Free Widgets

Jumat, 13 Agustus 2010

TAFSIR AYAT TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA AL-BAQARAH AYAT 221

1) Ayat dan Terjemahannya : Firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 221.
وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ َلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَـئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. 2) Kosa Kata : لا تنكحواالمشـركات : أي لا تتزوّجواالوثنيـات. والمشركة هي التى تعبد الأوثـان, وليس لهـا دين سماوى ومثلهـاالمشرك. أمة مؤمنة : المملوكة بملك اليمين وهي تقابل الحرة. 3) Sabab al-Nuzul Ayat. 1) Diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan pada Murtsid ibn Abi Murtsid al-Ghanawiy yang membawa tawanan perang dari Makkah ke Madinah. Pada zaman Jahiliyah ia berhubungan baik dengan seorang perempuan yang bernama ’Anaq, kemudian perempuan itu mendatanginya (di Madinah) dan berkata : ”Tidakkah engkau berduaan (dengan saya)?”. Murtsid menjawab : ”Celakalah engkau, mengapa engkau berkata demikian sesungguhnya Islam telah memisahkan antara kita”. Lalu perempuan itu berkata : ”Tidakkah engkau akan menikah dengan saya?”. Murtsid menjawab : ”Ya, akan tetapi saya akan kembali (dulu) kepada Rasulullah SAW”. Kemudian saya meminta pendapat/izin pada beliau, maka turunlah ayat di atas. 4) Tafsir Ijmaly Jumhur Ulama menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: • Menikahi wanita musyrikah hukumnya haram bagi orang mu’min kecuali ia telah beriman. Demikian pula hukumnya bagi wanita mu’minah. • Orang musyrik/musyrikah adalah orang yang menyembah berhala. • Ahli al-Kitab tidak termasuk dalam golongan orangmusyrik/musyrikah. Oleh karena itu, boleh laki-laki muslim menikah dengan wanitakitabiyah, karena ayat 221 al-Baqarah telah di-takhsish dengan ayat 5 surah al-Maidah.
تُنْكَحُ المًْرْأًةُ ِلأًرْبَعٍ : لِمَـالِهَا وَلِنَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا, فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. رواه البخارى ومسلم وأبوداود والنسائ وابن ماجه عن أبى هريرة
Artinya : ”Wanita dinikahi karena empat hal : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama, niscaya kamu beruntung”. (H. R. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَـةُ. (رواه مسلم عن عمر)
5) Tafsir Tafsily Sehubungan dengan hukum perkawinan pria dan muslim dengan wanita ahli kitab tersebut, Jumhur Ulama mengatakan bahwa Ibnu ’Umar berdasarkan riwayat Ibnu Abi Hatim menghukumkan makruh pria muslim menikahi wanita ahli kitab. Ibnu ’Umar menafsirkan ayat :
وَلاَ تَنْكِحُواالْمُشْرِكَـاتُ حَتَّى بُؤْمِنَّ ........
Artinya : ”Dan janganlah menikahi wanita musyrikah sehingga mereka beriman”. Al-Bukhari mengatakan, Ibnu ’Umar berkata : ”Saya tidak mengetahui syirik yang lebih besar dari seorang wanita yang mengatakan-Tuhannya adalah ’Isa-”. menyebutkan pula atsar, antara lain riwayat Ibnu Jarir dari Zaid ibn Wahab, ia berkata bahwa Umar ibn Khaththab berkata : اَلْمُسْلِمُ يَتَزَوَّجُ النَّصْرَانِيَّةَ وَلاَيَتَزَوَّجُ النَّصْرَانِىُّ الْمُسْلِمَةَ Artinya : ”Laki-laki muslim boleh menikahi wanita Nashraniyah, sedangkan laki-laki Nashrani tidak boleh menikahi wanita muslimah”. Selain atsar tersebut, Jumhur Ulama menyebutkan pula sebuah riwayat dari Jabir ibn Abdillah, bahwa Rasulullah SAW. bersabda : نَتَزَوَّجُ نِسَاءَ أَهْلِ اْلكِتَابِ وَلاَ يَتَزَوَّجُوْنَ نِسَاءَناَ Artinya : ”Kita boleh menikahi wanita-wanita ahli kitab, namun kaum laki-laki mereka tidak boleh menikahi wanita kita (wanita Islam) Berdasarkan ayat 221 al-Baqarah tersebut di atas serta ayat 10 surah al-Mumtahanah dan Hadis sertaatsar tersebut di atas, maka Jumhur Ulama sepakat mengharamkan nikah wanita muslimah dengan pria non-muslim dari ahli kitab, sebagaimana mereka sepakat mengharamkan nikah pria atau wanita dengan non-muslim dari orang musyrik atau musyrikah kecuali nikah pria muslim dengan wanita ahli kitab, ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Ibnu ’Umar mengatakan haram, sedangkan Jumhur Ulama mengatakan boleh tetapi makruh dan sebaiknya tidak dilaksanakan. Undang-Undang Perkawinan di Indonesia No. I tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Pasal 40.C dikatakan dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria (Islam) dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Begitu pula sebaliknya pada Pasal 44 disebutkan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. MUI pada MUNAS-nya tahun 1980 M/1400 H telah memfatwakan bahwa perkawinan wanita muslimah dengan pria non-muslim adalah haram hukumnya. Begitu pula sebaliknya, seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita non-muslimah, Sadd Li al-Dzari’ah. 6) Tafsir Kontekstual Tentang Ayat Diatas Pernahkan anda melihat pasangan tetangga anda, yang menganut agama yang berbeda (dalam konteks ini, salah satunya adalah Muslim), menjalani hidup mereka sehari-hari dengan penuh ketenteraman, saling menghargai, saling mengasihi selama bertahun-tahun, tidak terdengar adanya konflik yang berarti, jarang bertengkar, demikian juga dengan anak-anak mereka, dari kecil dididik untuk tenggang rasa, penuh toleransi dan setelah dewasa diberi kebebasan penuh untuk memilih keyakinannya sendiri. Anak-anak tersebut tumbuh menjadi seorang penganut agama yang toleran dan punya kemampuan menghargai kepercayaan lain yang berbeda. Sedangkan anda sendiri, sekalipun pasangan anda sama-sama penganut Islam, termasuk kategori taat beribadah, tapi sering terlibat pertengkaran (ukuran sering atau tidaknya tentu tergantung anda sendiri) sehingga rumah serasa neraka, punya anak-anak bandel yang shalat wajibnya bolong-bolong. Memang lumrahnya sebuah rumah tangga, pertengkaran dan kasih sayang, cinta dan marah, bahagia dan susah, selalu datang silih berganti, tapi ketika anda menengok tetangga anda, si pasangan beda agama yang rukun, mungkin muncul pertanyaan, apakah Islam bisa menjamin terciptanya rumah tangga yang berbahagia?? Mengapa justru pernikahan beda agama terlihat punya potensi untuk menumbuhkan sikap toleran dan saling menghargai perbedaan..?? Aturan Allah terkait pernikahan antara Muslim/Muslimat dengan calon pasangan yang mempunyai agama lain, terdapat dalam Surat Al Baqarah ayat 221 : 221. Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mumin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu�min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu�min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnnya ayat Al-Qur�an) dari surat Al Baqarah 221 tersebut diriwayatkan dalam hadist, yaitu ketika seorang sahabat Abdilah bin Rawahah, datang kepada Rasulullah menceritakan perbuatannya yang telah memukul hamba perempuannya yang hitam kelam dan jelek karena marah, dia merasa menyesal dan meminta petunjuk Rasulullah. Rasulullah bertanya : �Bagaimana keadaan hamba sahaya tersebut..?�, Abdilah menjawab bahwa budaknya itu seorang muslimah yang ta�at,. Rasulullah kembali berkata :�Wahai Abdilah, dia itu adalah seorang yang beriman�. Maka Abdilah menimpali :�Demi Zat yang mengutusmu dengan hak, aku akan memerdekakannya dan menikahinya..�. Peristiwa tersebut memancing penghinaan dan rasa sinis dari masyarakat, karena menganggap Abdilah menikahi budaknya yang hina dan jelek. Sehubungan dengan hal tersebut turunlah wahyu Allah. Seiring dengan itu Nabi Muhammad SAW bersabda :�Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, sebab kecantikan itu akan sirna. Janganlah kamu menikahi wanita karena hartanya, karena suatu sa�at harta tersebut bisa menyesatkan. Nikahilah wanita karena agamanya. Seorang hamba sahaya yang hitam kelam dan jeles parasnya lebih utama sepanjang dia beriman kepada Allah�. Bukhari Muslim meriwayatkan hadist :�Wanita dinikahi karena empat perkara : karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah yang mempunyai agama, tentu kamu berbahagia�. Dari Asbabun Nuzul dan hadist Nabi diatas, terlihat bahwa larangan Allah dan anjuran Rasulullah untuk tidak menikahi wanita musyrik, bukanlah merupakan larangan yang ditujukan secara khusus, tapi lebih sebagai pembanding, bahwa dalam ajaran Islam seorang budak wanita yang beriman dan ta�at, dinilai lebih baik dari pasangan anda yang musyrik. Sebaliknya bagi wanita muslimah, pernyataan Allah tersebut lebih ditujukan kepada walinya, bukan kepada orangnya, ini menunjukkan bahwa dalam menjalankan ajaran ini, pihak wali-lah yang dituntut untuk berperan dalam menerapkannya. Allah terlihat �mengerti betul� bahwa dalam kasus-kasus pernikahan beda agama, masalahnya sangat kompleks karena banyak menyangkut soal perasaan, cinta dan kasih sayang, suatu hal yang pada dasarnya sering diluar kontrol manusia, makanya secara keseluruhan redaksi ayat itu terkesan bersifat �mengingatkan�, dan diakhiri dengan : Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran, Allah seolah-olah mau mengatakan : �Inilah perintah-Ku, pikirkanlah baik-baik..�. Aturan ini sebenarnya sangat jelas, yaitu memakai kata �janganlah�, artinya jangan itu : dilarang, tidak boleh, tidak diizinkan. Namun ketika sampai kepada penafsiran �orang-orang musyrik� laki-laki dan wanita, maka muncul perbedaan penafsiran. Umumnya para ulama menyatakan orang musyrik itu adalah yang beragama selain Islam, sedangkan dipihak �sono� dimotori oleh pemikir-pemikir Islam penganut liberalisme dan pluralisme, �mempertajam� istilah orang musyrik ini adalah �kaum musyrik yang bersikap memusuhi Islam� ibaratnya musyrik Makkah pada waktu ayat tersebut diturunkan, seperti pernyataan dibawah ini : Kalaupun ada larangan PBA (Pernikahan Beda Agama), persoalannya bukan an sich masalah agama. Ada kategori dan variable-variabel sosial yang terkait dalam penafsiran yang bersifat teologis. Memang, ada ayat yang mengatakan, �Janganlah menikahi orang-orang musyrik� (lihat, QS. 2: 221, Red). Dalam bahasa Arab, kosakata al-musyrik�t itu menunjuk pada barang atau komunitas tertentu (al-ma�rifah). Ini bukan nakirah, tapi menunjuk pada komunitas tertentu yang ditentang. Al-musyrik�t itu kategori sosial, bukan hanya persoalan teologi yang berarti orang yang tidak bertuhan.__Nah, saya kira, orang musyrik yang disinggung dalam ayat itu merupakan gambaran orang-orang Quraisy Mekkah yang sangat agitatif terhadap komunitas umat Islam yang saat itu baru terbentuk. Kita bisa bayangkan, kalau begitu sengit permusuhannya terhadap Islam, bagaimana mungkin kita akan menjadikannya sebagai pasangan hidup? Isu yang paling mendasar dari larangan PBA adalah masalah sosial-politik. Hanya saja, ketika yang berkembang kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya larangan PBA itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir teologis (Drs. Nuryamin Aini, MA: Fakta Empiris Nikah Beda Agama 22/06/2003 Error! Hyperlink reference not valid. Marilah kita coba memikirkan ajaran Islam secara sederhana saja bahwa Allah menyampaikan petunjuk-Nya dalam Al-Qur�an bertujuan untuk pedoman kita dalam menjalani kehidupan, termasuk mengatur hubungan antar manusia. Bisa saja secara redaksional aturan tersebut �direkam� melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi diseputar Rasulullah, namun �bunyi� aturan tersebut tetaplah terdengar sama sampai sekarang. Menafsirkan ayat dengan memilah-milahnya berdasarkan dimensi dan konteks tertentu (seperti kategori sosial dan teologis) bisa menjadi cara �yang terlalu pintar� dan membuahkan hasil berupa pengertian yang jauh dari bunyi teksnya. Rasanya �lebih aman� kalau dalam menafsirkan perintah dan larangan Allah, kita selalu terfokus kepada �apa yang sebenarnya diinginkan Allah� bukan kepada 'apakah ada peluang atau kemungkinan lain dari larangan Allah tersebut' sehingga kita bisa mengarahkan nurani dan pikiran kita untuk menangkapnya secara utuh, dan menutup sebisa mungkin �lobang-lobang� penafsiran yang meragukan. Cara-cara pemilahan aspek terhadap ajaran Allah mungkin terkesan merupakan sikap yang �mengakali� ajaran-Nya. Dalam surat Al Baqarah ayat 221 tersebut dimulai dengan kata : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Marilah kita tanya Al-Qur�an, apa maksudnya dengan kata �musyrik� dan apa artinya dengan kata �beriman�. 135. Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk". Katakanlah: "Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik". (Al Baqarah) 67. Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik." 68. Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. (Ali Imran) 83. Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. 84. Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma�il, Ishaq, Ya�qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, �Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri." 85. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran) Secara arti kata, �musyrik� atau �syirik� adalah �mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu�, jadi seseorang yang percaya adanya Tuhan selain, atau bersama Allah, dinamakan dengan musyrik, maka seorang penganut Kristen yang percaya Trinitas, digolongkan sebagai musyrik. Ternyata para ulama Islam berbeda pendapat dengan istilah ini, karena adanya sebutan Allah untuk kelompok orang-orang yang telah diturunkan kitab, yaitu Taurat, Zabur dan Injil, dengan panggilan �Ahli Kitab� dan dalam surat Al Maaidah ayat 5 dinyatakan : 5. Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi Dalam prakteknya ditemukan bahwa banyak juga dari sahabat Rasulullah yang melakukan pernikahan beda agama ini, diantaranya Usman bin Affan yang menikahi wanita Kristen, sekalipun pada akhirnya istrinya tersebut masuk Islam. Thalhah bin Zubair juga tercatat menikahi wanita Yahudi. Namun soal �Ahli Kitab� ini ada baiknya kita simak ayat-ayat dibawah : 105. Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al Baqarah) 1. Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, (Al Bayyinah) Yang menarik adalah antara kedua ayat tersebut orang musyrik digolongkan kepada �orang kafir�, namun Ahli Kitab mempunyai dua pengertian, yaitu : �orang-orang kafir yakni Ahli Kitab�, menunjukkan bahwa Ahli Kitab adalah orang kafir, dan dalam Al Baqarah 105, �orang-orang kafir dari Ahli Kitab� menunjukkan bahwa tidak semua Ahli Kitab digolongkan sebagai �al kaafiruun�. Ini diterangkan oleh ayat Al-Qur�an yang lainnya : 110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma�ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Ali Imran) 113. Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). (Ali Imran) 199. Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya. (Ali Imran) Jadi apabila Al-Qur�an menyatakan adanya �Ahli Kitab yang bukan kafir� diindikasikan dengan sikap mereka sesuai apa yang ada dalam ayat diatas, yaitu ; beriman kepada Allah, berlaku lurus, membaca ayat-ayat Allah, sembahyang, tidak menukar ayat-ayat Allah, dll. Diluar itu maka Ahli kitab tersebut termasuk golongan �orang kafir�, segolongan dengan orang musyrik. Ustadz Quraish Shihab dalam Tafsir Al Mishbah mengibaratkan penyebutan dengan istilah korupsi dan mencuri, Walau substansinya sama, yaitu mengambil sesuatu yang bukan haknya, namun dalam penggunaannya, korupsi biasanya dilakukan oleh pegawai kepentingan publik, sedangkan mencuri disematkan kepada yang �non pegawai�. KESIMPULAN 1. Menikah lebih baik kepada orang yang seiman. 2. Menikahi orang yang beda agama haram, kecuali ahlul kitab. DAFTAR PUSTAKA • Al-qur,an dan terjemah. • Qurais Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002. • Prof. Dr. Hamka, Tafsir al-Azhar, Pustaka Nasional Singapura, 2003. • Sayyid Qutub, Tafsir Fidzilail Qur’an, Gema Insani Press Jakarta, 1992. • Mudjab Mahali, Asbabun Nujul Studi Pemahaman al-Qur’an, Grafindo Persada Jakarta 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan bubuhkan komentar anda