Free Widgets

Rabu, 24 Maret 2010

KISAH "MAKNA BASMALLAH" (4)

AL-QOMAH

Dengan tergopoh-gopoh, isteri Al-Qamah menghadap Rasulullah SAW mengabarkan suaminya sakit keras. Beberapa hari mengalami naza' tapi tak juga sembuh. "Aku sangat kasihan kepadanya ya Rasulullah," ratap perempuan itu. Mendengar pengaduan wanita itu Nabi SAW merasa iba di hati. Beliau lalu mengutus sahabat Bilal, Shuhaib dan Ammar untuk menjenguk keadaan Al-Qamah. Keadaan Al-Qamah memang sudah dalam keadaan koma. Sahabat Bilal lalu menuntunnya membacakan tahlil di telinganya, anehnya seakan-akan mulut Al-Qamah rapat terkunci. Berulang kali dicoba, mulut itu tidak mau membuka sedikitpun. Tiga sahabat itu lalu bergegas pulang melaporkan kepada Rasulullah SAW tentang keadaan Al-Qamah. "Sudah kau coba menalqin di telinganya?" tanya Nabi."Sudah Rasulullah, tetapi mulut itu tetap terbungkam rapat," jawabnya." Biarlah aku sendiri datang ke sana", kata Nabi.

Begitu melihat keadaan Al-Qamah tergolek diranjangnya, Nabi bertanya kepada isteri Al-Qamah :"Masihkah kedua orang tuanya?" tanya Nabi.

"Masih ya Rasulullah," tetapi tinggal ibunya yang sudah tua renta," jawab isterinya."

Di mana dia sekarang?"

"Di rumahnya, tetapi rumahnya jauh dari sini."

Tanpa banyak bicara , Rasulullah SAW lalu mengajak sahabatnya menemui ibu Al-Qamah mengabarkan anaknya yang sakit parah. "Biarlah dia rasakan sendiri", ujar ibu Al-Qamah. "Tetapi dia sedang dalan keadaan sekarat, apakah ibu tidak merasa kasihan kepada anakmu ?" tanya Nabi.

"Dia berbuat dosa kepadaku," jawabnya singkat.

"Ya, tetapi maafkanlah dia. Sudah sewajarnya ibu memaafkan dosa anaknya," bujuk Nabi.

"Bagaimana aku harus memaafkan dia ya Rasulullah jika Al-Qamah selalu menyakiti hatiku sejak dia memiliki isteri," kata ibu itu.

"Jika kau tidak mau memaafkannya, Al-Qamah tidak akan bisa mengucap kalimat syahadat, dan dia akan mati kafir," kata Rasulullah.

"Biarlah dia ke neraka dengan dosanya," jawab ibu itu. Merasa bujukannya tidak berhasil meluluhkan hati ibu itu, Rasulullah lalu mencari kiat lain. Kepada sahabat Bilal Nabi berkata : "Hai bilal, kumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya," perintah Nabi.

"Untuk apa kayu bakar itu Rasulullah," tanya Bilal keheranan."Akan kugunakan untuk membakar Al-Qamah, dari pada dia hidup tersiksa seperti itu, jika dibakar dia akan lebih cepat mati, dan itu lebih baik karena tak lama menanggung sakit", jawab Rasulullah. Mendengar perkataan Nabi itu, ibu Al-Qamah jadi tersentak. Hatinya luluh membayangkan jadinya jika anak lelaki di bakar hidup-hidup. Ia menghadap Rasulullah sambil meratap, "Wahai Rasulullah, jangan kau bakar anakku," ratapnya. Legalah kini hati Rasulullah karena bisa meluluhkan hati seorang ibu yang menaruh dendam kepada anak lelakinya. Beliau lalu mendatangi Al-Qamah dan menuntunya membaca talkin. Berbeda dengan sebelumnya, mulut Al-Qamah lantas bergerak membacakan kalimat dzikir membaca syahadat seperti yang dituntunkan Nabi. Jiwanya tenang karena dosanya telah diampuni ibu kandungnya. Al-Qamah kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan fasih mengucapkan kalimat syahadat. Ia meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Memang, surga adalah di bawah telapak kaki ibunda

KISAH "MAKNA BASMALAH" (3)

QORUN

Qarun adalah kaum Nabi Musa, berkebangsaan Israel, dan bukan berasal dari suku Qibthi (Gypsy, bangsa Mesir). Allah mengutus Musa kepadanya seperti diutusnya Musa kepada Fir'aun dan Haman. Allah telah mengaruniai Qarun harta yang sangat banyak dan perbendaharaan yang melimpah ruah yang banyak memenuhi lemari simpanan. Perbendaharaan harta dan lemari-lemari ini sangat berat untuk diangkat karena beratnya isi kekayaan Qarun. Walaupun diangkat oleh beberapa orang lelaki kuat dan kekar pun, mereka masih kewalahan.

Qarun mempergunakan harta ini dalam kesesatan, kezaliman dan permusuhan serta membuatnya sombong. Hal ini merupakan musibah dan bencana bagi kaum kafir dan lemah di kalangan Bani Israil.Dalam memandang Qarun dan harta kekayaannya, Bani Israil terbagi atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok orang yang beriman kepada Allah dan lebih mengutmakan apa yang ada di sisi-Nya. Karena itu mereka tidak terpedaya oleh harta Qarun dan tidak berangan-angan ingin memilikinya. Bahkan mereka memprotes kesombongan, kesesatan dan kerusakannya serta berharap agar ia menafkahkan hartanya di jalan Allah dan memberikan kontribusi kepada hamba-hamba Allah yang lain.Adapun kelompok kedua adalah yang terpukau dan tertipu oleh harta Qarun karena mereka telah kehilangan tolok ukur nilai, landasan dan fondasi yang dapat digunakan untuk menilai Qarun dan hartanya. Mereka menganggap bahwa kekayaan Qarun merupakan bukti keridhaan dan kecintaan Allah kepadanya. Maka mereka berangan-angan ingin bernasib seperti itu.

Qarun mabuk dan terlena oleh melimpahnya darta dan kekayaan. Semua itu membuatnya buta dari kebenaran dan tuli dari nasihat-nasihat orang mukmin. Ketika mereka meminta Qarun untuk bersyukur kepada Allah atas sedala nikmat harta kekayaan dan memintanya untuk memanfaatkan hartanya dalam hal yang bermanfaat,kabaikan dan hal yang halal karena semua itu adalah harta Allah, ia justru menolak seraya mengatakan "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku"

Suatu hari, keluarlah ia kepada kaumnya dengan kemegahan dan rasa bangga, sombong dan congkaknya. Maka hancurlah hati orang fakir dan silaulah penglihatan mereka seraya berkata, "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar."Akan tetapi orang-orang mukmin yang dianugerahi ilmu menasihati orang-orang yang tertipu seraya berkata, "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh…."

Berlakulah sunnatullah atasnya dan murka Allah menimpanya. Hartanya menyebabkan Allah murka, menyebabkan dia hancur, dan datangnya siksa Allah. Maka Allah membenamkan harta dan rumahnya kedalam bumi, kemudian terbelah dan mengangalah bumi, maka tenggelamlah ia beserta harta yang dimilikinya dengan disaksikan oleh orang-orang Bani Israil. Tidak seorangpun yang dapat menolong dan menahannya dari bencana itu, tidak bermanfaat harta kekayaan dan perbendaharannya.

Tatkala Bani Israil melihat bencana yang menimpa Qarun dan hartanya, bertambahlah keimanan orang-orang yang beriman dan sabar. Adapaun mereka yang telah tertipu dan pernah berangan-angan seperti Qarun, akhirnya mengetahui hakikat yang sebenarnya dan terbukalah tabir, lalu mereka memuji Allah karena tidak mengalami nasib seperti Qarun. Mereka berkata, "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya; kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)."

Penyebutan Qarun Dalam Quran

Nama Qarun diulang sebanyak empat kali dalam Al-Quran, dua kali dalam surah al-Qashash, satu kali dalam surah al-`Ankabut, dan satu kali dalam surah al-Mu'min.Penyebutan dalam surah al-`Ankabut pada pembahasan singkat tentang pendustaan oleh tiga orang oknum thagut, yaitu Qarun,Fir'aun, dan Haman, lalu Allah menghancurkan mereka.

"Dan (juga) Qarun, Fir'aun dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi, mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu).

Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka diantara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu, kerikil dan diantara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan diantara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan diantara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri." (al-`Ankabut: 39-40)

Penyebutan dalam surah al-Mu'min (Ghafir) pada kisah pengutusan Musa a.s. kepada tiga orang thagut yang mendustakannya."Dan sesungguhnya telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata, kepada Fir'aun, Haman, dan Qarun, maka mereka berkata, `(Ia) adalah seorang ahli sihir yang pendusta.'" (al-Mu'min:23-24)

KISAH "MAKNA BISMILLAH" (2)

Terperangkap di dalam gua

Pada zaman dulu, 3 orang pemuda dalam satu perjalanan berehat di dalam sebuah gua untuk berteduh dari hujan lebat. Tiba-tiba pintu gua tertutup oleh satu batu yang besar. Mereka cuba menolak batu itu tetapi tidak berjaya.

Mereka berusaha pelbagai cara untuk keluar tapi kesemuanya gagal. Akhirnya tiada jalan lain kecuali bermohon dan mengadu kepada Allah. Mereka tahu hanya Allah yang dapat melepaskan mereka. Keputusan diambil supaya tiap-tiap orang mengadu atau bertawassul dengan amal kebajikan yang mereka buat.

Pemuda pertama berdoa: "Ya Allah, saya pernah berbuat amal soleh terhadap kedua ibubapa saya. Suatu hari saya balik dari kerja dan berasa tersangat lapar. Saya sangka ibu saya sudah masak nasi tapi rupanya belum kerana kehabisan beras. Saya terus keluar untuk beli beras. Apabila pulang, saya lihat ibu saya tertidur. Saya tidak berani mengejutkannya walaupun saya tersangat lapar sehinggalah dia tersedar sendiri. Ya Allah, jika ini merupakan amal kebajikan yang ikhlas terhadap ibuku dan mendapat keredhaanMu, tolonglah kami untuk keluar dari sini."

Tiba-tiba pintu itu terbuka sedikit dengan kurnia Allah, namun mereka masih belum boleh keluar.

Giliran pemuda kedua berdoa: "Ya Allah, saya juga mempunyai amal soleh. Saya mempunyai gedung perusahaan dan mempunyai ramai pekerja. Setiap pekerja dibayar gaji tepat pada waktunya. Pada satu ketika seorang pekerja tidak datang mengambil gaji bulanannya sehingga beberapa bulan. Wang gajinya saya gunakan untuk membeli barang-barang perniagaan sehingga saya untung 10 kali ganda wang asalnya. Beberapa bulan kemudian, pekerja itu datang kembali lalu saya serahkan kesemua hartanya termasuk keuntungan yang saya niagakan. Ya Allah, sekiranya ini merupakan amal yang mendapat keredhaanMu, tolonglah kami dalam kesusahan ini!"

Sebaik saja habis merayu, tiba-tiba pintu itu bergerak sedikit tetapi masih belum boleh keluar.

Akhirnya sampai giliran pemuda ketiga: "Ya Allah, aku sebenarnya tidak mempunyai suatu amalan yang dianggap penting. Sepanjang ingatanku, hanya sekali aku berbuat baik kerana malu kepada Engkau ya Allah. Aku ditugaskan membahagi-bahagikan makanan kepada orang-orang miskin. Semasa bekerja aku terlihat seorang gadis cantik yang juga meminta bahagiannya. Setelah semua orang pulang, aku pun memanggil gadis itu dan menyatakan niat jahatku kepadanya. Gadis itu menangis seraya berkata dia rela mati kelaparan daripada melakukan dosa perbuatan terkutuk itu. Aku menjadi serba salah dan datang penyesalan yang tidak terhingga. Aku malu dan insaf atas kesalahanku. Ya Allah, sekiranya penyesalan dan taubat ini Kau terima, tolonglah kami dari kesusahan ini."

Tiba-tiba pintu gua itu terbuka luas dan mereka pun keluar dengan selamat.

Moral & Iktibar

Allah memberikan bantuan kepada mereka yang benar-benar berdoa dengan penuh keikhlasan kepadaNya. Dalam kesempitan, kita dibolehkan bertawassul dengan amal kebajikan yang kita lakukan. Bertawassul juga merupakan salah satu ciri dalam Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam melaksanakan sesuatu pekerjaan eloklah bermuafakat terlebih dahulu sebab muafakat itu membawa berkat Berbakti kepada ibubapa adalah satu amalan soleh, Berlaku jujur dalam perniagaan juga amalan soleh, Mengelak dari melakukan perzinaan adalah amalan soleh.

Kisah Tsabit Dan Biji Apel

Seorang lelaki yang soleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat Sebuah apel jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berfikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang lazat itu, akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahawa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat izin pemiliknya.

Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar meninta dihalalkan buah yang telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, "Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap anda menghalalkannya". Orang itu menjawab, "Aku bukan pemilik kebun ini. Aku Khadamnya yang ditugaskan menjaga dan mengurus kebunnya".

Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, "Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah ku makan ini." Pengurus kebun itu memberitahukan, "Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalan sehari semalam".

Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku kerana tanpa izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah s.a.w. sudah memperingatkan kita melalui sabdanya: "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka"

Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata," Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Kerana itu mahukah tuan menghalalkan apa yang sudah ku makan itu?"

Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, "Tidak, aku tidak boleh menghalalkannya kecuali dengan satu syarat." Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu kerana takut ia tidak dapat memenuhinya. Maka segera ia bertanya, "Apa syarat itu tuan?" Orang itu menjawab, "Engkau harus mengawini putriku !"

Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, "Apakah kerana hanya aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu?"

Tetapi pemilik kebun itu tidak mempedulikan pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, "Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh!"

Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berfikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai isteri gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, "Selain syarat itu aku tidak boleh menghalalkan apa yang telah kau makan !"

Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, "Aku akan menerima pinangannya dan perkahwinanya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul 'alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya kerana aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta'ala".

Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkahwinan selesai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui isterinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berfikir akan tetap mengucapkan salam walaupun isterinya tuli dan bisu, kerana bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam, "Assalamu"alaikum..."

Tak disangka sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi isterinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu , dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya. Sekali lagi Tsabit terkejut kerana wanita yang kini menjadi isterinya itu menyambut uluran tangannya.

Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. "Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahawa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula", Kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berfikir, mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya ?

Setelah Tsabit duduk di samping isterinya, dia bertanya, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahawa engkau buta. Mengapa?" Wanita itu kemudian berkata, "Ayahku benar, kerana aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah". Tsabit bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan bahawa engkau tuli, mengapa?" Wanita itu menjawab, "Ayahku benar, kerana aku tidak pernah mahu mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah.

Ayahku juga mengatakan kepadamu bahawa aku bisu dan lumpuh, bukan?" Tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan isterinya. Selanjutnya wanita itu berkata, "aku dikatakan bisu kerana dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta'ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh kerana kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang boleh menimbulkan kegusaran Allah Ta'ala".

Tsabit amat bahagia mendapatkan isteri yang ternyata amat soleh dan wanita yang memelihara dirinya. Dengan bangga ia berkata tentang isterinya, "Ketika kulihat wajahnya... Subhanallah, dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap".

Tsabit dan isterinya yang salihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikurniakan seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia, Beliau adalah Al Imam Abu Hanifah An Nu'man bin Tsabit

KISAH "MAKNA BASMALLAH" (1)

Setan Kurus Versus Setan Gemuk

Diriwayatkan bahwa abu hurairah berkata: setan yang menggoda orang mukmin telah bertemu dengan setan yang menggoda orang kafir. Ternyata setan yang menggoda orang kafir itu rambutnya berminyak, gemuk, dan kekar. Sedangkan setan yang menggoda orang mukmin kurus, kusut, kotor dan telanjang. Maka berkatalah setan yang menggoda orang kafir, “mengapa kamu jadi kurus begitu?”

Ia menjawab, “saya tinggal bersama orang yang apabila makan ia menyebut nama allah, sehingga aku tetap lapar, dan apabila ia minum ia jua menyebut nama allah, sehingga aku tetap haus, dan apabila ia berpakaian ia menyebut nama allah sehingga aku tetap telanjang, dan apabila ia berminyak kepalanya ia menyebut nama allah sehingga aku tetap kusut masai.”

Maka setan yang menggoda orang kafir berkata. “akan tetapi aku hidup bersama orang yang tidak melakukan hal seperti itu semua. Oleh karena itu aku ikut makan, minumk dan berpakaian bersamanya jadi aku sehat seperti ini.”

Berkat kejujuran

Syeikh Abdul Kadir semasa berusia 18 tahun meminta izin ibunya merantau ke Baghdad untuk menuntut ilmu agama. Ibunya tidak menghalang cita-cita murni Abdul Kadir meskipun keberatan melepaskan anaknya berjalan sendirian beratus-ratus batu. Sebelum pergi ibunya berpesan supaya jangan berkata bohong dalam apa jua keadaan. Ibunya membekalkan uang 40 dirham dan dijahit di dalam pakaian Abdul Kadir. Selepas itu ibunya melepaskan Abdul kadir pergi bersama-sama satu rombongan yang kebetulan hendak menuju ke Baghdad.

Dalam perjalanan, mereka telah diserang oleh 60 orang penyamun. Habis harta kafilah dirampas tetapi penyamun tidak mengusik Abdul Kadir kerana menyangka dia tidak mempunyai apa-apa. Salah seorang perompak bertanya Abdul Kadir apa yang dia ada. Abdul Kadir menerangkan dia ada wang 40 dirham di dalam pakaiannya. Penyamun itu hairan dan melaporkan kepada ketuanya. Pakaian Abdul Kadir dipotong dan didapati ada wang sebagaimana yang diberitahu.

Ketua penyamun bertanya kenapa Abdul Kadir berkata benar walaupun diketahui uangnya akan dirampas? Abdul Kadir menerangkan yang dia telah berjanji kepada ibunya supaya tidak bercakap bohong walau apa pun yang berlaku. Apabila mendengar dia bercakap begitu, ketua penyamun menangis dan menginsafi kesalahannya. Sedangkan Abdul Kadir yang kecil tidak mengingkari kata-kata ibunya betapa dia yang telah melanggar perintah Allah sepanjang hidupnya. Ketua penyamun bersumpah tidak akan merompak lagi. Dia bertaubat di hadapan Abdul Kadir diikuti oleh pengikut-pengikutnya.

Moral & Iktibar Ilmu Agama perlu dituntut meskipun terpaksa berjalan jauh. Kata-kata ibu menjadi pendorong dan perangsang dalam hidup. Berkata benar adalah satu kekuatan yang boleh memberi keinsafan kepada orang lain. Niat yang baik dan ikhlas mendapat keberkatan daripada Allah.

Jumat, 19 Maret 2010

PIAGAM MADINAH DAN TOLERANSI BERAGAMA

Oleh: Dr. Adian Husaini (Ketua Program Studi Pendidikan Islam Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor)
Pada tahun 1973, cendekiawan Muslim, H. Zainal Abidin Ahmad (ZAA), menerbitkan bukunya yang berjudul Piagam Nabi Muhammad S.A.W.: Konstitusi Negara Tertulis Pertama di Dunia (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Dalam bukunya, ZAA banyak mengutip pendapat Prof. Hamidullah, seorang pakar manuskrip kuno. (Lihat juga, Muhammad Hamidullah, The Prophet’s Establishing a State and His Succession, (Pakistan Hijra Council, 1988). Melalui riset yang sangat serius mulai tahun 1961 sampai tahun 1973, ZAA akhirnya berhasil menyajikan sebuah buku yang memuat Piagam Madinah dalam berbagai versi bahasa. Istilah Konsitusi Madinah diberikan oleh seorang orientalis, W. Montgomery Watt. Muhammad Zafrullah Khan, mantan Menlu Pakistan, dan wakil Ketua Mahkamah Internasional, memberikan nama negara Madinah sebagai “Republik Madinah”. Buku ZAA ini memaparkan, bahwa Piagam Madinah sejatinya merupakan kontitusi negara tertulis pertama di dunia, mendahului Magna Charta di Inggris selama enam abad; dan mendahului Konstitusi Amerika Serikat dan Perancis selama 12 abad. Konstitusi Madinah diawali dengan ungkapan: “Bismillahirrahmanirrahiim. Haadzaa kitaabun min Muhammadin Nabiy Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bainal mu’miniina walmuslimiina min quraisyin wayatsriba wa man tabi’ahum falahiqa bihim wa jaahada ma’ahum.” (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Inilah Piagam tertulis dari Nabi Muhammad saw kepada orang-orang mukmin dan muslim, baik yang berasal dari suku Quraisy maupun suku Yatsrib, dan kepada segenap warga yang ikut bersama mereka, yang telah membentuk kepentingan bersama dengan mereka dan telah berjuang bersama mereka). Piagam Madinah ditetapkan tahun 622 M (1 Hijriah). Ketika itu, belum ada satu negara pun yang memiliki peraturan bagaimana cara mengatur hubungan antara umat beragama. Piagam Madinah, dalam beberapa pasalnya, sudah jelas mengatur hubungan tersebut. Misalnya (terjemah oleh ZAA): Pasal 16: “Bahwa sesungguhnya kaum bangsa Yahudi yang setia kepada (negara) kita, berhak mendapat bantuan dan perlindungan, tidak boleh dikurangi haknya dan tidak boleh diasingkan dari pergaulan umum.” Pasal 24: “Warga negara (dari golongan) Yahudi memikul biaya bersama-sama dengan kaum beriman, selama negara dalam peperangan.” Pasal 25: (1) Kaum Yahudi dari suku Banu ‘Awf adalah satu bangsanegara (ummah) dengan warga yang beriman. (2) kaum Yahudi bebas memeluk agama mereka, sebagai kaum Muslimin bebas memeluk agama mereka. (3) Kebebasan ini berlaku juga terhadap pengikut-pengikut/sekutu-sekutu mereka, dan diri mereka sendiri. (4) Kecuali kalau ada yang mengacau dan berbuat kejahatan, yang menimpa diri orang yang bersangkutan dan keluarganya. Sampai dengan wafatnya, Nabi Muhammad saw telah melakukan interaksi intensif dengan seluruh kelompok agama (paganis, Yahudi, Nasrani), budaya-budaya dominan, dan kekuatan-kekuatan politik terbesar ketika itu (Persia dan Romawi). Ayat-ayat Al Quran yang berbicara tentang kaum Yahudi, Nasrani, Persia, Romawi, menggambarkanbagaimana kaum Muslim telah digembleng dan diberi pedoman yang sangat gamblang dalam menyikapi budaya dan agama di luar Islam. Bahkan, alQuran juga tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik terhadap kaum agama lain. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk menerima kesadaran akan keberagaman dalam agama (pluralitas). Misalnya, dalam surat Al Mumtahanah ayat 8 disebutkan, "Allah tidak mencegahmu berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangimu dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu." Bahkan, Nabi Muhammad saw berpesan, "Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah." (HR Thabrani). Perbandingan dengan Eropa Dari sisi toleransi beragama, pengakuan akan hak hidup dan hak beragama kaum Yahudi/minoritas di Madinah pada zaman itu, sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat mengagumkan. Sebagai perbadingan, bisa kita simak, bagaimana nasib kaum Yahudi dalam sejarahnya di Eropa. Max L. Margolis and Alexander Marx mencatat, komunitas awal-awal Yahudi di Eropa dapat dijumpai di Roma sekitar tahun 200 SM. Sejumlah peristiwa pahit menandai kehidupan Yahudi di wilayah kekuasaan Imperium Romawi ini. Tahun ke19, Kaisar Tiberius mengusir Yahudi dari Roma dan Italia. Namun, tampaknya mereka masih kembali lagi. Tahun 44, kaum Yahudi termasuk yang menangisi kematian Julius Cesar. Tahun 54, karena menentang propaganda Kristen, Yahudi dilarang berkumpul di sinagog. Tahun 139, sejumlah Yahudi diusir dari Roma. (Lihat, Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, (New York: Atheneum, 1969), hal. 287289). Di masa Kaisar Konstantine (311337), secara umum Yahudi mendapatkan cukup kebebasan dalam menjalankan agamanya. Bahkan, setelah Konsili Nicea, 325, Judaisme masih tetap boleh diamalkan. Hanya, di masa Constantius II (337361), sempat terjadi insiden. Di bawah kekuasaan Gallus, saudara ipar Constantius, yang memerintah wilayah Timur (termasuk Palestina), terjadi bentrokan antara yahudi dengan tentara Romawi. Komandan tentara Romawi di wilayah itu menyerbu dan menghancurkan Kota Tiberias, Sepphoris, dan Lod. Tetapi, Encyclopaedia Judaica Vol II, mencatat, bahwa sejak Kristen menjadi agama resmi Romawi pada 321, posisi Yahudi menjadi terpojok. Berbagai keistimewaan yang diterima Yahudi pada masa sebelumnya, dihapuskan. Jurisdiksi rabbi Yahudi juga dihapuskan. Proselitisme dilarang dan diancam hukuman mati, sebagaimana berhubungan dengan wanita Kristen. Akhirnya, Yahudi terlarang memegang posisi tinggi di pemerintahan atau militer. Di bawah Kaisar Theodosius I (379395) dan Theodosius II (408450), Yahudi sebenarnya cukup mendapatkan prinsip-prinsip kebebasan, meskipun Theodosius dijuluki sebagai “the First Christian Inquisitor” dan menetapkan Katolik sebagai agama resmi negara. Tapi, karena pengaruh dari tokoh-tokoh gereja yang fanatik, Yahudi menjadi sasaran pengaturan yang menyakitkan. Max L. Margolis dan Alexander Marx menggambarkan kondisi ketika itu: “Tetapi, dibawah pengaruh para pendeta yang fanatik, maka Yahudi menjadi sasaran meningkatnya peraturan-peraturan yang menjengkelkan dengan tujuan untuk mengurangi jumlah konversi kaum Kristen ke Yahudi. Semua itu adalah dalam semangat tokoh-tokoh gereja, bahwa Yahudi digambarkan sebagai orang-orang jahat dan tukang sihir, dan sekte mereka sebagai hina dan seperti binatang. Lagi pula, pedagang-pedagangan Kristen bernafsu untuk bebas dari kompetisi Yahudi. Tidak sah bagi Yahudi untuk mengkhitan budaknya atau memiliki budak Kristen. Yahudi tidak punya wewenang atas Kristen dan karena itu harus dilarang dari kantor-kantor publik. Kawin antar agama antara Yahudi dan Krtisten merupakan tindakan kriminal.” (Dikutip dan diterjemahkan dari buku Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, hal. 229230.) Di Eropa, ketika agama Kristen mulai berkuasa di berbagai negara, cara pandang kaum Kristen terhadap Yahudi sangat dipengaruhi oleh Kebijakan yang dibuat oleh Paus Gregory I, yang dikenal sebagai Gregory The Great (590604). Max L. Margolis dan Alexander Marx mencatat tentang persepsi dan kebijakan Gregory I: “Metode Yahudi dalam memahami kitab suci dalam bentuk literalnya adalah satu hal yang buruk; argumen-argumen Yahudi dalam melawan Kristen adalah tidak masuk akal. Yahudi harus diajak menjadi menjadi Kristen dengan akal dan persuasi…Karena itu, Yahudi mengalami penderitaan dalam menerapkan agama dan kehidupan mereka sendiri, bersamaan dengan adanya jaminan hakhak yang diberikan oleh undang-undang Romawi.” (Dikutip dan diterjemahkan dari buku Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, hal. 298.) Sampai abad-abad berikutnya, kaum Yahudi menjadi sasaran pembantaian dan penindasan masyarakat Eropa. Sejumlah Paus lainnya kemudian dikenal sangat antiYahudi. Pada tanggal 17 Juli 1555, hanya dua bulan setelah pengangkatannya, Paus Paulus IV, mengeluarkan dokumen (Papal Bull) yang dikenal dengan nama Cum nimis absurdum. Di sini Paus menekankan, bahwa para pembunuh Kristus, yaitu kaum Yahudi, pada hakekatnya adalah budak dan seharusnya diperlakukan sebagai budak. Yahudi kemudian dipaksa tinggal dalam ‘ghetto’. Setiap ghetto hanya memiliki satu pintu masuk. Yahudi dipaksa menjual semua miliknya kepada kaum Kristen dengan harga sangat murah; maksimal 20 persen dari harga yang seharusnya. Di tiap kota hanya boleh ada satu sinagog. Di Roma, tujuh dari delapan sinagog dihancurkan. Di Campagna, 17 dari 18 sinagog dihancurkan. Yahudi juga tidak boleh memiliki Kitab Suci. Saat menjadi kardinal, Paus Paulus IV membakar semua Kitab Yahudi, termasuk Talmud. Paus Paulus IV meninggal tahun 1559. Tetapi cum nimis absurdum tetap bertahan sampai tiga abad. (Peter de Rosa, Vicars of Christ: The dark Side of the Papacy, (London: Bantam Press, 1991), hal. 266269). Sikap tokoh-tokoh Gereja semacam itu terbukti sangat berpengaruh terhadap nasib Yahudi di wilayah Kristen Eropa. Di Spanyol, misalnya, Yahudi sudah ada di wilayah ini, sekitar tahun 300 M. Raja Aleric II (485507), diilhami oleh Code of Theodosius, memberikan batasan yang ketat terhadap Yahudi. Nasib Yahudi Spanyol semakin terjepit, menyusul konversi Raja Recarred I (586601) menjadi Katolik. Sang Raja melakukan konversi itu pada The Third Council of Toledo (589), dan kemudian menjadikan Katolik sebagai agama negara. The Council of Toledo itu sendiri membuat sejumlah keputusan: (1) larangan perkawinan antara pemeluk Yahudi dengan pemeluk Kristen, (2) keturunan dari pasangan itu harus dibaptis dengan paksa, (3) budakbudak Kristen tidak boleh dimiliki Yahudi (4) Yahudi harus dikeluarkan dari semua kantor publik, (5) Yahudi dilarang membaca Mazmur secara terbuka saat upacara kematian. (Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, hal. 304305.) Dalam periode 612620, banyak kasus tejadi dimana Yahudi dibaptis secara paksa. Ribuan Yahudi melarikan diri ke Perancis dan Afrika. Pada 621631, di bawah pemerintahan Swinthila, perlakuan Yahudi agak lebih lunak. Pelarian Yahudi kembali ke tempat tinggalnya semula dan mereka yang dibaptis secara paksa kembali lagi ke agama Yahudi. Tetapi, Swinthila ditumbangkan oleh Sisinad (631636), yang melanjutkan praktik pembaptisan paksa. Pada masa pemerintahan Chintila (636640), dibuatlah keputusan dalam The Six Council of Toledo (638), bahwa selain orang Katolik dilarang tingal di wilayahnya. Euric (680687) membuat keputusan: seluruh Yahudi yang dibaptis secara paksa ditempatkan di bawa pengawasan khusus pejabat dan pemuka gereja. Raja Egica (687701) membuat keputusan: semua Yahudi di Spanyol dinyatakan sebagai budak untuk selamanya, harta benda mereka disita, dan mereka diusir dari rumah-rumah mereka, sehingga mereka tersebar ke berbagai profinsi. Upacara keagamaan Yahudi dilarang keras. Lebih dari itu, anak-anak Yahudi, umur 7 tahun keatas diambil paksa dari orang tuanya dan diserahkan kepada keluarga Kristen. (Max L. Margolis dan Alexander Marx, A History of the Jewish People, hal. 305306.) Sampai abad ke15, pembantaian Yahudi (massacre) itu terus terjadi di Spanyol. Di Rusia, penindasan dan pembantaian Yahudi dikenal sebagai ‘pogroms’ (mob violence) dan masih berlangsung sampai abad ke20. Sejumlah pejabat pemerintah Rusia ikut memobilisasi massa untuk mengusir Yahudi. Sebagai contoh, antara tahun 19031906, pogroms terjadi di 690 kota dan desa, sebagian besar terjadi di Ukraina. (Marvin Perry,Western Civilization, hal. 447). Di berbagai wilayah lain di Eropa, persekusi terhadap Yahudi terjadi di mana-mana. Selama ratusan tahun, para pemimpin politik dan agama di Eropa Barat tidak segan-segan untuk menghapuskan atau menghancurkan komunitas-komunitas Yahudi di Eropa. Persekusi dan pembantaian Yahudi itu beberapa diantaranya dilakukan dengan ancaman dan intimidasi untuk meninggalkan agama Yahudi dan memeluk Kristen. Jika mereka menolak, maka hukuman mati sudah menanti mereka. Di Perancis, misalnya, Louis IX (12261270), memerintahkan pengusiran semua orang Yahudi dari kerajaannya, sesaat setelah Louis berangkat menuju medan Perang Salib. Perintah itu memang tidak dijalankan dengan sempurna. Banyak orang Yahudi yang meninggalkan Perancis kemudian kembali lagi. Tetapi, Philip the Fair (12851314) kemudian memerintahkan semua Yahudi Perancis untuk ditangkap. Kemudian, Raja Charles IV, kembali mengusir Yahudi Perancis pada tahun 1322. Josephine Bacon mencatat pengusiran dan pembantaian orang-orang Yahudi di Perancis dalam kurun tahun 8001500. Tahun 1420, komunitas Yahudi dimusnahkan dari Toulouse. Pada tahun yang sama, Yahudi juga diusir dari Kota Lyon. Tahun 1321, 160 Yahudi dikubur dalam satu lobang di Kota Chinon. Tahun 1394, seluruh Yahudi diusir dari Kota Sens. Pada tahun 1495, orang-orang Yahudi diusir dari Lithuania. Padahal di negara ini, orang-orang Yahudi itu mengungsi dari persekusi kaum Kristen Barat, karena mereka tidak menerima agama Kristen. Di Rusia, sebagai akibat dari kebencian yang disebarkan oleh gereja Kristen Ortodoks Rusia, kaum Yahudi dikucilkan dan diusir dari Rusia dalam kurun waktu mulai abad ke15 sampai dengan tahun 1722. Ketika itu, secara umum, bisa dikatakan, tanah Kristen Eropa bukanlah tempat yang aman bagi kaum Yahudi. (Stanford J. Shaw, The Jews of the Ottoman Empire and the Turkish Republic, (Houndmills: MacMillan Academic and Professional Ltd, 1991), hal. 79; Martin Gilbert (ed), Atlas of Jewish Civilization, (London: Andre Deutsch Limited, 1990), hal. 67.) Permusuhan kaum Kristen terhadap Yahudi juga bisa disaksikan dalam kisah Perang Salib. Di Jerusalem, ketika pasukan Salib menaklukkan kota suci itu tahun 1099, mereka membantai sekitar 30.000 penduduknya, Muslim dan Yahudi. Puluhan ribu kaum Muslim yang mencari penyelamatan di atap Masjid al-Aqsha dibantai dengan sangat sadis. Kekejaman pasukan Salib di Kota Jerusalem memang sangat sulit dibayangkan akal sehat. (Lihat, Karen Armstrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 34, 299; Ameer Ali, A Short History of the Saracens, (New Delhi, Kitab Bhavan, 1981), hal. 322326; Mustafa A Hiyari, “Crusader Jerusalem 10991187 AD”, dalam KJ Asali (ed.), Jerusalem in History, (Essex: Scorpion Publishing Ltd, 1989), hal. 139141). Sebagai catatan, tindakan pasukan Salib itu sangat berbeda dengan tindakan Shalahudin alAyyubi ketika merebut kembali Jerusalem pada tahun 1187. Di bawah Shalahuddin, Jerusalem menjadi tempat yang aman bagi kaum Yahudi. Ketika itu Shalahuddin membawa kembali banyak orang Yahudi ke Jerusalem dan mengijinkan mereka tinggal di sana. (Lihat, Karen Armstrong, A History of Jerusalem, hal. 299) Abad ke15 menyaksikan pembantaian besar-besaran kaum Yahudi dan Muslim di Spanyol dan Portugal oleh kaum Kristen Eropa. Pada tahun 1483 saja, dilaporkan 13.000 orang Yahudi dieksekusi atas perintah Komandan Inqusisi di Spanyol, Fray Thomas de Torquemada. Selama puluhan tahun berikutnya, ribuan Yahudi mengalami penyiksaan dan pembunuhan. Jatuhnya Granada, pemerintahan Muslim terakhir di Spanyol, pada 20 Januari 1492, telah mengakhiri pemerintahan Muslim selama 781 tahun di Spanyol. Kejatuhan Granada ke tangan Kristen ini dirayakan dengan upacara keagamaan di seluruh Eropa. Kemudian, Paus mengundang seluruh bangsa Kristen untuk mengirimkan delegasi ke Roma, guna mendiskusikan rencana ‘crusade’ terhadap Turki Uthmani. Tahun 1494, pasangan Ferdinand dan Isabella diberi gelar ‘the Catholic Kings’ oleh Paus Alexander VI. Pasangan itu sebenarnya telah banyak melakukan pembantaian terhadap Yahudi dan Muslim sejak dibentuknya Inquisisi di Castile dengan keputusan Paus tahun 1478. Puncaknya adalah tahun 1492, saat mereka memberikan pilihan kepada Yahudi: pergi dari Spanyol atau dibaptis. Setelah jatuh ke tangan Kristen, kaum Muslim Granada (yang oleh diberi sebutan Moors oleh kaum Kristen Spanyol) masih diberi kebebasan menjalankan beberapa ritual dan tradisi agama mereka. Isabella memaksakan dilakukannya pembaptisan massal. Akhirnya, kaum Muslim melakukan perlawanan pada tahun 1499, tetapi berhasil ditumpas. Setelah itu, sebagaimana kaum Yahudi, mereka juga diberi pilihan: meninggalkan Spanyol atau dibaptis. Jika menolak, kematian sudah menunggu. Jatuhnya Granada, juga sekaligus merupakan bencana bagi kaum Yahudi di Spanyol. Hanya dalam beberapa bulan saja, antara akhir April sampai 2 Agustus 1492, sekitar 150.000 kaum Yahudi diusir dari Spanyol. Sebagian besar mereka kemudian mengungsi ke wilayah Turki Utshmani yang menyediakan tempat yang aman bagi Yahudi. Ada yang mencatat jumlah Yahudi yang terusir dari Spanyol tahun 1492, sebanyak 160.000. Dari jumlah itu, 90.000 mengungsi ke Turki/Uthmani, 25.000 ke Belanda, 20.000 ke Maroko, 10.000 ke Perancis, 10.000 ke Itali, dan 5.000 ke Amerika. Yang mati dalam perjalanan diperkirakan 20.000 orang. Sedangkan yang dibaptis dan tetap di Spanyol sebanyak 50.000. Masa kekuasaan Ferdinand The King of Aragon dan Isabella the Queen of Castile – dicatat sebagai puncak persekusi kaum Yahudi di Spanyol. Keduanya dikenal sebagai “the Catholic Kings”, yang dipuji sebagai pemersatu Spanyol. (Lihat, Stanford J. Shaw, The Jews of the Ottoman Empire and the Turkish Republic, hal. 1314; Henry Charles Lea, A History of the Inquisition of Spain, (New York: AMS Press Inc., 1988), Vol. 1, hal. 36, 140; Martin Gilbert (ed) Atlas of Jewish Civilization, hal. 59; Halil Inalcik, From Empire to Republic: Essays on Ottoman and Turkish Social History, (Istanbul: The ISIS Press, 1995), hal. 106.). Tradisi toleransi Islam Prestasi Rasulullah saw dalam membangun peradaban yang unggul di Madinah dalam soal membangun toleransi beragama kemudian diikuti oleh Umar bin Khattab yang pada tahun 636 M menandatangani Perjanjian Aelia dengan kaum Kristen di Jerusalem. Sebagai pihak yang menang Perang, Umar bin Khathab tidak menerapkan politik pembantaian terhadap pihak Kristen. Karen Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa mana pun sebelumnya. Karen Armstrong mencatat: “Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud. Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran symbolsimbol agama lain, tidak ada pengusiran atyau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.” (Dikutip dan diterjemahkan dari buku Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997), hal. 228.) Toleransi Islam terhadap kaum Yahudi dan agama lain sebenarnya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah. Setelah diusir dari Spanyol, kaum Yahudi ditampung dan dilindungi di wilayah Turki Utsmani. Sebagai contoh, di Jerusalem, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Agung (Suleiman the Magnificent 15201566), Yahudi hidup berdampingan dengan kaum Muslim. Sejumlah pengunjung Yahudi dari Eropa sangat tercengang dengan kebebasan yang dinikmati kaum Yahudi di Palestina. Pada tahun 1535, David dei Rossi, seorang Yahudi Italia, mencatat bahwa di wilayah Uthmani, kaum Yahudi bahkan memegang posisiposisi di pemerintahan, sesuatu yang mustahil terjadi di Eropa. Ia mencatat: “Here we are not in exile, as in our own country.” (Kami di sini bukanlah hidup di buangan, tetapi layaknya di negeri kami sendiri). (Karen Armstrong, A History of Jerusalem, hal. 325326.) Kondisi Yahudi di Uthmani itu begitu bertolak belakang dengan perlakuan yang diterima Yahudi di dataran Eropa, sehingga mereka harus mengungsi besarbesaran ke luar Eropa, dan terutama ke wilayah Uthmani. Padahal, ketika Spanyol berada di bawah pemerintahan Islam, kaum Yahudi juga mengalami perlakuan yang sangat baik. Sejumlah penulis Yahudi menggambarkan kondisi Yahudi di Spanyol di bawah pemerintahan Islam ketika itu sebagai suatu “zaman keemasan Yahudi di Spanyol” (Jewish golden age in Spain). Martin Gilbert, penulis Yahudi, sebagai misal, mencatat tentang kebijakan penguasa Muslim Spanyol terhadap Yahudi. Dia katakan, bahwa para penguasa Muslim itu juga mempekerjakan sarjana-sarjana Yahudi sebagai aktivitas kecintaan mereka terhadap sains dan penyebaran ilmu pengetahuan. Maka mulailah zaman keemasan Yahudi di Spanyol, di mana penyair, dokter, dan sarjana memadukan pengetahuan secular dan agama dalam metode yang belum pernah dicapai sebelumnya. Kaum Yahudi itu bahkan menduduki jabatan tertinggi di dunia Muslim, termasuk perdana menteri beberapa khalifah di wilayah Islam bagian Timur dan Barat. (Martin Gilbert (ed), Atlas of Jewish Civilization, hal. 60.) Karen Armstrong juga menggambarkan harmonisnya hubungan antara Muslim dengan Yahudi di Spanyol dan Palestina. Menurut Armstarong, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman keemasan di alAndalus. Musnahnya Yahudi Spanyol telah menimbulkan penyesalan seluruh dunia dan dipandang sebagai bencana terbesar yang menimpa Israel sejak kehancuran (Solomon) Temple. Abad ke15 juga telah menyaksikan meningkatnya perskeusi anti Semitik di Eropa, dimana kaum Yahudi dideportasi dari berbagai kota. (Under Islam, the Jews had enjoyed a golden age in alAndalus. The loss of Spanish Jewry was mourned throughout the world as the greatest catastrophe to have befallen Israel since the destruction of the Temple. The fifteenth century had also seen as escalation of antiSemitic persecution in Europe, where Jews had been deported from one city after another). (Karen Armstrong, A History of Jerusalem, hal. 326327.) Sebagaimana Karen Armstrong, Avigdor Levy, penulis Yahudi dari Brandeis University, mencatat tentang kisah tragis pengusiran Yahudi dari Spanyol tahun 1492. Dalam memori kolektif kaum Yahudi, tahun 1492 itu mewakili, pertama dan utamanya, sebagai satu tragedi dari proporsi bencana: komunitas Yahudi yang utama di dunia, yang sedang berkembang dan dibangun begitu lama, tiba-tiba dicabut dan dihancurkan. (In the collective Jewish memory, this date represented, first and foremost, a tragedy of catastrophic proportions: the worlds leading Jewish community, efflorescent and long established, was suddenly uprooted and destroyed). (Avigdor Levy, “Introduction” , dalam Avigdor Levy (ed.), The Jews of The Ottoman Empire, (Princeton: The Darwin Press, 1994), hal. 2.) Islam memiliki tradisi yang panjang dalam menata hubungan dengan kaum nonMuslim. Tidak ada tradisi dan persekusi kaum kafir dalam Islam, sebagaimana ditemukan dalam konsep “heretics” di abad pertengahan Eropa. Islam memang menyebut kaum nonMuslim sebagai “kafir”, tetapi itu sama sekali bukan sebuah izin apalagi perintah untuk mengeksekusi kaum kafir karena perbedaan agama. AlQuran menegaskan: “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama.” (alBaqarah: 256). Karen Armstrong mencatat: “There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire. (Tidak ada tradisi persekusi agama dalam dunia Islam). (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, (London: McMillan London Limited, 1991), hal. 44). Jadi, ajaran dan tradisi Islam dipenuhi dengan berbagai catatan tentang toleransi antar umat manusia. Ketinggian peradaban Islam pernah membawa rahmat bagi seluruh dunia, termasuk kepada masyarakat Barat, mendorong sejarawan Irlandia, Tim WallaceMurphy, menulis sebuah buku berjudul “What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins Publishing, 2006). Di tengah gencarnya berbagai serangan terhadap Islam melalui berbagai media di Barat, buku ini memberikan gambaran yang sangat indah tentang sejarah Islam. Bahkan, dia tidak segan-segan mengajak Barat untuk mengakui besarnya hutang mereka terhadap Islam. Menurut Tim WallaceMurphy, hutang Barat terhadap Islam adalah hal yang tak ternilai harganya. “Even the brief study of history revealed in these pages demonstrates that European culture owes an immense and immeasurable debt to the world of Islam,” tulisnya. Karena itulah, tulis WallaceMurphy, “Kita di Barat menanggung hutang kepada dunia Islam yang tidak akan pernah lunas terbayarkan.” (We in the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid). Pengakuan WallaceMurphy sebagai bagian dari komunitas Barat semacam itu, sangatlah penting, baik bagi Barat maupun bagi Islam, untuk mengikis mispersepsi di antara kedua peradaban besar ini. Di mana letak hutang budi Barat terhadap Islam? Buku ini banyak memaparkan data tentang bagaimana transfer ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat pada zaman yang dikenal di Barat sebagai Zaman Pertengahan (the Middle Ages). Ketika itulah, tulis WallaceMurphy, Andalusia yang dipimpin kaum Muslim menjadi pusat kebudayaan terbesar, bukan hanya di daratan Eropa tetapi juga di seluruh kawasan Laut Tengah. (AlAndalus became not merely the greatest cultural centre in Europe but in the entire Mediterranean basin). Pada zaman itu, situasi kehidupan dunia Islam dan dunia Barat sangatlah kontras. “Life for the majority of people in mainland Christian Europe was short, brutal and barbaric when compared with the sophisticated, learned and tolerant regime in Islamic Spain.” Jadi, kata WallaceMurphy, bagi mayoritas masyarakat di dunia Kristen Eropa, kehidupan adalah singkat, brutal dan barbar, dibandingkan dengan kehidupan yang canggih, terpelajar, dan pemerintahan yang toleran di SpanyolIslam. Penutup Sebagai satu peradaban besar yang masih eksis, kaum Muslim perlu mengenal sejarahnya dengan benar, sehingga tidak menjadi umat yang “minder” dan silau dengan konsep-konsep peradaban lain, yang mungkin tampak memukau, padahal justru bertentangan dan bahkan membawa kerusakan kepada kaum Muslim sendiri. Kini, kaum Muslim dibanjiri dengan istilah-istilah dan paham-paham yang jika tidak hati-hati justru dapat merusak ajaran Islam, seperti konsep Pluralisme, multikulturalisme, relativisme, dan sebagainya. Leopold Weiss (Muhammad Asad), dalam buku klasiknya, yang ditulis tahun 1930an, Islam at the Crossroads, menekankan, bahwa bahaya terbesar bagi eksistensi atau kebangkitan umat Islam adalah kecenderungan untuk peniruan pada pola hidup Barat. Kata Asad, “The Imitation – individually and socially – of the Western mode of life by Muslims is undoubtedly the greatest danger for the existence – or rather , the revival – of Islamic civilization.” (Muhammad Asad, Islam at The Crossroads, (Kuala Lumpur: The Other Press), hal. 72). Padahal, menurut Muhammad Asad, “No civilization can prosper – or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past…” Peradaban Islam tidak akan eksis apalagi berkembang, jika umat Islam dihinggapi mental “minder”, tidak memiliki rasa kebangaan terhadap diri sendiri, dan terputus dari sejarahnya sendiri. Karena itulah, kajian-kajian sejarah dan konsep-konsep Islam secara komprehensif perlu dilakukan dengan serius dan benar. Sekian, dan terimakasih. Semoga tulisan singkat ini bermanfaat. (***) (Depok, 17 Maret 2010/Disampaikan dalam acara SEMINAR SEHARI, dengan tema: Implementasi Akhlak Rasulullah saw dalam Kehidupan Berkeluarga, Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, di Gedung Sasana Amal Bakti Kementerian Agama RI). Sumber:www.adianhusaini.com INSISTS

Makin Miskin Akibat Rokok

Dia seorang pengamen dengan gitarnya, dia melompat dari satu bus ke bus yang lain yang penuh sesak di Jakarta. Selesai menyanyikan satu dua lagu, Karel, begitu lelaki itu disapa, mengedarkan kantong uang pada para penumpang. Sehari, dia bisa mengantongi 20 ribu rupiah dari pekerjaannya ini. Setengahnya dia gunakan untuk membeli rokok.

Karel mengaku merokok setengah bungkus, kira-kira Rp 5000 sehari. Tapi dia masih merasa mending dibanding teman-temannya yang lain yang menghabiskan sebungkus rokok bahkan lebih dalam sehari. Karel mengaku penghasilannya sebagai pengamen tidaklah banyak. Kadang-kadang dalam sehari dia beruntung bisa ketemu nasi, kadang-kadang tidak. Kalau dapat uang, uangnya pertama-tama dibelikan rokok, lalu untuk bayar sewa kontrakan, setelah itu baru untuk makan.

Karel merokok sudah sejak usia 18 tahun. Lelaki 33 tahun ini mangaku awalnya hanya ingin tahu dan coba-coba merokok bersama teman-temannya sesama pengamen. Tapi dari coba-coba itu dia jadi tak bisa melepaskan diri dari rokok bahkan sampai ketagihan seperti sekarang. Dia mengaku, kalau tak merokok rasanya tubuhnya lemas.

Lain Karel lain pula cerita Ridho (17). Kuli bangunan lepas di Jakarta Selatan ini mengaku mendapat upah rata-rata Rp. 15 ribu sehari sebagai pengayak pasir. Dari uang itu, setengahnya dia belanjakan untuk membeli rokok. Ridho mengatakan merokok adalah segalanya bagi remaja laki-laki seperti dirinya. Merokok bisa menghilangkan stres bahkan lebih dari pacar buatnya. Rokok itu segalanya baginya, karena rokok bisa menghilangkan pusing dan jenuhnya menghadapi kerasnya hidup di Jakarta.

Terima tidak terima, Indonesia adalah sorga bagi perokok. Satu-satunya Negara di Asia Tenggara yang tidak mau menandatangani kesepakatan World Health Organizations atau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menghentikan kebiasaan merokok adalah Indonesia. Alasannya? Industri tembakau lokal menyediakan ratusan ribu lapangan kerja dan pajak dari rokok menyumbang 10-30 persen pendapatan pemerintah.

Ada fakta menarik tentang perilaku merokok masyarakat bawah kita. Berdasarkan survei Lembaga Demografi FE UI, satu dari rumah tangga miskin mengalokasikan 20 persen pendapatannya untuk merokok. Hasil penelitian lain menyebutkan dalam sebulan orang miskin Indonesia membelanjakan uang untuk rokok Rp 117 ribu. Angka ini lebih besar dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang cuma sebesar 100 ribu per bulan itu. Agak serupa dengan pengakuan Karel, pengeluaran untuk rokok menduduki prioritas kedua setelah membeli beras. Diduga, BLT yang diterima separuhnya malah digunakan untuk membeli rokok, bukan untuk biaya kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.

Survei juga menunjukkan, pengeluaran orang miskin untuk rokok 17 kali dari pada membeli daging, 15 kali dibandingkan pengeluaran kesehatan, dan 9 kali dibanding pengeluaran pendidikan. Itulah mungkin sebabnya orang miskin susah membiayai pendidikan dan tidak bisa menyantap makanan bergizi gara-gara membeli rokok. Tak hanya menggerogoti paru-paru, rokok juga ternyata membuat orang miskin Indonesia semakin miskin. Bayangkan penduduk Indonesia rela menahan lapar demi rokok. Penelitian dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menyebutkan, 40 persen perokok Indonesia berasal dari kelompok berpenghasilan kecil.

Fakta-fakta mengerikan ini tidak terlepas dari sangat murahnya harga rokok di Indonesia dibandingkan Negara-negara lain di dunia, sehingga bahkan sekelas masyarakat miskin pun bisa membelinya. Hanya dengan 10 ribu rupiah saja, orang Indonesia bisa mendapatkan sebungkus rokok, bahkan bisa membelinya secara batangan dengan harga yang lebih murah.

Selain menggerogoti dompet orang miskin, rokok juga penyebab kematian nomor tiga di Indonesia. Yayasan Kanker Indonesia mencatat, saat ini kanker paru-paru menduduki urutan ketiga setelah kanker serviks dan kanker payudara. Padahal dulu kanker paru-paru menduduki posisi kelima. Diketahui pula Sembilan dari 10 dari pengidap kanker paru-paru adalah perokok, dan enam orang diantaranya adalah kalangan tak berpunya. Jadi lengkap sudah keterpurukan itu. Sudahlah miskin, tak sehat, mengidap kanker pula.

Perlu usaha keras dari berbagai pihak untuk mengentaskan persoalan ini. Pemerintah harus membuat aturan ketat tentang rokok. Membebani industri rokok dengan pajak tinggi, tetap bukan solusi utama. Melarang orang merokok di tempat umum, ternyata juga belum ampuh untuk menurunkan jumlah perokok. Diperlukan regulasi yang ketat agar perokok baru tidak bertambah, selain itu, tentu saja diperlukan sesuatan cinta antara sesama – terutama dari anggota keluarga – untuk saling mengingatkan bahwa rokok tidak hanya membahayakan kesehatan, tapi juga mempertebal kemiskinan.

Sumber: Harian Umum Republika Jumat 19 maret 2010 hal 22

Kamis, 11 Maret 2010

RELATIVISME DAN PENODAAN AGAMA

Oleh: Dr. Adian Husaini Kasus gugatan atau permohonan judicial review terhadap UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama masih terus bergulir. Gugatan diajukan oleh 11 (sebelas Pemohon) yang terdiri dari 7 (tujuh) Pemohon LSM yakni Imparsial, Elsam, PBHI, Demos, Setara, Desantara, YLBHI dan 4 (empat) Pemohon perorangan yakni Abdurahman Wahid, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, dan Maman Imanul Haq. Mereka mewakilkan kepada 56 advokat dan aktifis bantuan hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama. Dalam kasus ini, pemerintah, Ormas-ormas Islam dan sejumlah Majelis Agama bersatu padu menghadapi gugatan tersebut. Disamping pertimbangan juridis formal, salah satu pijakan gugatan adalah paham ”Relativisme Kebenaran”. Menurut para pemohon, apa yang dianggap benar oleh suatu kelompok/aliran belum tentu benar bagi kelompok lain. Karena itu, tidak boleh satu kelompok mengklaim kelompok lain menyimpang; begitu pun sebaliknya. Negara juga tidak boleh membatasi orang untuk melakukan penafsiran dan negara tidak boleh mengambil tafsir satu kelompok sebagai tafsir resmi negara. Juga, menurut argumentasi pemohon, kebenaran di masa lampau, belum tentu akan terus menjadi sebuah kebenaran pada masa kini. Karena itulah, para penggugat ini sangat berkeberatan dengan pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 yang menyatakan: “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan agama mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” Seorang Ahli dari pihak pemohon, pada 17 Februari 2010 menyatakan, bahwa: “Persoalan utama dari Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 adalah bahwa negara ikut campur terlalu jauh dalam urusan agama. Idealnya negara kita atau negara tidak boleh ikut campur dalam urusan agama.” Pada sidang tanggal 10 Februari 2010, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) juga menyatakan, bahwa: “Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1/1965 yang mempidanakan setiap orang yang menyarankan keyakinan yang dianggap menyimpang dari ajaran agama yang resmi merupakan kriminalisasi terhadap agama. Dengan demikian merupakan ketentuan yang bersifat represif terhadap kebebasan beragama di setiap orang. Dengan demikian Negara Kesatuan Republik Indonesia atau negara pun tidak dapat melakukan intervensi dalam hal ini termasuk melarang seseorang untuk menyuarakan keyakinan baik dalam bentuk penganut agama maupun tidak menganut agama.” (Teks dikutip dari Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi). Praktik Vatikan Dalam urusan penjagaan terhadap ajaran-ajaran pokok keagamaan, Vatikan memiliki mekanisme yang ketat. Sejumlah Teolog Katolik telah dipecat oleh Vatikan karena memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan resmi Vatikan. Kasus terkenal, misalnya, menimpa Prof. Jacques Dupuis SJ, seorang sarjana di Gregorian University Roma, yang diberi sanksi menyusul penerbitan bukunya yang berjudul Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, (Maryknoll, NY Orbis, 1997). Pada bulan Oktober 1998, Prof. Dupuis mendapatkan notifikasi dari Kongregasi untuk Ajaran Iman, Vatikan, yang menyatakan, bahwa ia “Tidak bisa dipandang sebagai seorang Teolog Katolik”. Surat ini ditandatangani oleh Kardinal Ratzinger yang sekarang menjabat sebagai Paus dengan gelar Benediktus XVI. Sebelum menjabat sebagai Paus, pada tahun 2004, juga masih mengeluarkan sanksi terhadap Roger Haight, seorang Yesuit Amerika, penulis buku Jesus Symbol of God, karena pandangan-pandangannya yang dianggap berbeda dengan ajaran Iman Katolik. (Lihat, Rm. Gregorius Tulus Sudarto Pr, Daftar Hitam Gereja Katolik, (Jakarta: Fidei Press, 2009), hal. 74-75.; juga John Cornwell, The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul II’s Papacy, (London: Penguin Books, 2005), 193-194.). Melalui institusi bernama Kongregasi untuk Ajaran Iman (Congregation pro Doctrina Fidei/CDF), Vatikan bertindak sangat aktif dalam memeriksa dan menjatuhkan sanksi kepada sejumlah Teolog Katolik yang dinilai “menyimpang”. John McNeil, seorang Jesuit yang menulis buku The Church and the Homosexual, diselidiki oleh Vatikan, dan akhirnya dikeluarkan dari Serikat Jesus karena mengkritik dokumen Gereja tentang homoseksualitas, tahun 1986. Tindakan disipliner juga diberikan kepada sejumlah Teolog lainnya. Secara aktif, CDF memeriksa karangan-karangan para teolog dan melihat apakah karya-karya mereka sesuai dengan ajaran moral Gereja. Jika tidak sesuai, maka perutusan kanoniknya (missio canonica) ditarik kembali dan dia dinyatakan tidak lagi mempunyai wewenang untuk mengajar atas nama Gereja sebagai seorang Teolog Katolik. (Rm. Gregorius Tulus Sudarto Pr, Daftar Hitam Gereja Katolik, hal. 154). Kasus lain yang menarik perhatian internasional, misalnya, pernah menimpa Prof. Hans Küng, seorang teolog Katolik terkenal dari Jerman. Akibat berbagai sikap kritisnya terhadap Vatikan, maka pada 15 Desember 1979, Vatikan pun mengeluarkan sebuah statemen: “In his writing, Professor Küng deviates from complete truth of the Catholic belief. For this reason he cannot be regarded as a Catholic theologian as such.” (Lihat, Peter Hebblethwaite, The New Inquisition? Schillebeeckx and Küng, (London: Fount Paperbacks, 1980), hal. 158-166). Paham Relativisme kebenaran memang meresahkan banyak pemuka agama. Paham ini telah menjadi virus global yang merusak dasar-dasar keimanan seseorang. Paus Benediktus XVI sendiri mengingatkan, bahwa Eropa saat ini sedang dalam bahaya besar, karena paham relativisme iman yang mendalam. (Lihat, Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman Katolik, (Jakarta: Sinondang Media, 2005). Bahkan, Paus juga menggelorakan semangat perlawanan terhadap paham ini melalui programnya: battling dictatorship of relativism. (Lihat, David Gibson, The Rule of Benedict. New York: HarperCollins Publisher, 2006). Netral agama? Apa yang dilakukan oleh Vatikan dalam memutuskan mana tafsir yang benar dan mana tafsir yang salah jelas menunjukkan pengakuan adanya satu otoritas keagamaan. Vatikan tidak bersikap netral terhadap paham-paham keagamaan. Umat Islam tidak memiliki lembaga kependetaan dan kenegaraan menjadi satu sebagaimana kaum Katolik. Tapi, umat Islam memiliki konsep Ijma’. Nabi Muhammad saw menjamin bahwa umat Islam tidak akan pernah bersepakat dalam kesesatan. Umat Islam memiliki banyak kesepakatan akan kebenaran yang tidak mampu diubah oleh siapa pun sampai Kiamat. Misal, umat Islam yakin, bahwa Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir; bahwa shalat lima waktu adalah wajib; bahwa zina, babi, dan khamr adalah haram; bahwa haji dilaksanakan di Tanah Suci, bukan di Jawa; bahwa berwudhu harus menggunakan air dan bukan menggunakan oli atau sabun cair; dan sebagainya. Karena itulah, bagi umat Islam memang ada yang disebut ajaran-ajaran pokok dan ada yang cabang (furu’iyyah). Sesuai UUD 1945 pasal 29 (2), negara wajib menjamin warganya untuk melaksanakan agamanya. Maka, negara juga berkewajiban melindungi ajaran-ajaran agama itu dari perusakan, penistaan, atau penodaan. Dan itulah sebenarnya tujuan terpenting dari eksistensi UU No.1/PNPS/1965 yang asalnya justru dikeluarkan oleh Bung Karno tahun 1965 dalam bentuk Penpres. Dengan UU ini pula, berbagai penafsiran subjektif dapat dinilai secara objektif di depan sidang pengadilan. Jika seseorang atau sekelompok orang merasa agamanya dinodai, dia dapat mengajukan gugatannya ke pengadilan. Di situlah hakim akan menilai, apakah pemahaman sebjektif penggugat itu benar atau tidak secara objektif. Maka sangat beralasan, jika UU No. 1/PNPS/1965 ditiadakan, berbagai penafsiran subjektif akan muncul dan berpotensi memicu kerusuhan antar umat beragama. Gagasan negara yang netral agama – dengan berbasis kepada relativisme tafsir dan relativisme kebenaran – pada hakekatnya juga sebuah ide yang sangat naif. Meskipun secara umum mengaku menghormati sejumlah rumusan HAM, tetapi sebenarnya masing-masing negara tetap memiliki kekhasan berdasarkan sejarah dan konstitusinya dalam meletakkan posisi agama dalam negara. Malaysia, misalnya, meskipun jumlah umat Islam hanya sekitar 55 persen, tetapi menegaskan, bahwa Islam adalah “agama Persekutuan” (agama resmi negara). Berbagai negara lain, seperti India, Pakistan, Arab Saudi, Singapura, pun memiliki kekhasan sendiri. Karena itu, Dunia Islam, misalnya, jelas-jelas tidak menjadikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) sebagai “kitab suci”, dan tidak bersedia begitu saja mengadopsi sepenuhnya pasal-pasal dalam DUHAM. Pada tahun 1981, beberapa pemikir Islam terkemuka dari negara-negara anggota OKI mengeluarkan Universal Islamic Declaration of Human Rights. Dan pada tahun 1990, negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam memunculkan Deklarasi Kairo tahun 1990. Lihatlah Amerika Serikat! Meskipun sering dianggap sebagai negara contoh dalam “Kebebasan Beragama”, jauh-jauh sebelumnya, bangsa AS menegaskan identitasnya sebagai sebuah “bangsa Kristen”. Tahun 1811, Mahkamah Agung AS menegaskan: “We are a Christian people.” Itu ditegaskan lagi oleh Mahkamah Agung AS pada tahun 1892, dengan menyatakan: “This is a Christian Nation.” Theodore Dwight Woolsey, memberikan penjelasan, mengapa AS disebut “a Christian Nation”: “In this sense certainly, that the vast majority of the people believe in Christianity and the Gospel…” . Survei antara tahun 1989-1996 menunjukkan, 84-88 persen penduduk AS mengaku Kristen. Tahun 1997, jumlah Muslim di AS diperkirakan sekitar 3,5 juta jiwa. (Lihat, Samuel P. Huntington, Who Are We? The Challenges to America’s National Identity” (New York: Simon&Schuster, 2004). AS memang menerapkan tembok pemisah yang tingga antara Negara dan Gereja. Seorang penulis AS menggambatkan posisi agama dan negara dalam Amandemen Pertama: “Neither a state nor the federal government can set up a church. Neither can pass laws which aid one religion, aid all religions, or prefer one religion over another… No person can be punished for entertaining or professing religious beliefs or disbelief, for church attendance or non-attendance.” (Lihat, David Limbaugh, Persecution: How Liberals are Waging War Against Christianity, (New York: Perennial, 2004). Posisi “netral agama” AS seperti ini tidak mungkin diterapkan di Indonesia. sebab, kondisi ajaran Islam dan Kristen sangat berbeda dalam urusan publik. Kondisi AS juga dilatarbelakangi oleh sejarah bangsanya sendiri, yang banyak diantara tokoh-tokoh pendiri bangsa itu adalah aktivis Free Mason, yang berprinsip netral agama. Kaum Muslim memiliki berbagai hukum yang harus diterapkan baik dalam ruang privat maupun ruang publik. Kini, dengan Konstitusi UUD 1945, negara masih terlibat aktif dalam campur tangan masalah haji, perkawinan, wakaf, zakat, dan lembaga keuangan syariat. Meskipun menyatakan “netral agama”, apakah AS memperlakukan semua agama dengan sama? Jelas tidak! Melihat perkembangan yang pesat berbagai agama di luar Kristen, sebagian kalangan di AS mulai mengusulkan agar hari libur resmi juga diubah. Hari Raya Kristen diusulkan hanya Natal saja. Sedangkan Paskah dan Thanksgiving diganti dengan libur untuk Hari Raya orang Muslim dan Yahudi. Hingga kini, usulan semacam ini masih sulit diwujudkan. Pengangkatan menteri orang Muslim juga masih belum terwujud. Bahkan, dalam soal Kebebasan Beragama ini, Indonesia jauh “lebih maju” dibandingkan AS. Menurut Prof. Diana L. Eck, baru pada tahun 1996, Gedung Putih, mengadakan Perayaan Idul Fithri. Tahun yang sama, untuk pertama kalinya, Angkatan Laut AS mengangkat seorang Imam, yaitu Letnan M. Malak Abd al-Muta Ali Noel. Dan baru pada tahun 1998, untuk pertama kalinya, dibuka sebuah Masjid di Angkatan Laut AS di Pangkalan AL Norfolk, Virginia. (Lihat, Diana L. Eck, Amerika Baru Yang Religius, (Terj.), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005), hal. 15). Jadi, pada akhirnya, sudah sewajarnya setiap orang berpikir menurut paham dan agamanya masing-masing. Sebagai orang liberal, sudah sewajarnya berpikir sebagai liberal. Sebagai orang ateis, wajar berpikir ateis. Sebagai Kristen, wajar berpikir sebagai Kristen. Dan sebagai Muslim, sudah sewajarnya ia berpikir sebagai Muslim; bukan berpikir sebagai orang liberal, ateis, Yahudi, atau ”sok tidak Muslim”. Apalah artinya berbagai gelar dan sebutan indah di dunia, jika di akhirat nanti seorang tidak akan ditanya oleh Allah, apakah Anda seorang Pluralis atau bukan? Apakah Anda demokrat atau tidak? Apakah Anda moderat atau tidak? Kaum Muslim yakin, yang ditanya di akhirat nanti adalah: apakah Anda Muslim atau tidak? Apakah Anda mukmin atau tidak? Mengapa kamu kafir? Ini keyakinan umat Islam, yang dilindungi oleh UUD 1945. (***)