REPUBLIKA.CO.ID
Saat
remaja, seorang guru berkerudung membuatnya kagum. Beranjak dewasa,
hatinya terketuk oleh materi khutbah Jumat serta kumandang tilawah
Alquran yang didengarnya setiap menjelang Maghrib. Kini, pria bernama
Abdul Aziz Laia itu telah menghafal tiga setengah juz Alquran.
Abdul
Aziz berislam sembilan tahun lalu, setelah beberapa tahun lamanya
kebenaran Islam menyusup ke dalam sanubarinya. Islam, katanya, menjawab
berbagai pertanyaan dan ketidakpastian dalam agamanya. “Tak ada alasan
untuk keluar dari agama Allah ini,” kata pria bernama asli Lianus Laia
ini.
***
Abdul
Aziz. Demikian nama yang dipilihnya setelah ia memutuskan mengucap
syahadat pada Januari 2002 silam. “Laia,” nama marga yang tak ingin
ditanggalkannya, ia sematkan di belakang nama barunya itu. Dilahirkan
dan dibesarkan di tengah keluarga Kristiani, Aziz tak pernah mengenal
Islam. Terlebih di Nias Selatan, kota kelahirannya, umat Islam adalah
masyarakat minoritas.
“Yang kuingat, dulu aku dan teman-teman
kerap merobek gambar apapun yang disebut-sebut sebagai gambarnya orang
Islam. Tapi aku sendiri tak tahu apa itu Islam,” ujar Abdul Aziz kepada
Republika yang menemuinya di kampus LIPIA, Jakarta Selatan, Kamis (15/3)
lalu.
Satu hal yang ia tahu tentang Muslim kala itu; mereka
berbeda. Perbedaan itu ditemukannya dalam diri salah seorang guru
perempuan di sekolahnya. “Aku masih ingat, dulu aku sering mengamati
pakaiannya. Ia mengenakan kerudung dan rok panjang yang menutupi
kakinya, tidak seperti pakaian guru-guru perempuan lain di sekolahku.”
Tak
hanya itu, Aziz kagum pada bagaimana sang ibu guru berperilaku dan
bertutur kata. “Akhlaknya mencerminkan kebaikan budi pekerti. Jika semua
Muslim seperti itu, saya yakin akan banyak sekali orang yang tertarik
pada Islam,” kata Abdul Aziz, masih dengan nada kagum.
***
Semua
hanya sebatas kekaguman, hingga akhirnya Abdul Aziz menamatkan sekolah
menengah pertamanya dan melanjutkan studinya ke sebuah sekolah kejuruan
di Medan. Di kota itulah segalanya berawal. Aziz bekerja sebagai
fotografer pada sebuah keluarga Muslim dan tinggal bersama mereka di
rumah yang berdekatan dengan masjid.
Setiap hari, selama tiga
tahun, Aziz mendengar rekaman tartil Alquran lengkap dengan
terjemahannya dikumandangkan setiap menjelang Maghrib. Al-Anbiyaa’ dan
Maryam adalah dua surah yang paling sering diputar kala itu. “Aku sangat
terheran-heran kala itu. Nabi-nabi yang disebutkan dalam Alquran sama
persis dengan nabi-nabi yang pernah kami (umat Kristiani) pelajari,”
kata Aziz.
Berangkat dari situ, perhatian Aziz pada Islam muncul
secara perlahan. Khutbah yang didengarnya setiap hari Jumat melengkapi
perhatiannya dan mengubahnya menjadi keingintahuan. “Aku semakin ingin
tahu lebih banyak hal tentang Islam. Dan secara perlahan pula, aku
semakin jarang pergi ke gereja.”
Tak hanya itu, Aziz merasa ada
yang mengetuk-ngetuk hatinya kala melihat para jamaah masjid berwudlu.
“Itu seperti baptis dalam ajaran kami. Aku merasa Islam dekat dengan
berbagai hal yang pernah kuketahui sebelumnya tentang agamaku.” Meski
belum resmi berislam, keingintahuan yang bertambah besar setelah itu
membuat Aziz memilih menjadi remaja masjid. Sesekali, ia bahkan ikut
mengerjakan amalan-amalan Muslim.
***
Lulus
dari sekolah kejuruan, pria kelahiran 25 Oktober 1980 ini lalu merantau
ke Riau dan bekerja di sana. Dua tahun pertama di sana, katanya, ia
semakin giat mendalami Islam. “Aku mulai membandingkan antara Islam dan
Kristen,” katanya.
Pada waktu yang sama, Aziz mulai meragukan
dogma-dogma agamanya. Seperti dogma yang mengatakan bahwa dosa-dosa umat
Kristiani dihapuskan pada Natal dan tahun baru. “Ketika yang kulihat
justru bahwa banyak dari kami merayakan Natal sambil mabuk-mabukan,
jaminan pengampunan dosa itu mustahil,” ujarnya.
Hingga akhirnya,
ia memilih salah seorang kawannya yang juga seorang penggiat masjid
untuk menjawab pertanyaannya. Setelah sempat tidak mampu memejamkan mata
pada malam sebelumnya, Aziz melontarkan tiga pertanyaan pada kawannya
itu. “Aku bertanya tentang siapa Muhammad, bagaimana posisi Isa dan
Maryam dalam Islam, dan mengapa babi haram dimakan.”
Dari uraian
sang kawan, Aziz mengetahui bahwa perihal Nabi Muhammad juga disebutkan
di dalam Injil, dan larangan memakan daging babi disebutkan dalam
Alquran. Dan ia semakin takjub saat mengetahui bahwa Islam memiliki
surah bernama Maryam, sementara agamanya tidak.
Tak ada lagi
keraguan dalam hati Aziz untuk membantah kebenaran Islam saat itu. Tak
ingin menunda, Aziz meminta diislamkan saat itu juga, dua minggu setelah
ia merayakan Natal. Meski tak disaksikan siapapun selain Allah dan
kawannya, Lianus Laia pun resmi berhijrah dengan nama Abdul Aziz Laia.
***
Pasca
berislam, Aziz semakin menunjukkan perannya sebagai remaja masjid. Ia
dipercaya sebagai ketua, diundang berbicara di berbagai masjid, dan
menjadi penggagas pengajian khusus mualaf di Kecamatan Tualang Perawang,
Siak, Riau. Selain itu, Aziz juga belajar membaca Alquran pada sang
marbot yang mengislamkannya.
Hanya saja, Aziz merasa, ia tak
banyak belajar banyak tentang Islam kala itu. Bahkan, ia malu karena tak
juga mampu membaca Alquran. “Tak ada yang membimbingku mendalami agama.
Namun di tengah kondisi itu, aku tak pernah absen untuk shalat
berjamaah di masjid.”
Hingga akhirnya, ia bertemu seorang ustadz
yang menyarankan Aziz untuk menimba ilmu agama di Jawa. Di luar dugaan,
masyarakat Tualang Perawang mendukung dan bergotong royong menyiapkan
biaya keberangkatannya. “Saya bertolak dari Riau dengan membawa uang
sebesar 13 juta yang dikumpulkan oleh masyarakat. Subhanallah.”
Di
Jawa, Aziz mula-mula menimba ilmu selama tiga bulan di sebuah pesantren
di Pandeglang, kemudian setahun di Tasikmalaya. Dari kedua pesantren
tersebut, Aziz merasa kebutuhannya sebagai mualaf tidak terpenuhi,
dikarenakan tidak ada sistem pembimbingan khusus bagi mualaf seorang
seperti dirinya.
Kondisi itu semakin parah karena Aziz mulai
kehabisan bekal sehingga harus bekerja. Ia bekerja di klink pesantren
dan hanya diperbolehkan ikut belajar bersama para siswa Aliyah setelah
tugas-tugasnya selesai. Itupun tanpa terlibat aktif dan menerima rapor
karena ia tak mampu membayar SPP. “Di kelas, aku hanya jadi pendengar.”
Solusi
datang dari Allah saat ia bertemu seorang teman yang kemudian
mengenalkannya pada seorang teman lain dari Medan. Dari teman yang
terakhir, Aziz bertemu seorang mualaf yang mengelola pesantren khusus
mualaf An-Naba’ Center, Syamsul Arifin Nababan.
***
Ustaz
Nababan, demikian Aziz memanggilnya, mengizinkannya untuk tinggal di
An-Naba’ Center dan mempelajari Islam tanpa dibebani kewajiban
finansial. “Di sanalah aku mulai belajar Alquran secara intensif dan
kemudian mulai menghafalnya.”
Atas perjuangan sang ustadz pula,
Aziz dapat berkuliah di LIPIA . Di samping itu, semangat dakwah yang
tinggi dalam dirinya mendorongnya untuk mendalami ilmu dakwah di Sekolah
Tinggi Ilmu Dakwah Dirosat Islamiyah Al-Hikmah, Jakarta Selatan. Selain
berkuliah, pria yang bercita-cita menjadi dai ini juga sibuk berdakwah
di berbagai tempat.
Mengenai keislamannya, Aziz mengaku puas dan
tenang. “Subhanallah, kehidupan menjadi sangat indah dengan Islam.”
Keindahan itu, katanya, tidak akan ia gadaikan dengan apapun.
“Diiming-imingi apapun, dan diancam dengan apapun, aku tidak akan
meninggalkan agama ini. Jiwa ragaku untuk Islam,” tegasnya.
Tentang
cita-citanya, Aziz mengaku akan terus mempersiapkan diri untuk itu.
Sulung dari tujuh bersaudara ini bertekad untuk terus menuntut ilmu
hingga menjadi seorang yang ‘mumpuni’ di bidang agama. “Setelah lulus
S2, aku akan kembali ke Nias dan berdakwah di sana.”