Free Widgets

Senin, 14 Desember 2009

PANDANGAN ISLAM TERHADAP SEKULARISME

Pendahuluan Sekularisme di Dunia Islam bukanlah menjadi sesuatu yang asing lagi karena dapat dikatakan bahwa sanya sekularisme kini telah menjadi bagian dari tubuhnya atau bahkan menjadi tubuhnya itu sendiri. Ibarat sebuah virus yang menyerang tubuh manusia, dia sudah menyerang apa saja dari bagian tubuhnya itu. Bahkan yang lebih hebat, virus itu telah menghabisi seluruh tubuh inangnya dan menjelma menjadi wujud sosok baru; bak sebuah monster yang besar dan mengerikan sehingga sudah sulit sekali dikenali wujud aslinya. Begitulah kondisi umat Islam saat ini dengan sekularismenya. Perkembangan sekularisme sudah seperti gurita yang telah menyebar dan membelit kemana-mana. Hampir tidak ada sisi kehidupan umat ini yang terlepas dari cengkeramannya. Akibatnya, umat sudah tidak menyadarinya lagi. Rantai Sekularisme Inti dari paham sekularisme menurut An-Nabhani (1953) adalah pemisahan agama dari kehidupan (faşl ad-dîn ‘an al-hayâh). Menurut Nasiwan (2003), sekularisme di bidang politik ditandai dengan 3 hal, yaitu: 1. Pemisahan pemerintahan dari ideologi keagamaan dan struktur eklesiatik; 2. Ekspansi pemerintah untuk mengambil fungsi pengaturan dalam bidang sosial dan ekonomi, yang semula ditangani oleh struktur keagamaan; 3. Penilaian atas kultur politik ditekankan pada alasan dan tujuan keduniaan yang tidak transenden. Tahun yang dianggap sebagai cikal bakal munculnya sekularisme adalah 1648. Pada tahun itu telah tercapai perjanjian Westphalia. Perjanjian itu telah mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katolik dan Protestan di Eropa. Perjanjian tersebut juga telah menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katolik Roma (Papp, 1988). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itulah aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja yang dianggap sebagai wakil Tuhan. Asumsinya adalah bahwa negara itu sendirilah yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya. Sementara itu, Tuhan atau agama hanya diakui keberadaannya di gereja-gereja saja. Pada awalnya sekularisme memang hanya berbicara hubungan antara agama dan negara. Namun dalam perkembangannya, semangat sekularisme tumbuh dan berkembang biak ke segala lini pemikiran kaum intelektual pada saat itu. Sekularisme menjadi bahan bakar sekaligus sumber inspirasi ke segenap kawasan pemikiran., yaitu: 1. Bidang akidah. Semangat sekularisme ternyata telah mendorong munculnya libelarisme dalam berpikir di segala bidang. Kaum intelektual Barat ternyata ingin sepenuhnya membuang segala sesuatu yang berbau doktrin agama (Altwajri, 1997). Mereka sepenuhnya ingin mengembalikan segala sesuatunya pada kekuatan akal manusia; termasuk melakukan reorientasi terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hakikat manusia, hidup, dan keberadaan alam semesta ini (persoalan akidah). Altwajri memberi contoh penentangan para pemikir Barat terhadap paham keagamaan yang paling fundamental di bidang akidah, yaitu munculnya berbagai aliran pemikiran seperti: pemikiran marxisme, eksistensialisme, darwinisme, freudianisme dan sebagainya—yang memisahkan diri dari ide-ide metafisik dan spiritual tertentu, termasuk gejala keagamaan. Pandangan pemikiran seperti ini akhirnya membentuk pemahaman baru berkaitan dengan hakikat manusia, alam semesta dan kehidupan ini, yang berbeda secara diametral dengan paham keagamaan yang ada. Mereka mengingkari adanya Pencipta sekaligus tentu saja mengingkari misi utama Pencipta menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan ini. Mereka lebih suka menyusun sendiri, melogikakannya sendiri, dengan kaidah-kaidah filsafat yang telah disusun dengan rapi. 2. Bidang pemerintahan Di bidang ini, yang dianggap sebagai pelopor pemikiran modern adalah Niccola Machiavelli, yang menganggap bahwa nilai-nilai tertinggi adalah yang berhubungan dengan kehidupan dunia, yang dipersempit menjadi nilai kemasyhuran, kemegahan, dan kekuasaan belaka. Agama hanya diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang dikandung agama itu sendiri (Nasiwan, 2003). Di samping itu, muncul pula para pemikir demokrasi seperti John Locke, Montesquieu, dan lain-lain yang mempunyai pandangan bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan konstitusional yang mampu membatasi dan membagi kekuasaan sementara dari mayoritas, yang dapat melindungi kebebasan segenap individu-individu rakyatnya. Pandangan ini kemudian melahirkan tradisi pemikiran politik liberal, yaitu sistem politik yang melindungi kebebasan individu dan kelompok, yang di dalamnya terdapat ruang bagi masyarakat sipil dan ruang privat yang independen dan terlepas dari kontrol negara (Widodo, 2004). Konsep demokrasi itu kemudian dirumuskan dengan sangat sederhana dan mudah oleh Presiden AS Abraham Lincoln dalam pidatonya tahun 1863 sebagai, “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Roberts & Lovecy, 1984). 3. Bidang ekonomi. Di bidang ini, mucul tokoh besarnya seperti Adam Smith, yang menyusun teori ekonominya berangkat dari pandangannya terhadap hakikat manusia. Smith memandang bahwa manusia memiliki sifat serakah, egoistis, dan mementingkan diri sendiri. Smith menganggap bahwa sifat-sifat manusia seperti ini tidak negatif, tetapi justru sangat positif, karena akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan secara keseluruhan. Smith berpendapat bahwa sifat egoistis manusia ini tidak akan mendatangkan kerugian dan merusak masyarakat sepanjang ada persaingan bebas. Setiap orang yang menginginkan laba dalam jangka panjang (artinya serakah), tidak akan menaikkan harga di atas tingkat harga pasar. (Deliarnov, 1997). 4. Bidang sosiologi. Di bidang ini muncul pemikir besarnya seperti Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, dan sebagainya. Sosiologi ingin memahami bagaimana masyarakat bisa berfungsi dan mengapa orang-orang mau menerima kontrol masyarakat. Sosiologi juga harus bisa menjelaskan perubahan sosial, fungsi-fungsi social, dan tempat individu di dalamnya (Osborne & Loon, 1999). Dari sosiologi inilah diharapkan peran manusia dalam melakukan rekayasa sosial dapat lebih mudah dan leluasa untuk dilakukan, ketimbang harus ‘pasrah’ dengan apa yang dianggap oleh kaum agamawan sebagai ‘ketentuan-ketentuan’ Tuhan. 5. Bidang pengamalan agama. Di bidang ini pun ada prinsip sekularisme yang amat terkenal, yaitu faham pluralisme agama yang memiliki tiga pilar utama, yaitu: 1. Prinsip Kebebasan, yaitu negara harus memperbolehkan pengamalan agama apapun (dalam batasan-batasan tertentu); 2. Prinsip Kesetaraan, yaitu negara tidak boleh memberikan pilihan suatu agama tertentu atas pihak lain; 3. Prinsip Netralitas, yaitu negara harus menghindarkan diri dari suka atau tidak suka pada agama. Dari prinsip pluralisme agama inilah muncul pandangan bahwa semua agama harus dipandang sama, memiliki kedudukan yang sama, namun hanya boleh mewujud dalam area yang paling pribadi, yaitu dalam kehidupan privat dari pemeluk-pemeluknya. 6. Bidang pendidikan. Di bidang pendidikan, kerangka keilmuan yang berkembang di Barat mengacu sepenuhnya pada prinsip-prinsip sekularisme. Hal itu paling tidak dapat dilihat dari kategorisasi filsafat yang mereka kembangkan yang mencakup tiga pilar utama pembahasan, yaitu (Suriasumantri, 1987): filsafat ilmu, yaitu pembahasan filsafat yang mengkaji persoalan benar atau salah; filsafat etika, pembahasan filsafat yang mengkaji persoalan baik atau buruk; filsafat estetika, pembahasan filsafat yang mengkaji persoalan indah atau jelek. Jika kita mengacu pada tiga pilar utama yang dicakup dalam pembahasan filsafat tersebut, maka kita dapat memahami bahwa sumber-sumber ilmu pengetahuan hanya didapatkan dari akal manusia, bukan dari agama, karena agama hanya didudukkan sebagai bahan pembahasan dalam lingkup moral dan hanya layak untuk berbicara baik atau buruk (etika), dan bukan pembahasan ilmiah (benar atau salah). Dari prinsip dasar inilah ilmu pengetahuan terus berkembang dengan berbagai kaidah metodologi ilmiahnya yang semakin mapan dan tersusun rapi untuk menghasilkan produk-produk ilmu pengetahuan yang lebih maju. Dengan prinsip ilmiah ini pula, pandangan-pandangan dasar berkaitan dengan akidah maupun pengaturan kehidupan manusia, sebagaimana telah diuraikan di atas, semakin berkembang, kokoh, dan tak terbantahkan karena telah terbungkus dengan kedok ilmiah tersebut. Umat Islam akhirnya memiliki standar junjungan baru yang lebih dianggap mulia ketimbag standar-standar yang telah ditetapkan al-Quran dan as-Sunnah. Umat lebih suka mengukur segala kebaikan dan keburukan berdasarkan pada nilai-nilai demokrasi, HAM, pasar bebas, pluralisme, kebebasan, kesetaraan, dan lain-lain; yang kandungan nilainya banyak bertabrakan dengan Islah Pandangan Islam Terhadap Sekularisme Untuk dapat menjawab persoalan ini, marilah kita mengembalikan satu persatu masalah ini pada pandangan al-Qur’an terhadap prinsip-prinsip sekularisme di atas, mulai dari yang paling mendasar, kemudian turunan-turunannya. Kita mulai dari firman Allah berikut:
إِنَّا خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا. إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا. إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلاسِلا وَأَغْلالا وَسَعِيرًا
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang hendak Kami uji (dengan perintah dan larangan). Karena itu, Kami menjadikannya mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya dengan jalan yang lurus; ada yang bersyukur ada pula yang kafir. Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala”. (QS al-Insan [76]: 2-4) Ayat-ayat di atas memberitahukan dengan jelas kepada manusia, mulai dari siapa sesungguhnya Pencipta manusia, kemudian untuk apa Pencipta menciptakan manusia hidup di dunia ini. Hakikat hidup manusia di dunia ini tidak lain adalah untuk menerima ujian dari Allah Swt., berupa perintah dan larangan. Allah juga memberi tahu bahwa datangnya petunjuk dari Allah untuk hidup manusia bukanlah pilihan bebas manusia (sebagaimana prinsip HAM), yang boleh diambil, boleh juga tidak; tetapi merupakan kewajiban asasi manusia (KAM), yang jika manusia tolak (kafir) maka Allah Swt. telah menyiapkan siksaan yang sangat berat di akhirat kelak untuk mereka. Selanjutnya, bagi mereka yang berpendapat bahwa jalan menuju petunjuk Tuhan itu boleh berbeda dan boleh dari agama mana saja (yang penting tujuan sama), sebagaimana yang diajarkan dalam prinsip pluralisme agama di atas, maka hal itu telah disinggung oleh Allah dalam firman-Nya: Q.S. Ali ‘Imran: 19 & 85: إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَم Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali ‘Imran [3]: 19).
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja mencari agama selain Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dan di akhirat kelak dia termasuk orang-orang yang merugi (masuk neraka). (QS Ali ‘Imran [3]: 85). Walaupun Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan yang diridhai, namun ada penegasan dari Allah Swt., bahwa tidak ada paksaan untuk masuk Islam. Jika Islam harus menjadi satu-satunya agama pilihan, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah sejauh mana manusia harus melaksanakan agama Islam tersebut? Allah Swt. memberitahu manusia, khususnya yang telah beriman, untuk mengambil Islam secara menyeluruh. Perintah untuk masuk Islam secara keseluruhan juga bukan merupakan pilihan bebas, sebab ada ancaman dari Allah Swt. jika kita mengambil al-Quran secara setengah-setengah. Walaupun penjelasan Allah dari ayat-ayat di atas telah gamblang, masih ada kalangan umat Islam yang berpendapat bahwa kewajiban untuk terikat dengan Islam tetap hanya sebatas persoalan individu dan pribadi, bukan persoalan hubungan antar manusia dalam bermasyarakat dan bernegara. Untuk menjawab persoalan itu, ada banyak ayat yang telah menjelaskan hal itu, di antaranya: firman Allah :
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Hukumlah di antara mereka dengan apa saja yang Allah turunkan, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka (dengan meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS al-Maidah [5]: 48). Perintah tersebut menunjukkan bahwa al-Quran juga berfungsi untuk mengatur dan menyelesaikan perkara yang terjadi di antara manusia. Dari ayat ini juga dapat diambil kesimpulan tentang keharusan adanya pihak yang mengatur, yaitu penguasa negara yang bertugas menerapkan al-Quran dan as-Sunnah. Selain itu, ada pembatasan dari Allah Swt. bahwa yang berhak untuk membuat hukum hanyalah Allah Swt. Manusia sama sekali tidak diberi hak oleh Allah untuk membuat hukum; tidak sebagaimana yang diajarkan dalam sekularisme. Oleh karena itu, tugas manusia di dunia hanyalah untuk mengamalkan apa-apa yang telah Allah turunkan kepada mereka; menyangkut urusan ibadah, akhlak, pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan sebagainya. Jika manusia, termasuk penguasa, enggan untuk menerapkan hukum-hukum Allah, maka mereka termasuk orang-orang kafir, zalim, dan fasik (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44, 45, dan 47). Referensi Al-Quran al-Karim. Altwajri, Ahmed O., 1997. Islam, Barat dan Kebebasan Akademis. Titian Ilahi Press. Jogjakarta. Widodo, Bambang E. C., 2004. “Demokrasi, Antara Konsep dan Realita,” Makalah Diskusi Publik HTI. 29 Pebruari 2004. Jogjakarta.

SEJARAH PERKEMBANGAN LOGIKA

1.1. Sejarah Singkat Logika A. Masa Yunani Kuno Logika dimulai sejak Thales (624 SM - 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta. Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif. Aristoteles kemudian mengenalkan logika sebagai ilmu, yang kemudian disebut logica scientica. Aristoteles mengatakan bahwa Thales menarik kesimpulan bahwa air adalah arkhe alam semesta dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu. Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari: 1. Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati) 2. Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia 3. Air jugalah uap 4. Air jugalah es Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta. Sejak saat Thales sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini. Pada masa Aristoteles logika masih disebut dengan analitica , yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang benar, dan dialektika yang secara khusus meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles adalah silogisme. Buku Aristoteles to Oraganon (alat) berjumlah enam, yaitu: 1. Categoriae menguraikan pengertian-pengertian 2. De interpretatione tentang keputusan-keputusan 3. Analytica Posteriora tentang pembuktian. 4. Analytica Priora tentang Silogisme. Topica tentang argumentasi dan metode berdebat. De sohisticis elenchis tentang kesesatan dan kekeliruan berpikir. Pada 370 SM - 288 SM Theophrastus, murid Aristoteles yang menjadi pemimpin Lyceum, melanjutkan pengembangn logika. Istilah logika untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Zeno dari Citium 334 SM - 226 SM pelopor Kaum Stoa. Sistematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130 M - 201 M) dan Sextus Empiricus 200 M, dua orang dokter medis yang mengembangkan logika dengan menerapkan metode geometri. Porohyus (232 - 305) membuat suatu pengantar (eisagoge) pada Categoriae, salah satu buku Aristoteles. Boethius (480-524) menerjemahkan Eisagoge Porphyrius ke dalam bahasa Latin dan menambahkan komentar- komentarnya. Johanes Damascenus (674 - 749) menerbitkan Fons Scienteae B. Abad pertengahan dan logika modern Pada abad 9 hingga abad 15, buku-buku Aristoteles seperti De Interpretatione, Eisagoge oleh Porphyus dan karya Boethius masih digunakan. Thomas Aquinas 1224-1274 dan kawan-kawannya berusaha mengadakan sistematisasi logika. Lahirlah logika modern dengan tokoh-tokoh seperti: 1. Petrus Hispanus 1210 - 1278) 2. Roger Bacon 1214-1292 3. Raymundus Lullus (1232 -1315) yang menemukan metode logika baru yang dinamakan Ars Magna, yang merupakan semacam aljabar pengertian. 4. William Ocham (1295 - 1349) 5. Pengembangan dan penggunaan logika Aristoteles secara murni diteruskan oleh Thomas Hobbes (1588 - 1679) dengan karyanya Leviatan dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay Concerning Human Understanding 6. Francis Bacon (1561 - 1626) mengembangkan logika induktif yang diperkenalkan dalam bukunya Novum Organum Scientiarum. 7. J.S. Mills (1806 - 1873) melanjutkan logika yang menekankan pada pemikiran induksi dalam bukunya System of Logic Lalu logika diperkaya dengan hadirnya pelopor-pelopor logika simbolik seperti: 1. Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar berdasarkan Ars Magna dari Raymundus Lullus. Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih mempertajam kepastian. 2. George Boole (1815-1864) 3. John Venn (1834-1923) 4. Gottlob Frege (1848 - 1925) 5. Lalu Chares Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di John Hopkins University,melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan dalil Peirce (Peirce's Law) yang menafsirkan logika selaku teori umum mengenai tanda (general theory of signs) 6. Puncak kejayaan logika simbolik terjadi pada tahun 1910-1913 dengan terbitnya Principia Mathematica tiga jilid yang merupakan karya bersama Alfred North Whitehead (1861 - 1914) dan Bertrand Arthur William Russel (1872 - 1970). 7. Logika simbolik lalu diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt Godel (1906-1978), dan lain-lain. 1.2. Macam-macam logika 1. Logika alamiah Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif. Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir. [sunting] Logika ilmiah Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Berkat pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau, paling tidak, dikurangi. 1.3. Perbedaan Pandangan Ulama Tentang Munculnya Logika 1) Ada ulama yang antipati, menentang, atau menolak secara mutlak keberadaan ilmu mantiq untuk memahami teks-teks Islam. Keberadaan ulama yang berpandangan demikian diterangkan oleh Umar M. Noor sebagai berikut. Sejak awal kehadirannya di dunia Islam, mantik menyalakan perdebatan sengit di kalangan para ulama, terutama ahli kalam. Mereka sangat anti kepada mantik dan melarang manusia untuk mempelajarinya. Ibn Khaldun berkata bahwa antipati ini lahir karena persinggungan prinsip ilmu kalam dengan mantik yang melahirkan pilihan: terima mantik maka tinggalkan kalam atau terima kalam maka tinggalkan mantik. Padahal, ilmu kalam adalah ilmu dasar yang bertugas menetapkan akidah islamiah menyangkut keesaan Allah dan kebaharuan alam semesta. Bahkan Al Qadhi Abu Bakar Al Baqillani menyatakan bahwa prinsip-prinsip ilmu kalam adalah bagian dari akidah. Menyerangnya sama dengan berusaha menghancurkan sendi-sendi akidah islamiah. Singkatnya, menurut mereka, logika atau ilmu mantiq itu bukan hanya tidak dibutuhkan, melainkan juga haram (tidak boleh) digunakan untuk memahami teks-teks Islam. 2) Ada ulama yang simpati, menyambut, atau menerima secara bulat-bulat keberadaan ilmu mantiq untuk memahami teks-teks Islam. Keberadaan ulama yang berpandangan demikian diterangkan oleh Umar M. Noor sebagai berikut. Seperti Al Farabi dan Ibn Sina, Al Ghazali berpendapat bahwa mantik adalah aturan-aturan berpikir yang berfungsi meluruskan akal dalam menarik kesimpulan dan membebaskannya dari campuran prasangka dan imajinasi. Tugas utama mantik dengan demikian adalah menjaga akal dari kesalahan berpikir. Mantik bagi akal sepadan dengan posisi nahwu bagi bahasa Arab dan ilmu ‘Arud bagi ritme puisi (syair). Meminjam analogi Al Farabi, mantik bagi akal ibarat neraca dan takaran yang berfungsi mengukur bobot benda yang tak bisa diketahui ukurannya dengan tepat jika hanya menggunakan indera. Atau ibarat penggaris untuk mengukur panjang dan lebar sesuatu yang indera manusia sering keliru dalam memastikannya. Al Ghazali bahkan menegaskan bahwa mantik merupakan mukaddimah (organon) seluruh ilmu –-bukan hanya pengantar filsafat. Maka barangsiapa yang tidak menguasai mantik, seluruh pengetahuannya rusak dan diragukan. Singkatnya, menurut mereka, logika atau ilmu mantiq itu bukan hanya dibutuhkan, melainkan juga wajib (harus) digunakan untuk memahami teks-teks Islam. 3) Ada ulama yang tidak bersimpati, tetapi tidak secara mutlak menolak keberadaan ilmu mantiq untuk memahami teks-teks Islam. Keberadaan ulama yang berpandangan demikian diungkapkan oleh Umar M. Noor sebagai berikut: Abu Amr Ibn Shalah … mengatakan bahwa setiap orang yang otaknya cerdas otomatis berpikirnya logis tanpa harus belajar mantik. Lebih lanjut, Umar M. Noor menerangkan: Ketika sekilas saya mengamati buku “Kubra Al Yaqiniat Al Kauniah: Wujud ul-Khaliq wa Wazifat ul-Makhluq” karya Dr Said Ramadhan Al Buthi, saya menemukan sedikit peninggalan Ibn Taymiah di dalamnya. Dalam pengantar cetakan ketiga-nya, Dr Said menulis, “Apakah dalam menguraikan pembahasan akidah islamiah dalam buku ini kami berpedoman kepada filsafat Yunani dan logika formal (mantik shuri)?…Kami tidak menggunakannya sama sekali. Kami hanya menyajikan kepada pembaca dalil-dalil dan bukti-bukti yang diakui akurasinya sepanjang sejarah meski diungkapkan dengan bahasa yang berbeda-beda.” Selanjutnya, setelah menyebutkan kekurangan dan kelebihan mantik, Dr Buthi berkata, “Kami tidak berkata bahwa filsafat Yunani dan logika Aristoteles semuanya salah. Tidak ada alasan sama sekali untuk menutup mata dan pikiran darinya. Di dalamnya [ada] banyak hal yang bermanfaat, namun [ada] banyak pula yang menyulut kritikan dari para ulama dan filosof muslim. Orang yang selalu hendak membangun pemikirannya dengan dasar-dasar ilmiah harus mampu memilih yang baik dari orang lain, daripada menolaknya sama sekali.” Ini pendirian Ibn Taymiah yang mengakui adanya hal-hal positif dalam mantik, karena itu ia tidak membantah demonstrasi [logika] yang didukung premis-premis meyakinkan, meski negatifnya lebih banyak daripada positifnya. Kemudian, di pembukaan (tamhid) yang membandingkan metode ilmiah pemikir muslim dan pemikir Barat, Dr Buthi menyebutkan bahwa analisa rasional yang digunakan kaum muslimin dalam membahas sesuatu yang tidak diberitakan oleh Al Qur’an dan hadis mutawatir adalah dilalah iltizam dan qiyas ‘illat. Dan keduanya benar-benar metode alternatif yang ditawarkan Ibn Taymiah. Wallahu A’lam. Singkatnya, menurut mereka, logika atau ilmu mantiq itu kurang dibutuhkan walaupun boleh (tidak haram) digunakan untuk memahami teks-teks Islam. 4) Ada ulama yang tidak antipati, tetapi tidak secara bulat-bulat menerima keberadaan ilmu mantiq untuk memahami teks-teks Islam. Keberadaan ulama yang berpandangan demikian diungkapkan oleh Umar M. Noor sebagai berikut. Pada masa penerjemahan literatur asing atas perintah Khalifah Al Makmun (w. 218 H), buku-buku [dari Yunani] ini menarik perhatian banyak cendikiawan muslim pada saat itu hingga beberapa dekade setelahnya. Abu Nashr Al Farabi, Abu Ali Ibn Sina dan Ibn Rusyd menulis berbagai komentar dan penjelasan tentang cabang ilmu ini. Kemudian datang generasi selanjutnya yang menyempurnakan ilmu ini dengan memandangnya sebagai ilmu tersendiri, bukan hanya ilmu alat (organon), dengan menambah yang kurang dan membuang yang tidak perlu. Orang pertama yang melakukan ini adalah Imam Fajruddin bin Al Khatib lalu Afdhaluddin Khawanji. Proyek mereka sungguh sukses sehingga berhasil menenggelamkan karya tokoh-tokoh sebelumnya dan mengalahkan metode mereka. Di Indonesia, salah seorang ulama terkemuka yang tidak secara bulat-bulat menerima keberadaan ilmu mantiq untuk memahami teks-teks Islam ialah Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. naskah pidato terakhir Kyai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Kyai terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Kyai dalam pencerahan akal, yaitu: 1. pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan didasari hati yang suci; 2. akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; 3. ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt. Pandangan beliau itu dikembangkan lebih lanjut oleh ulama-ulama Muhammadiyah. Munas Tarjih di Jakarta, 5-7 Juli 2000, menghasilkan Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam yang menggunakan tiga jenis pendekatan: bayani, burhani (yang di dalamnya terkandung ilmu mantiq), dan ‘irfani. Bahwa Muhammadiyah tidak secara bulat-bulat menerima keberadaan ilmu mantiq (atau pun “alat bantu” lain) untuk memahami teks-teks Islam, kita bisa mengetahui dengan menyimak bagaimana Muhammadiyah memadukan ketiga pendekatan tersebut: Hubungan yang baik antara ketiganya adalah hubungan yang bersifat spiral, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam pemikiran keislaman, sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus bersedia memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya. Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, kesalahan, yang melekat pada masing-masing metodologi dapat dikurangi dan diperbaiki, setelah memperoleh masukan dari pendekatan bayani, burhani maupun ‘irfani. Corak hubungan yang bersifat spiral, tidak menunjukkan adanya finalitas dan eksklusivitas, lantaran finalitas –untuk kasus-kasus tertentu– hanya mengantarkan seseorang dan kelompok muslim pada jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar sesama muslim. Lebih-lebih lagi, finalitas tidak memberikan kesempatan munculnya new possibilities (kemungkinan-kemungkinan baru) yang barangkali lebih kondusif untuk menjawab persoalan-persoalan keislaman kontemporer. Jadi, logika atau ilmu mantiq itu sangat dibutuhkan sebagai “alat bantu” untuk memahami teks-teks Islam, supaya kita terjaga dari kesalahan-berpikir atau sesat-pikir (fallacy) dan terjaga dari debat-kusir atau jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar sesama muslim. 1.4. Kadar Logika/Rasionalitas Berikut beberapa aspek yang harus diperhatikan kadar logika/rasionalitasnya. 1. Logika dari segi pengetahuan umum, atau pengetahuan di bidang tertentu Contoh: Beberapa tahun lalu, saya pernah membaca sebuah cerpen. Di dalamnya ada cerita tentang seorang tukang pos yang mengantar surat KILAT KHUSUS dengan mengendarai SEPEDA. Nah, ini adalah contoh yang tidak logis. Coba kita tanyakan pada kantor pos terdekat. Mereka akan menjawab, “Surat kilat khusus biasanya diantar dengan motor. Yang diantar dengan sepeda adalah surat dengan perangko biasa.” 2. Logika dari segi psikologis Contoh: Ada seorang gadis remaja berusia 17 tahun yang sangat menikmati dunianya. Ia sama sekali belum berpikir untuk menikah, karena ia merasa masih terlalu muda. Hubungannya dengan kedua orang tuanya pun tidak terlalu dekat. Lalu suatu ketika, ibunya menyuruh dia menikah dengan seorang kakek-kakek berusia 70 tahun. Dengan serta merta tanpa ba bi bu, si remaja langsung mengiyakan. Tak ada penolakan sedikit pun. Nah, benar-benar aneh, bukan? Apakah tak ada konfilik bathin sedikit pun dari si gadis? Kenapa ia mau menuruti begitu saja perintah ibunya, padahal hubungan dia dengan kedua orang tuanya tidak terlalu dekat? 3. Logika dari segi konsistensi Misalnya: di bagian awal disebutkan bahwa si Ali suka baju warna merah. Tapi di bagian tengah disebutkan, si Ali mentertawakan temannya yang pakai baju warna merah. 4. Logika yang berhubungan dengan karakter tokoh Misalnya: Kita menceritakan tentang tokoh Budi yang penyabar. Tapi di dalam ceritanya, kita sering menggambarkan adegan si Budi yang marah dan ngamuk-ngamuk. Tentu sangat lucu, kan? (*) Penjelasan lebih detil dapat dibaca di sini. Memang, kondisi seperti ini bisa saja terjadi, tapi seharusnya ada “hubungan sebab akibat” di balik keanehan itu. Dan sebagai penulis yang baik, kita harus membuat penjelasan yang memadai mengenai hal ini di dalam cerita kita, agar pembaca tidak bertanya-tanya. 5. Logika yang berhubungan dengan setting cerita Misalnya: Dalam sebuah cerita, dikisahkan tentang seorang tokoh yang jalan-jalan di tengah kota Jakarta yang sedang musim salju. Nah, dari mana ceritanya, di jakarta kok bisa ada musim salju? Ini adalah salah satu contoh yang ekstrim. Dalam penulisan cerita, mungkin kita bisa melakukan kesalahan seperti ini, walau dalam porsi yang sangat kecil. 6. Logika dari segi hubungan sebab akibat Misalnya: Ada orang yang tidak pernah bergaul, tidak melakukan apapun, tapi tiba-tiba menjadi presiden. Tentu tidak masuk akal, bukan? Jadi, kita harus membuat cerita yang mengandung unsur “sebab akibat” yang jelas. Ketika kita menceritakan tokoh yang diangkat jadi presiden, tentu kita harus menceritakan juga mengenai hal-hal apa saja, atau cerita masa lalunya, yang menyebabkan dia akhirnya diangkat jadi presiden. 7. Logika dari segi kewajaran cerita Contoh: Ada dua orang sahabat - si A dan B - yang sudah seperti saudara. Mereka satu sekolah dan satu kelas. Suatu hari, si A mematahkan pensil si B. Pensil itu sebenarnya biasa-biasa saja, si B pun tidak terlalu suka pada pensil itu. Tapi gara-gara kejadian ini, si B marah besar pada si A. Ia mengatakan hubungan persahabatan mereka lebih baik diakhiri saja. Mereka pun musuhan selamanya, hingga akhir hayat. Wah, sebuah cerita yang sangat mengada-ada, bukan? Hanya gara-gara masalah sepele, hubungan persaudaraan menjadi berantakan. Ini tentu sangat tidak logis. Di dalam menulis cerita, tentu kita bebas menulis konflik atau masalah apa saja. Tapi buatlah konflik atau masalah yang wajar dan masih bisa diterima secara logika. Referensi o Pengantar Logika. Asas-asas penalaran sistematis. Oleh Jan Hendrik Rapar. Penerbit Kanisius. ISBN 979-497-676-8 o Logika Selayang Pandang. Oleh Alex Lanur OFM. Penerbit Kanisius 1983. ISBN 979-413-124-5 o Umar M. Noor, “Menimbang Mantik: Antara Al Ghazali dan Ibn Taymiah” o Mohamad Ali dan Marpuji Ali, “Filsafat Pendidikan Muhammadiyah“ o MT-PPI PP Muhammadiyah, “Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam“