum, meliputi matakuliah-matakuliah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan umum setiap manusia sarjana dan atau warga negara yang baik. Aspek pendidikan profesional, meliputi matakuliah-matakuliah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar seorang sarjana, dalam hal ini sarjana jurnalistik/publisistik/komunikasi massa. Aspek pendidikan spesi- alisasi, meliputi matakuliah-matakuliah termasuk matakuliah tambahan, untuk kebutuhan fungsional khusus bagi seorang sarjana publisistik/jurnalistik/komunikasi massa menurut arah studi atau spesialisasi atau pun jurusan yang dipilihnya.
Selain lembaga-lembaga pendidikan tinggi, sejumlah organisa- si pers juga menyelenggarakan pendidikan jurnalistik pascasarja- na. Misalnya, Sekolah Jurnalistik ANTARA, Lembaga Pers Dr. Soeto- mo (LPDS) yang dimiliki Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Pusat Pelatihan Multi Media (MMTC) yang dijalankan oleh Departe- men Penerangan (Hadi, dalam Republika, 30 Mei 1995)
Memang, pendidikan wartawan yang dilakukan oleh organisasi pers dan Departemen Penerangan serta departemen-departemen lain selama ini, cukup banyak. Suatu studi evaluasi tersaji. Pada umumnya pendidikan dan karya latihan itu lebih dititikberatkan kepada: bahasa pers yang baik, cara menulis berita yang baik. Kemudian juga pada peningkatan pengetahuan tentang berbagai bidang: koperasi, perikanan, perkebunan, hukum, perdagangan, perbankan, film. (Oetama, 1987:209).
Pada Lembaga Pendidikan Dr. Soetomo (LPDS), sebagaimana dikutip Kompas, 11 Maret 1992, tercantum sejumlah nama dewan pengurus lembaga yang hampir seluruhnya merupakan nama-nama yang sangat dikenal di kalangan pers, di antaranya Jakob Oetama, Goenawan Mohamad, Zulharmans (almarhum), atau pun Dja'far H. Assegaff.
Lembaga Pers yang memulai programnya sejak 1990 ini tampaknya berupaya untuk mendekatkan pendidikannya dengan kebutuhan praktis di lapangan. Kurikulum yang penyusunannya dikonsultani oleh R.E Stannard Jr, mantan kepala biro Indonesia untuk United Press International (UPI) dan kini menjadi salah seorang tenaga pengajar inti di LPDS, memang memperlihatkan itu. Dengan masa pendidikan satu tahun, total SKS 56 kredit, programnya dibagi menjadi empat triwulan, dengan masa belajar 10 minggu per triwulan.
Pada triwulan pertama misalnya, peserta dibekali dengan da- sar teori menulis, pengetahuan dasar jurnalistik dan sejarahnya; triwulan kedua berisi reportase; triwulan ketiga diisi dengan magang selama delapan minggu di perusahaan penerbitan media massa; dan pada triwulan terakhir diisi dengan teknik reportase lanjut (pendalaman), sekaligus penyiapan para peserta untuk disalurkan ke berbagai penerbitan. Dari tahapan magang inilah para peserta memperoleh pengetahuan konkret mengenai keadaan di lapangan yang sesungguhnya.
Menurut penjelasan Kurniawan Junaedhie (1993:15), banyak lulusannya yang bekerja di penerbitan pers menjadi wartawan. Dan wartawan lulusan LPDS, umumnya memang punya posisi tawar-menawar yang bagus, sehingga sering-sering gajinya bisa relatif lebih lumayan dibanding mereka yang bukan keluaran dari sekolah ini. "Sebagai gambaran saja, lulusannya, meminta bayaran Rp 8 juta, untuk bekerja selama 2 (dua) tahun di penerbitan pers. Ini harga tahun 1992 lalu," katanya.
Apabila dirunut dari sejarah pers dunia, menurut Dja'far Assegaff, sistem pendidikan untuk menghasilkan tenaga terampil di bidang ini memang sudah dipercaya sejak lama, meskipun sebagian kalangan lainnya juga mengatakan bahwa wartawan hanya bisa dilahirkan melalui pengalaman di lapangan. "Di Eropa misalnya, kecuali di Jerman, dulunya sangat dipercaya bahwa wartawan hanya bisa dibentuk oleh alam. Karena itu, di Inggris misalnya, profesi wartawan dibentuk melalui proses magang," jelas (mantan) Ketua dewan Kehormatan PWI ini.
Sebaliknya, tambah Assegaff, di AS sudah lama diyakini bahwa wartawan dapat dihasilkan dari pendidikan, misalnya saja dibukti- kan lewat berdirinya sebuah lembaga pendidikan pers di Illinois tahun 1897 (Kompas, 11 Maret 1992).
Jadi, institusi pendidikan mana sebetulnya yang bisa menyi- apkan profesi kewartawanan ini? Yang jelas harus pendidikan tinggi. Dalam kompleksnya fenomena yang dihadapi sekarang, pendidikan menengah sudah tidak memadai. Hanya saja, pendidikan tinggi yang mengajar dan mengembangkan praktek-praktek dalam bidang pers, boleh dikatakan tidak ada. Terutama sejak institusi pendidikan tinggi diubah dalam dua kutub, yaitu program pendidikan S1 yang berorientasi teoretik akademik/analitis, dan program D yang berorientasi praktik profesi, tidak ada perguruan tinggi negeri yang menyediakan program D. Bahkan sejumlah perguruan tinggi swasta yang pernah menyelenggarakan pendidikan setingkat sarjana muda dan berorientasi praktek profesi, ikut-ikutan mengubah diri meniru program S1.
Karenanya, seperti pernah dikatakan Ashadi Siregar (Reporter No.4, 1989), tenaga untuk profesi jurnalisme tidak pernah disiapkan secara khusus oleh perguruan tinggi, tidak juga oleh perguruan tinggi yang mengajarkan Ilmu Komunikasi. Program S1 perguruan tinggi yang mengajarkan Ilmu Komunikasi pada dasarnya diharapkan menyiapkan tenaga yang menguasai metodologi dan teori-teori ilmu komunikasi secara khusus, dan teori-teori ilmu sosial lainnya sebagai pelengkap bagi pendekatan interdisipliner. Dunia pers sebagai institusi yang ditopang oleh profesi jurnalisme (dan bisnis) hanya dapat berlangsung jika disuplay oleh masyarakat dengan personel yang handal. Dengan kata lain, sebelum diserap oleh institusi pers, di dalam masyarakat diharapkan sudah ada proses untuk menyiapkan tenaga-tenaga tersebut.
Meski demikian hal ini pada prakteknya bukan tanpa masalah. Secara umum dikemukakan beberapa masalah yang hampir-hampir klasik bagi banyak forum pendidikan dan latihan. Misalnya, seperti dituturkan Jakob Oetama (dalam Said, ed., 1992:10-11), mereka yang dikirim oleh penerbitan mengikuti pendidikan, tidak senantiasa wartawan yang tepat, akan tetapi wartawan yang bisa dibebaskan dari pekerjaannya. Setelah mengikuti pendidikan, wartawan tidak memperoleh perhatian yang pas dari atasannya dan tidak memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan. Penerbitan juga tidak melakukan evaluasi tentang dampak pendidikan yang diikuti oleh wartawannya.
Dengan kian berkembangnya dunia penerbitan menjadi industri komunikasi, maka kebutuhan akan wartawan dengan sendirinya akan meningkat. Namun sayangnya, perguruan tinggi bidang publisistik/komunikasi atau jurnalistik, tidak mampu menghasilkan tenaga yang terampil dan siap pakai. Ini, menurut Assegaff (dalam Siregar, dkk, ed.,1982:36), disebabkan sistem pendidikan yang jauh dari sistem "professional training". Karena itu, diperlukan pendidikan jurnalistik yang menggunakan cara praktek dan driling.
Dalam penilaian Assegaff, pendidikan jurnalistik yang dibutuhkan adalah yang mampu menumbuhkan keterampilan mengumpulkan fakta, menganalisa fakta tersebut, dan menuliskannya dengan bahasa yang lugas. Karena itu penting diajarkan metodologi mencari fakta, mempertajam indera berita. Sementara, keterampilan bahasa yang mutlak diperlukan, bukan hanya dipelajari dari buku-buku, tetapi dari latihan-latihan. Demikian pula keterampilan mengarang (menulis). Dengan latihan, bisa dicapai kemampuan mengarang yang tinggi.
Ada yang berpendapat, wartawan hanya perlu pengetahuan yang cukupan saja. Seorang redaksi koran Amerika, demikian tutur Sabam Siagian (1997:122), pernah mengatakan, "Saya bisa didik wartawan saya dalam tiga bulan." Dengan itu si wartawan memang bisa menulis tentang astronot dan angkasa luar, karena apa yang ingin diketahui oleh pembaca kita bukanlah hal-hal yang njlimet tetapi yang dasar-dasar (basic) saja. Tetapi kesulitannya adalah bagaimana menuliskan yang dasar-dasar itu secara menarik dan kaya kalau wartawan tidak memiliki latar-belakang yang kuat tentang masalah ruang angkasa. Wartawan tetap dituntut untuk belajar lebih banyak.
Menurut Jakob Oetama (dalam Atmadi, ed., 1985a:151), pendi- dikan wartawan bisa ditinjau dari dua segi. Pertama, pendidikan secara menyeluruh yang menyangkut kerangka sosial, kepribadian, pengetahuan umum, dan keterampilan. Kedua, pendidikan wartawan secara terbatas, hanya menyangkut keterampilan dan teknik. Pendekatan yang kedua ini oleh seorang wartawan senior yang banyak terjun dalam dunia pendidikan wartawan, Rosihan Anwar, diberi istilah pendidikan untuk melatih "common garden journalists" (Atmadi, 1985b:67).
Dilihat dari dua pendekatan pendidikan di atas, umumnya kita akan segera memilih pendekatan pertama, yang integral. Pendidikan secara integral di mana kerangka sosial dijadikan referensi utama, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia, tentunya harus menggunakan latar belakang sosio kultural dan politis negeri sendiri, karena yang akan dibentuk adalah wartawan yang akan bekerja sebagai komunikator di dalam masyarakat bangsanya.
Karena itu, untuk mengembangkan pers yang sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat, yakni pers yang menyajikan berita sebagai informasi dan sebagai komunikasi secara lebih lengkap, dalam, aktual, dan jelas, tetap berlaku kualifikasi wartawan di mana pun dan yang tercantum dalam buku-buku jurnalistik. Kualifikasi itu adalah kepekaan terhadap masalah manusia, pikiran yang kritis, lincah, terus mencari dan menggugat, hati yang hangat, penuh kompassi, gelisah. Semangat kerja keras tidak setengah-setengah. Kualifikasi ini tetap merupakan persyaratan pokok. Tanpa kualifikasi itu, wartawan tidak bisa berkembang secara optimal, dan karena itu juga tidak mampu mendukung koran secara maksimal.
Jadi, kualifikasi itu sesungguhnya diangkat dalam konteks ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan khusus. Konteks ilmu itu, di satu pihak akan mempertajam kualifikasi-kualifikasi di atas, akan mengembangkannya. Di lain pihak, konteks ilmu akan melengkapinya dengan pengetahuan, pandangan, dan orientasi yang mampu melihat peristiwa dan mengangkatnya sebagai bahan berita dalam suatu bentuk dan isi yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat, yang lebih bermanfaat untuk masyarakat dan pemerintah.
Sudah barang tentu bagi seorang wartawan sejak permulaan ia menginjakkan kakinya di dalam redaksi merupakan proses penambahan pengetahuan yang berlangsung terus-menerus. Sebab itu kiranya cukup beralasan bila Peerboom (1970:118) berujar, "adalah omong kosong bila seseorang mengatakan bahwa kewartawanan dapat dipelajari dari buku-buku dengan hasil yang lebih memuaskan, sebab buktinya dari pekerjaan praktek kemudian ia akan dapat memilih buku-bukunya sendiri yang dianggapnya baik untuk dipelajari." Oleh karenanya, menurut dia, praktikum merupakan pelajaran yang akan mematangkan sang wartawan. Bila ternyata sang calon wartawan ini mempunyai pendidikan akademis, maka penghargaan akan diperolehnya karena ia dengan amat cakapnya akan memperoleh hasil-hasil yang lebih baik di dalam pelaksanaan tugasnya. Hal semacam itu, lanjut Peerboom, setidak-tidaknya akan diperoleh oleh seseorang yang telah melampaui pendidikan tinggi jurnalistik yang pada saat sekarang masih amat terbatas.
Sehubungan dengan itu, bertambahnya wartawan yang berpendi- dikan baik, tentu sangat dibutuhkan di masa kini, terlebih lagi pada tahun-tahun mendatang mengingat teknologi canggih yang akan atau sedang memasuki dunia media, baik cetak maupun elektronika yang akan banyak mengubah cara kerja wartawan. Misalnya, bagaimana mutlaknya sikap proaktif dan kecepatan seorang wartawan dalam memberikan tanggapan, digambarkan secara rinci oleh Randy Reddick dan Elliot King (1995) dalam buku mereka, Online Journalist, using the Internet and Other Electronic Resources: "Sewaktu hendak menulis tentang krisis anggaran di negaranya, Tom Regan, wartawan Daily News (Kanada), mengontak Usenet dan Bitnet. Ia mencari ahli anggaran. Dengan sigap seorang profesor di Montreal mengontaknya kembali melalui jaringan komputer dan merekomendasikan tiga orang profesor di Amerika dan seorang di Australia. regan tinggal mengontak mereka. Lalu dengan Gopher, ia mencari referensi pendukung ke pangkalan data dunia. Dalam waktu satu jam ia mendapatkan hampir semua bahan yang diperlukan."
Begitulah, perkembangan pesat teknologi telekomunikasi dan informasi, seperti digambarkan Randy Reddick dan Elliot King, pada gilirannya akan memacu persaingan yang semakin ketat dalam pencarian, pengumpulan, dan pengolahan berita, sekaligus persaingan bisnis media. Persaingan pun, bukan hanya terjadi antara media dalam negeri, tapi juga dengan media asing. Di Indonesia pun -- karena negeri ini memang menerapkan "kebijakan udara terbuka" -- lebih dari 150 penerbitan asing beredar di sini.
Terlepas dari soal teknologi, pembangunan sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor sangat penting dalam menentukan apakah media cetak atau media elektronika akan sanggup bertahan di tengah persaingan yang sedemikian keras.
Di era serba kompetitif ini, zaman kita pun semakin ditandai oleh spesialisasi. Spesialisasi, Kata Jakob Oetama (1992), adalah akibat terjadinya diferensiasi dalam perkembangan masyarakat. Diferensiasi yang melahirkan berbagai pekerjaan, keahlian dan profesi baru, pertanda kemajuan masyarakat. Perkembangan dalam masyarakat memantulkan dampak ke pers. Pers juga dituntut semakin menumbuhkan spesialisasi pada lembaganya, baik dalam bidang redaksi, maupun dalam bidang manajemen bisnis dan teknologi cetak.
Sekadar contoh dapat dikemukakan, betapa pesatnya muncul pengetahuan baru dan istilah baru dalam ekonomi keuangan. Untuk meliput sepakbola dengan memadai pun, diperlukan pengetahuan umum plus pengetahuan spesialisasi mengenai olah raga tersebut.
Tak cuma itu, hal yang sama berlaku juga untuk bidang ilmu dan teknologi. Rubrik semakin digemari oleh khalayak pembaca. Penanganannya dituntut semakin profesional oleh wartawan yang menguasai ilmu dan teknologi.
Sebab itu, adalah wajar jika wartawan yang mempunyai latar belakang pendidikan teknologi, hukum, ekonomi, sejarah, atau sosiologi, lebih cepat mengembangkan spesialisasi dalam bidangnya ketimbang wartawan yang tidak berlatar-belakang bidang-bidang tersebut.
Dari segi ini, para sarjana dari berbagai fakultas yang menjadi wartawan, secara teoretis, bisa lebih cepat menguasai dan mengembangkan spesialisasi.
Jika demikian halnya, apakah lantas tak ada lagi tempat bagi lulusan jurusan komunikasi atau jurnalistik yang ingin menjadi wartawan?
Menurut Jakob Oetama (1992:12), tidaklah demikian duduknya perkara. Tidak semua lulusan jurusan komunikasi berminat menjadi wartawan. Tidak kalah jumlah lulusan yang memilih bekerja dalam bidang ilmu komunikasi kehumasan, periklanan, dan berbagai departemen.
Secara teoretis, tambah Jakob, mereka yang memilih menjadi wartawan, dilengkapi kelebihan yang lain sifatnya. Lulusan jurusan komunikasi mempunyai dasar pengetahuan akademis untuk mata pelajaran seperti ekonomi, sosiologi, hukum, tata negara. Di samping itu, mereka juga mempunyai pengetahuan yang menjurus ke spesialisasi dalam bidang komunikasi termasuk jurnalistik. Mereka memahami proses komunikasi, hubungan komunikasi dan masyarakat, posisi dan kaitan komunikasi massa dengan sistem sosial, terutama dengan sistem sosial politiknya. Mereka mempelajari perbandingan teori dan sistem komunikasi. "Pengetahuan itu bisa menjadi dasar yang kukuh untuk menjadi wartawan yang baik," jelas Jakob.
Namun lepas dari itu, seperti dikatakan B.M. Diah (1977), belum ada statistik yang mencatat jumlah wartawan yang menjadi besar dan ternama oleh karena ia mempraktekkan pelajaran-pelajaran yang diberikan sekolah kepadanya.
Memang harus kita akui bahwa pada umumnya wartawan menjadi besar dan ternama karena mahirnya ia menggunakan apa yang selalu kita sebut "pancaindera keenam", yang tidak bisa diperoleh atau diketemukan pada mata kuliah di perguruan tinggi manapun; intuisi, instink!
Ia menggunakan matanya lebih intensif dibanding orang-orang biasa. Ia memasang telinganya bagaikan hendak membuka tabir rahasia dari bisikan-bisikan halus. Ia dapat merasa apa yang orang lain tidak rasakan. Selebihnya, ia diberikan kesempatan setiap saat guna memperkaya diri dengan pengetahuan kehidupan secara lebih menyeluruh.***
Daftar Pustaka
Adinegoro, Publisistik & Djurnalistik, Djilid II, Gunung Agung, Jakarta, 1961.
----------, Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1954.
Adnan, H. Kiagus, "Berita Objektif dan Missi Pers," dalam Atmadi, T. (ed.), Bunga Rampai, Catatan Pertumbuhan dan Perkembangan Sistem Pers Indonesia, PT Pantja Simpati, Jakarta, 1985a hlm. 283-290.
Atmadi, T., Sistem Pers Indonesia, PT Gunung Agung, Jakarta, 1985b.
Anwar, H. Rosihan, Wartawan & Kode Etik Jurnalistik, PT Jurnalindo Aksara Grafika -- Majalah Gatra, Jakarta, 1996.
----------, Menulis dalam Air, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1983.
----------, Profil Wartawan Indonesia, Proyek Pembinaan dan Pengembangan Pers Departemen Penerangan RI, Jakarta, 1977.
Arpan, Floyd G., Wartawan Pembina Masyarakat, Penyadur S. Rochady, Penerbit Binatjipta, Bandung, 1970.
Assegaff, Dja'far H., "Derajat Kebutuhan Ketrampilan Wartawan Indonesia," dalam Siregar, Ashadi, dkk (ed.), Bagaimana Menjadi Penulis Media Massa, PT Karya Unipress, Jakarta, 1982, hlm. 35-36.
----------, "Pendidikan dan Latihan Wartawan (Sebuah Tinjauan dengan Pendekatan Kelembagaan)," dalam Hasil-hasil Loka Ripta Pers tentang Sistim Pendidikan dan Latihan Kewartawanan 1982di Medan, Proyek Peningkatan Ketrampilan Jurnalistik Departemen Penerangan RI, 1982, hlm. 60-62.
Bertens, K., Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
Broder, David S., Berita di Balik Berita, Penerjemah Lilian Tedjasundana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1992.
Coblentz, Edmond D. (ed.), Wartawan-wartawan Berbitjara, Balai Penerbit Masa, Jakarta, 1961.
Diah, B.M., "Profesi Wartawan," dalam Wibisono, Christianto (ed.) Pengetahuan Dasar bagi Wartawan Indonesia, Dewan Pers, Jakarta, 1977, hlm. 47-55.
Effendy, Onong Uchjana, "Problematik Profesi Kewartawanan," Pikiran Rakyat, 1 September 1990.
Hadi, Parni, "Wartawan Indonesia dan Jenderal MacArthur," Republika, 30 Mei 1995.
Hester, Albert L. dan Wai Lan J. To (eds.), Handbook for Third Journalists, The Center for International Mass Communication Training and Research, Henry W. Grady School of Journalism and Mass Communication The University of Georgia, Athens, Athens, Georgia, 1987.
Hill, David T., "Fuad Muhammad Syafruddin: Pejuang Lokal Berwawasan Global," dalam Massardi, Noorca M., dkk (ed.), Udin Darah Wartawan: Liputan Menjelang Kematian, Pustaka Republika -- Mizan, Bandung, 1997, hlm. 17-22.
Junaedhie, Kurniawan, Menggebrak Dunia Wartawan, Puspa Swara, Jakarta, 1993.
----------, Ensiklopedi Pers Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991.
Joesoef, Daoed, "Hendaknya Terangmu Bercahaya di Depan Orang," Sinar harapan, 29 April 1986.
Klaidman, Stephen dan Beauchamp, Tom L., "The Virtous Journalist: Morality in Journalism," dalam Cohen, Elliot D., Philosophical Issues in Journalism, Oxford University Press, New York, 1992, hlm. 39-49.
Kompas, "Lembaga Pers Dr Soetomo Tumbuhkan Idealisme di Tengah Suasana Sulit," 11 Maret 1992.
Lubis, Mochtar, Pers dan Wartawan, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1963.
Massardi, Noorca M., dkk (ed.), Udin Darah Wartawan: Liputan Menjelang Kematian, Pustaka Republika -- Mizan, Bandung, 1997.
Oetama, Jakob, "H. Rosihan Anwar sebagai Wartawan dan Pendidik Wartawan," dalam Said, Tribuana (ed.), H. Rosihan Anwar: Wartawan dengan Aneka Citra, Penerbit Harian Kompas, Jakarta, 1992, hlm. 7-15.
----------, Perspektif Pers Indonesia, Penerbit LP3ES, Jakarta, 1987.
----------, "Apa Maunya Wartawan?" dalam Atmadi, T. (ed.), Bunga Rampai, Catatan Pertumbuhan dan Perkembangan Sistem Pers Indonesia, PT Pantja Simpati, Jakarta, 1985b, hlm. 149-155.
----------,"Pers Penjalur Hatinurani Rakjat," dalam Peranan dan Sumbangan Pers dalam Pembangunan Nasional, Penerbit Binatjipta, Bandung, 1971, hlm. 67-73.
Peerboom, Robert, Surat Kabar, Penyadur S. Rochady, Alumni, Bandung, 1970.
Pikiran Rakyat, "Pers Sedang Disorot," Tajukrencana, 9 Februari 1994.
Reddick, Rendy dan King, Elliot, Online Journalist, using the Internet and Other Electronic Resources, Harcourt Brace & Company, 1995.
Sevareid, Eric, "Masalah bagi Jurnalisme Televisi," dalam Peranan Media Massa, Penerjemah Abdullah Alamudi, USIS (United States Information Service), Jakarta, 1991.
Siagian, Sabam, "Pers Nasional di Antara Persaingan dan Arus Informasi Global: Prospek Pers dan Profesi Wartawan," dalam Akhmadi, Heri, Ilusi Sebuah Kekuasaan, Institut Studi Arus Informasi & Pusat Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, 1997, hlm. 119-126.
Siregar, Ashadi, "Jagad Wartawan Indonesia Era Orde Baru: Melalui Threes Nio," dalam Sugiantoro, R.B. dan Dhakidae, Daniel, Threes Nio, Laporan dari Banaran, Penerbit harian Kompas, Jakarta, 1995, hlm. xvii-xliii.
----------, "Peranan Jalur Pendidikan dalam Upaya Memasyarakatkan Pers Pancasila," Reporter No.4/Tahun I/Agustus-September 1989, hlm. 3-8.
Soebagijo I.N., Adinegoro, Pelopor Jurnalistik Indonesia, CV Haji Masagung, Jakarta, 1987.
----------, "Wartawan dan Risiko Pekerjaannya," Pelita, 19 Maret 1986.
Soendoro, Suratkabar, UP Indonesia - Tarate NV, Yogyakarta, 1977.
Suparto, Ina Ratna Mariani, "Menata Sistim Pendidikan Formil di Bidang Jurnalistik sesuai dengan Kebutuhan Dunia Persuratkabaran," dalam Hasil-hasil Loka Ripta Pers tentang Sistim Pendidikan dan Latihan Kewartawanan 1982 di Medan, Proyek Peningkatan Keterampilan Jurnalistik Departemen Penerangan RI, 1982, hlm. 48-51.
Thayib, Anshari, "Profesi Wartawan di Tengah Perubahan Watak Lembaga Penerbitan Pers," dalam Akhmadi, Heri (ed.), Ilusi Sebuah kekuasaan, Institut Studi Arus informasi & Pusat Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya, 1997, hlm. 109-118.
Tunstall, Jeremy, Journalists at Work, Sage Publications, Beverly Hills, California, 1971.*

PROFESI KEWARTAWANAN 3

E. Persyaratan menjadi Wartawan yang Baik
Apakah syarat yang yang penting untuk menjadi seorang wartawan? Pertama sekali, kata Adolph S. Ochs, cinta pada pekerjaan wartawan, rajin, melaksanakannya, dan terutama sekali, punya hati nurani. Di dalam sebuah kantor surat kabar, pujian yang terbesar yang dapat diberikan kepada wartawan ialah jika ia disebutkan sebagai seorang pekerja yang berhati nurani (Coblentz, 1961:23). Dalam pandangan William Randolph Hearst (1961), seorang wartawan yang berhati nurani harus memenuhi pikiran-pikirannya sendiri mengenai kebenaran dan keadilan, dan harus menyesuaikan dirinya pada nilai-nilai tinggi yang telah dibina publik untuk dirinya.
Soal hati nurani ini memang merupakan sesuatu yang penting bagi kehidupan pers pada umumnya, dan profesi wartawan khususnya. Mengapa? Sebab dengan dalih "kebebasan pers", tidak sedikit wartawan yang "terjang sana terjang sini". Ada wartawan yang melakukan sepak terjang secara "membabi buta" itu demi kepentingan pribadinya dan demi kepentingan bisnis persnya; sementara ada pula yang sekadar untuk menunjukkan eksistensinya dan ingin disebut sebagai "pejuang". Ingin mendapat julukan sebagai "pers pemberani".
Masyarakat, di negara mana pun, tidak menginginkan pers yang bebas sebebas-bebasnya. Itu sebabnya bagi wartawan yang beragama, dan juga hakikatnya manusia, sebenarnya tidak ada "kebebasan" dalam arti bisa bertingkah-laku sebebas-bebasnya. Agama mengatur kehidupan ini supaya tertib. Tiada seorang pun atau pihak mana pun yang dirugikan atau ditindas.
Dalam konteks negara kita, memang pers Indonesia mempunyai kode etik dan memiliki aturan serta hukum lainnya. Namun itu pun sebenarnya belum cukup. Sebab, masih kerap terdengar adanya pelanggaran atas kode etik. Masih sering terdengar adanya sumber berita yang menjadi korban akibat ulah wartawan.
Yang terpenting, untuk menjunjung tinggi kode etik serta ketentuan lainnya, berpulang kembali kepada hati nurani insan pers masing-masing. Hati nurani yang bisa menyaring suatu berita yang layak muat, namun urung memuatnya karena pertimbangan kemanusiaan atau pertimbangan lainnya. Pertimbangan yang lebih bernilai ketimbang keuntungan bisnisnya atau predikat "pemberani" yang akan diterimanya.
Prof. Onong Uchjana Effendy, sebagaimana dikutip Pikiran Rakyat dalam tajuknya, mengungkapkan, "Seorang wartawan harus memiliki hati nurani jurnalistik (journalistic conscience). Mau mempertanyakan sebuah berita dengan ukuran dirinya sendiri atau keluarganya sendiri yang terlibat dalam berita tersebut. Bagaimana kalau tersangka itu anak kita? Ini contoh. Dengan demikian berita yang ditulis benar-benar sebuah berita yang sudah dipikirkan dalam berbagai aspek dengan cara yang bijaksana" (Pikiran Rakyat, 9 Februari 1994).
Hati nurani adalah pengertian naluri manusia tentang baik- buruk, benar-salah, adil-tidak adil. Sebuah motivasi hidup manusia yang perwujudannya dalam perbuatan-perbuatan merupakan usaha manusia mengembangkan pribadinya dalam berkomunikasi secara vertikal dengan Tuhannya dan secara horisontal dengan sesamanya (Oetama, 1971:67).
Hati nurani yang normatif dan dinamis, yakni aspirasi, pada dasarnya merupakan ekspresi dari hasrat manusia untuk mengembangkan kepribadiannya dalam hidup bersama, maka juga berarti mengembangkan hidup bermasyarakat dalam negara.
Oleh karenanya, hati nurani sekaligus juga merupakan aspirasi manusia yang inheren dan fundamental. Aspirasi untuk hidup layak, untuk memperoleh pekerjaan, untuk ikut serta dalam kehidupan masyarakat, untuk dilindungi oleh hukum, untuk berpartisipasi dalam proses kekuasaan, sebagai salah satu bentuk dari lembaga kemasyarakatan.
Selain punya hati nurani, menurut Arthur Brisbane, seorang wartawan yang baik ialah yang dapat melihat sesuatu dengan jelas dan melukiskannya dengan sederhana.
Wartawan yang paling baik, dan jarang ada, kata Brisbane, ialah yang dapat mempertahankan dari tahun ke tahun, kesanggupan untuk merasa dengan kuatnya, dan menyatakan perasaan-perasaan yang dalam dengan tulisan-tulisannya.
John Hohenberg dalam bukunya The Professional Journalist, seperti dikutip Rosihan Anwar (1977:1), mengemukakan empat buah syarat ideal untuk menjadi wartawan yang baik, yaitu:
Pertama, tidak pernah berhenti mencari kebenaran; kedua, maju terus menghadapi zaman yang berubah dan jangan menunggu sampai dikuasai olehnya; ketiga, melaksanakan jasa-jasa yang berarti dan ada konsekuensinya bagi umat manusia; keempat, dan inilah yang paling penting, memelihara suatu kebebasan yang tetap teguh.
"Jikalau tujuan-tujuan ini tampaknya di luar jangkauan wartawan dalam suatu dunia yang tidak sempurna," demikian kata Prof. Hohenberg dari Universitas Columbia itu, "namun adalah sesuai dengan watak wartawan untuk berjuang ke arah tujuan-tujuan tersebut." Menurutnya, kendati semua kesalahannya dan kesalahan itu banyak, toh wartawan itu ditakdirkan mencoba yang tidak mungkin, yakni menemukan, mengumpulkan, menyusun, menjelaskan dan menyebarkan berita, gagasan-gagasan dan pendapat-pendapat hari itu kepada khalayak ramai yang kian bertambah. "Berhasil-tidaknya dia dapat diukur dari sampai seberapa jauh khalayak ramai mengetahui tentang urusan-urusan yang secara vital mengenai kepentingan-kepentingannya."
Siapa John Hohenberg? Ia adalah salah seorang di antara para pemenang Hadiah Pulitzer yang setiap tahun diberikan di Amerika terhadap siapa saja yang dianggap penulis berita terbaik, penulis tajuk terbaik, pembuat karikatur terbaik, penulis tinjauan politik terbaik, dan sebagainya (Arpan, 1970:63).
Syarat-syarat untuk menjadi wartawan yang baik itu selanjutnya masih bisa diperpanjang dengan berbagai pendapat lain. Duanne Bradley (dalam Anwar, 1996:3), dalam buku The Newspaper - Its Place in a Democracy, mengatakan bahwa wartawan yang baik harus memiliki sejumlah aset dan modal, yaitu pengetahuan, rasa ingin tahu, daya tenaga hidup (vitalitas), nalar berdebat, bertukar pikiran, keberanian, kejujuran, dan keterampilan bahasa.
Adinegoro (1961), salah seorang perintis pers Indonesia, menambahkan bahwa wartawan yang baik memiliki sejumlah sifat yang harus ditanam dan dipupuk seorang wartawan, yaitu: (1) Minat yang mendalam terhadap masyarakat dan apa yang terjadi dengan manusianya; (2) sikap ramah tamah terhadap segala jenis manusia dan pandai membawa diri; (3) dapat menimbulkan kepercayaan orang yang dihadapi; (4) kesanggupan berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia--lebih baik lagi jika menguasai berbagai bahasa asing; (5) memiliki daya-peneliti yang kuat dan setia kepada kebenaran; (6) memiliki rasa tanggung jawab dan ketelitian; (7) kerelaan mengerjakan lebih dari apa yang ditugaskan; (8) kesanggupan bekerja cepat; (9) selalu bersikap objektif; (10) memiliki minat yang luas (11) memiliki daya analisis; (12) memiliki sifat reaktif; (13) teliti dalam mengobservasi; (14) suka membaca; dan (15) suka memperkaya bahasa.
Pendapat lainnya lagi ialah seperti yang dikemukakan James Reston, editor-eksekutif surat kabar New York Times. Ia berkesimpulan, vitalitas merupakan kunci bagi kewartawanan yang sukses. Sementara, Owalter Cronkite, editor-pengelola dari CBS News menekankan betapa pentingnya kewaspadaan sebagai sifat utama kewartawanan. Ada yang bilang yang membikin seorang wartawan itu ialah nilai-nilai moral. Ada yang berkata, bukan itu, melainkan pendidikan yang tinggi mutunya. Ada yang percaya semangat persaingan yang menyala-nyala merupakan sifat wartawan. Ada yang menyebutkan suatu perasaan akan gaya, suatu sikap yang terbuka terhadap hal yang dramatik, suatu minat yang tiada padam untuk menggali kebenaran (Anwar, 1977:1-2).
Seorang wartawan yang baik, kata Mochtar Lubis (1963:67-68), haruslah dapat membikin laporannya sedemikian rupa, hingga beritanya menjadi hidup, dan pembaca dapat melihat apa yang ditulisnya seakan dia ikut melihatnya sendiri.
Dia juga, lanjut Lubis, harus membangun gengsi bahwa dia adalah seorang wartawan yang objektif, yaitu memperlakukan sama semua orang, tanpa pilih kasih. "Janganlah seorang wartawan menutup kesalahan kawan-kawannya sendiri, akan tetapi menyiarkan keburukan orang-orang lain yang bukan kawannya."
Jika dia berhasil membangun gengsi serupa itu, maka, kata Mochtar Lubis, hal ini akan amat memudahkannya melakukan kewajibannya.
Dalam pandangan Douglas Cater, editor The Reporter, wartawan yang baik percaya bahwa kemajuan (progress) datang melalui perdebatan dan kontroversi; ia percaya pada kekuatan-kekuatan membasuh membersihkan dari publisitas; ia musuh sejati dari kerahasiaan.
Menurut J. Casey dari Chicago Daily News, sifat-sifat yang harus dipunyai wartawan itu pertama-tama ialah dia harus punya "mata" dan "telinga". "Lidah" yang licin ada juga gunanya, meski tidak begitu penting, sebab bukan perkataan wartawan itu yang terpakai, tetapi perkataan orang lain. Dia mesti bisa berbicara langsung ke pokok soal walau tidak menutup kemungkinan bahwa ada orang yang tidak setuju dengan cara ini. Wartawan harus mengerti bahwa bagi setiap orang nama dan alamatnya adalah sangat penting untuk ditulis tanpa kesalahan. Dia mesti bisa melihat dan memahami latar belakang dari apa yang dilihatnya, dan dia juga mesti bisa menulis sebuah cerita sebagai kenyataan yang saling berhubungan, dan bukan kejadian yang terpisah-pisah.
Masih dari Chicago Daily News. Bagi Everet Norlander -- seorang redaktur-berita pada koran tersebut, kecakapan pertama yang harus dipunyai seorang wartawan ialah ketelitian. Semua yang lain nomor dua.
Sebuah gengsi ketelitian, ujar Norlander, adalah amat penting bagi sebuah surat kabar, dan ini bisa dibangun oleh wartawan yang teliti pula.
Di mata John Craig, Seorang wartawan yang baik selamanya tidak melupakan dasar pekerjaan wartawan -- siapa, apa, di mana, bilamana, serta mengapa. Dan ditambahnya pula dengan sebuah lagi -- ketelitian. Menurut mantan redaktur-kota Chicago Daily News ini, seorang wartawan yang baik tidak pernah percaya begitu saja.
Kecakapan lain, tambah Craig, ialah kesanggupannya untuk menimbulkan kepercayaan laki-laki dan perempuan yang merupakan sumber berita, dan menjaga agar tidak merusakkan kepercayaan itu.
Dia, kata Craig lagi, bisa menganalisis arti sejarah yang dilaporkannya kepada umum, dan menangkap bagian-bagian yang penting; dia bersedia melakukan pemeriksaan terus-menerus; dia merasa bangga terhadap pekerjaannya; dan dia mesti sungguh-sungguh merasa bahwa tidak ada lagi yang lebih penting di dunia ini selain dari pers yang cakap, yang adil, dan yang bebas. Dan jika dia memiliki pula kecakapan pikiran yang kuat yang dinamakan "nose for news", maka dia telah menjadi seorang wartawan yang baik. Dan jika Tuhan memberikan pula kepadanya kecakapan untuk menulis yang menarik dan bersuasana, maka dia lalu menjadi wartawan besar (Lubis, 1963:71-73).
Wartawan senior Indonesia, H. Rosihan Anwar, menambahkan, "Wartawan yang baik memerlukan keberanian, kejujuran, dan integritas yang mendalam." Menurut Anwar (1996:3-4), bila kejujuran mengatakan kepadanya bahwa kesejahteraan dan keselamatan umum yang sedang menjadi pusat perhatian serta taruhan, maka keberaniannya harus cukup besar untuk membuat dia bersikap gigih dan bertekun terus. Wartawan yang baik harus menguasai bahasa. Karena menulis adalah keterampilan mendasar dari wartawan, maka ia harus mampu memilih dan memperlakukan kata-kata dengan tepat dan bagus. wartawan yang baik memiliki perbendaharaan kata yang luas dan menggunakan kata-kata yang jitu maknanya, bukan cuma perkiraan.
"Era jurnalistik bertele-tele dan menulis dengan kembang-kembang telah lewat. Jurnalistik modern mempersyaratkan tulisan pendek, padat, ringkas, dan menarik. Membuat tulisan berita pendek tetapi cemerlang memang lebih sulit ketimbang terlalu panjang bergelemak-peak," jelas Anwar.
Kutipan-kutipan pendapat para ahli sebagaimana dikemukakan di atas menunjukkan, betapa untuk menjadi seorang wartawan yang baik itu memerlukan sedemikian banyak syarat. Semakin banyak syarat-syarat itu terpenuhi, maka semakin terbuka kesempatan bagi seorang wartawan yang baik itu untuk menjadi wartawan yang lebih baik lagi.