Free Widgets

Selasa, 12 Januari 2010

NASIONALISME

A. Pengertian Nasionalisme

Nasionalisme berasal dari kata ‘nation’ (Inggris) yang berarti bangsa. Ada beberapa tokoh mengemukakan tentang pengertian Nasionalisme, yaitu:

  1. Menurut Ernest Renan: Nasionalisme adalah kehendak untuk bersatu dan bernegara.
  2. Menurut Otto Bauar: Nasionalisme adalah suatu persatuan perangai atau karakter yang timbul karena perasaan senasib.
  3. Menurut Hans Kohn, Nasionalisme secara fundamental timbul dari adanya National Counciousness. Dengan perkataan lain nasionalisme adalah formalisasi (bentuk) dan rasionalisasi dari kesadaran nasional berbangsa dan bernegara sendiri. Dan kesadaran nasional inilah yang membentuk nation dalam arti politik, yaitu negara nasional.Untuk lebih jelas lagi perlu kita perhatikan beberapa definisi nasionalisme berikut ini!
  4. Menurut L. Stoddard: Nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki oleh sebagian terbesar individu di mana mereka menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan memiliki secara bersama di dalam suatu bangsa.

Menurut Dr. Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics

mengemukakan empat unsur nasionalisme, yaitu:

  1. Hasrat untuk mencapai kesatuan.
  2. Hasrat untuk mencapai kemerdekaan.
  3. Hasrat untuk mencapai keaslian.
  4. Hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa.

Dari definisi itu nampak bahwa negara dan bangsa adalah sekelompok manusia yang:

a. memiliki cta-cita bersama yang mengikat warga negara menjadi satu kesatuan;

b. memiliki sejarah hidup bersama sehingga tercipta rasa senasib sepenanggungan;

c. memiliki adat, budaya, dan kebiasaan yang sama sebagai akibat pengalaman

hidup menempati suatu wilayah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah; dan sama;

d. teroganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat sehingga mereka terikat dalam suatu masyarakat hukum.

Bukan hanya Bangsa barat yang memberikan pengertian Nasionalisme, tapi Para Ulama Islam pun ada yang mendefinisikan Nasionalsime. Diantaranya Adalah:

1. Hasan Al-Banna menguraikan nasionalisme seperti berikut: Nasionalisme Dibangun atas dasar empat prinsip yaitu kerinduan, kehormatan, kebebasan, kerakyatan dan pembebasan.

2. Dr. Ali Yafi’ di dalam bukunya “Ahammiyatul Jihad”, beliau menulis: “Nasionalisme merupakan bentuk pengkultusan kepada suatu bangsa ( tanah air yang diaplikasikan dengan memberikan kecintaan dan kebencian kepada seseorang berdasarkan pengkultusan tersebut, ia berperang dan mengorbankan hartanya demi membela tanah air belaka ( walaupun dalam posisi salah ), yang secara otomatis akan menyebabkan lemahnya loyalitas kepada agama yang dianutnya, bahkan menjadi loyalitas tersebut bisa hilang sama sekali”[1]

3. Menurut DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A, Nasionalisme adalah sebuah faham yang membentuk loyalitas berdasarkan kesatuan tanah air, budaya dan suku.

Bahkan Nasionalisme menurut Rashid Rida harus didasarkan atas kesamaan agama, yakni agama Islam, bukan kesamaan etnis dan bahasa. Akan tetapi, ia tidak mengabaikan kerja sama dengan golongan non Islam dengan syarat tidak melalaikan ajaran Islam. Oleh karena itu, ia menginginkan Khilafah harus tetap dipertahankan untuk menggalang kekuatan dan mempersatukan umat Islam.

B. Sejarah Timbulnya Nasionalisme (Versi Islam)

Munculnya faham nasionalisme berawal dari munculnya fanatik golongan, fanatik ini muncul bersamaan dengan munculnya makhluk yang bernama manusia. Mungkin fenomena tersebut belum begitu nampak pada keluarga “Adam” alaihissalam, yang merupakan cikal bakal umat manusia. Karena jumlah keturunannya yang masih sedikit waktu itu. Walaupun begitu, isyarat akan menambah wabah “fanatik golongan” di anak keturunannya nampak jelas ketika terjadi percekcokan antara dua putra Adam yang mengakibatkan tumpahnya darah manusia pertama kali di bumi persada ini, sebagaimana yang telah digambarkan Allah di dalam surat al-Maidah ayat: 27-31.

Perselisihan antar anggota keluarga itu terulang kembali di dalam skala yang lebih besar, yaitu ketika adanya suatu usaha pembunuhan yang dilakukan oleh saudara-saudara Yusuf. Sejarah yang diabadikan al Quran di dalam satu surat tersebut, menggambarkan bagaimana bahaya sebuah kedengkian yang muncul dari perasaan bangga terhadap sebuah kelompok. Hanya karena berbeda ibu, mereka menyimpan kebencian yang sangat kepada saudaranya yang tidak berdosa itu. Api perselisihan di lingkungan keluarga itu akhirnya membesar dan berpindah kepada tingkat kesukuan dan kebangsaan.

Fir’aun dan bala tentaranya yang berusaha untuk memusnahkan etnis Bani Israel dari bumi Mesir adalah salah satu contoh dari drama kehidupan masyarakat yang terjebak didalam fanatik kelompok dan kesukuan. Setiap bayi laki-laki yang lahir tidak diberinya kesempatan untuk bernafas lebih lama di negara lembah Niel tersebut. Peristiwa tragedi kemanusiaan tersebut mewarnai banyak lembaran-lembaran di dalam al qur’an. Permusuhan itu tak kunjung padam sampai diutusnya Nabi Musa As untuk merubah pertarungan etnis tersebut menjadi pertarungan antara al haq dan al bathil.

Kefanatikan kadang-kadang membuat seseorang kehilangan akal, membabi buta, mengumbar hawa nafsu bahkan mengantarnya pada derajat kebinatangan. Sifat inilah yang akhirnya mendominasi kehidupan bangsa Arab pada masa jahiliyah. Salah satu buktinya seperti yang diungkapkan ibnu Katsir di dalam bukunya “Bidayah wa Nihayah”, tentang terjadinya peperangan antara bani Khoza’ah dan Jarhamiyin yang tak pernah kunjung padam di dalam memperebutkan ka’bah.[2]

Sementara itu di Yatsrib al Madinah an Nabawiyah, Auz dan Khozroj yang merupakan dua kabilah besar tak pernah berhenti berperang. Beratus-ratus jiwa berjatuhan setiap saat, sampai datangnya Islam menyatukan mereka kembali. Allah berfirman:

واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا واذكروا نعمة الله عليكم إذ كنتم أعداء فألف بين قلوبكم فأصبحتم بنعمته إخوانا وكمنتم على شفا حفرة من النار فأنقذكم منها كذلك يبين الله لكم أياته لعلكم تهتدون

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”.

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, bahwa ayat ini diturunkan kepada Auz dan Khozroj, ketika seorang yahudi berusaha mengobarkan api kedengkian dan perpecahan antara dua kabilah tersebut, dengan mengungkit-ungkit masalah-masalah yang telah silam pada waktu jahiliyah. Tatkala berita itu sampai pada Rosulullah saw. saw, bergegaslah beliau menuju tempat bertemunya dua kelompok tersebut untuk memadamkan api perpecahan itu, sebelum berubah menjadi pertumpahan darah seraya berseru: “Apakah kalian akan mengobarkan faham Jahiliyah, padahal saya masih berada diantara kalian?”. Kemudian Rosulullah saw. saw. Membaca ayat tersebut.[3]

Tidak menutup kemungkinan, perasaan bangga terhadap kesukuan tersebut, suatu saat akan timbul didalam kehidupan para sahabat, baik ketika Rosulullah saw. saw. masih berada di tengah-tengah mereka, seperti kejadian diatas maupun setelah wafatnya Rosulullah saw. saw, seperti pada peristiwa di Saqifa Bani Sa’ad, ketika terjadi klies antara Muhajirin dan Anshor di dalam menentukan kholifah pengganti Rosulullah saw. saw.[4]

Namun pemahaman jahiliyah tersebut cepat hilang lagi, manakala mereka diingatkan lagi kepada kebenaran. Dengan demikian nasionalisme tidak sempat berkembang di kalangan sahabat, sebuah potret masyarakat yang telah ditempa di madrasah Rosulullah saw.

Namun sangat disayangkan sekali, keadaan tersebut tidak berlangsung lama. Faham nasionalisme itu mulai berkembang lagi pada generasi sesudahnya, tepatnya sejak berakhirnya Khulafaur Rosyidin, kemudian semakin hari semakin bertambah. Dan prosentasinya memuncak pada hari ini. Penyakit inilah yang akhirnya mengantarkan pada runtuhnya daulah Umamiyah dan Daulah Abasiyah, yang di kemudian hari akan menyebabkan ambruknya khilafah Islamiyah pada abad XX.

Rahasia keruntuhan Khilafah-khilafah Islamiyah tersebut pernah ditulis Abul A’la Al Maududi di dalam bukunya “Islamul Yaum”. Tokoh pemikir Islam yang produktif tersebut mengatakan :

Bahwa penyakit kronis ini menyebabkan hancurnya Daulah Umawiyah dan menjadi pemicu perpecahan antara kabilah-kabilah Arab waktu itu, dan karenanya pula runtuhlah pondasi Daulah Umawiyah yang berada di Andalus begitu juga yang menyebablan rontoknya wilayah Islamiysh Haidar Abad di India.”[5]

Versi Barat

Dalam sejarah, nasionalisme bermula dari benua Eropa sekitar abad pertengahan. Kesadaran berbangsa dalam pengertian nation-state dipicu oleh gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman[6]. Saat itu, Luther yang menentang Gereja Katolik Roma menerjemahkan Perjanjian Baru kedalam bahasa Jerman dengan menggunakan gaya bahasa yang memukau dan kemudian merangsang rasa kebangsaan Jerman. Terjemahan Injil membuka luas penafsiran pribadi yang sebelumnya merupakan hak eksklusif bagi mereka yang menguasai bahasa Latin, seperti para pastor, uskup, dan kardinal. Implikasi yang sedikit demi sedikit muncul adalah kesadaran tentang bangsa dan kebangsaan yang memiliki identitas sendiri. Bahasa Jerman yang digunakan Luther untuk menerjemahkan Injil mengurangi dan secara bertahap menghilangkan pengaruh bahasa Latin yang saat itu merupakan bahasa ilmiah dari kesadaran masyarakat Jerman. Mesin cetak yang ditemukan oleh Johann Gothenberg turut mempercepat penyebaran kesadaran bangsa dan kebangsaan. Hal ini penting dicatat mengingat pada sekitar tahun yang sama (1518—1521) Majapahit mengalami kehancuran yang disebabkan oleh pemberontakan daerah-daerah dan kemerosotan internal kerajaan. Majapahit pada masanya merupakan kerajaan besar yang menguasai sebagian besar wilayah yang saat itu disebut Nusantara. Namun kebesaran ini tidak memunculkan kesadaran berbangsa, dalam arti modern. Hal itu disebabkan tidak adanya alat percetakan yang mengakselerasi penyadaran massal seperti yang terjadi di Jerman.

Namun demikian, nasionalisme Eropa yang pada kelahirannya menghasilkan deklarasi hak-hak manusia berubah menjadi kebijakan yang didasarkan atas kekuatan dan self interest dan bukan atas kemanusiaan[7]. Dalam perkembangannya nasionalisme Eropa berpindah haluan menjadi persaingan fanatisme nasional antar bangsa-bangsa Eropa yang melahirkan penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat itu belum memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme) di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

Fakta ini merujuk pada dua hal: (1) ledakan ekonomi Eropa pada masa itu yang berakibat pada melimpahnya hasil produksi dan (2) pandangan pemikir Italia, Nicolo Machiaveli, yang menganjurkan seorang penguasa untuk melakukan apapun demi menjaga eksistensi kekuasaannya. Dia menulis:

“Bila ini merupakan masalah yang mutlak mengenai kesejahteraan bangsa kita,maka janganlah kita menghiraukan keadilan atau ketidakadilan, kerahiman dan ketidakrahiman, pujian atau penghinaan, akan tetapi dengan menyisihkan semuanya menggunakan siasat apa saja yang menyelamatkan dan memelihara hidup negara kita itu”[8].

Nasionalisme yang pada awalnya mementingkan hak-hak asasi manusia pada tahap selanjutnya menganggap kekuasaan kolektif yang terwujud dalam negara lebih penting daripada kemerdekaan individual. Pandangan yang menjadikan negara sebagai pusat merupakan pandangan beberapa beberapa pemikir Eropa saat itu, diantaranya Hegel. Dia berpendapat bahwa kepentingan negara didahulukan dalam hubungan negara-masyarakat, karena ia merupakan kepentingan obyektif sementara kepentingan masing-masing individu adalah kepentingan subyektif. Negara adalah ideal (geist) yang diobyektifikasi, dan karenanya, individu hanya dapat menjadi sesuatu yang obyektif melalui keanggotaannya dalam negara. Lebih jauh dia menyatakan bahwa negara memegang monopoli untuk menentukan apa yang benar dan salah mengenai hakikat negara, menentukan apa yang moral dan yang bukan moral, serta apa yang baik dan apa yang destruktif[9].

Hal ini melahirkan kecenderungan nasionalisme yang terlalu mementingkan tanah air (patriotisme yang mengarah pada chauvinisme), yang mendorong masyarakat Eropa melakukan ekspansi-ekspansi ke wilayah dunia lain. Absolutisme negara dihadapan rakyat memungkinkan adanya pemimpin totaliter, yang merupakan bentuk ideal negara yang dicitakan Hegel, sebuah monarki[10]. Totaliterianisme yang dianjurkan oleh filsafat negara Hegel dapat menggiring sebuah pemerintahan menjadi pemerintahan yang fasis. Fasisme adalah doktrin yang mengajarkan kepatuhan mutlak terhadap perintah dalam semua aspek kehidupan nasional. Dalam sejarahnya, fasisme terkait erat dengan rasisme yang mengunggulkan sebagian ras (suku) atas sebagian yang lain.

Menurut Hugh Purcell (2000:11) nasionalisme dan rasisme merupakan gambaran paling terkenal dari fasisme pada tahun 1930-an. Rasisme memiliki kaitan erat dengan nasionalisme. Keduanya berbeda pada penekanan. Rasisme menekankan superioritas suku dan nasionalisme menekankan keunggulan bangsa (komunitas terbayang yang lebih besar dari suku). Manusia nasionalis adalah seseorang dengan kebanggaan terhadap bangsanya yang kadang diungkapkan dengan cara berlebihan. Nasionalisme dan rasisme memiliki keserupaan dalam hal pengunggulan dan kebanggaan terhadap sesuatu yang secara alamiah melekat pada setiap manusia. Yang pertama kebanggaan terhadap bangsa sistem pemerintahan, suku, dan budaya. Yang kedua kebanggaan terhadap suku.

C. Titik Temu Antara Nasionalisme Dengan Islam

Kalau nasionalisme dalam artian nasionalisme yang mengarah chauvinisme, nasionalisme gaya masyarakat Inggris, ‘right or wrong england is my country’, maka jelas Islam tidak mentolerir sikap seperti ini.

Tapi kalau yang dimaksud nasionalisme adalah sikap cinta pada tempat di mana kita berada, dan diikuti dengan semangat membangun, maka sikap itu mengadopsi semangat Islam yang mencintai kebaikan.

Hasan Al-Banna menguraikan nasionalisme seperti berikut:

”Nasionalisme Dibangun atas dasar empat prinsip yaitu kerinduan, kehormatan, kebebasan, kerakyatan dan pembebasan”.

Pertama, nasionalisme kerinduan, artinya, rasa cinta tanah air, keberpihakan padanya dan kerinduan yang terus menggebu terhadapnya yang merupakan fitrah yang sudah tertanam dalam diri manusia. Sebagaimana Bilal yang telah mengorbankan segalanya demi aqidahnya, adalah juga Bilal yang suatu ketika di negeri Hijrah menyenandungkan bait-bait puisi kerinduan yang tulus terhadap tanah asalnya, Mekah.

Kedua, nasionalisme kehormatan dan kebebasan. Maksudnya adalah keharusan berjuang membebaskan tanah air dari cengkeraman imperialisme, menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putera-puteri bangsa.

Ketiga, nasionalisme kemasyarakatan Adalah, memperkuat ikatan kekeluargaan antara anggota masyarakat atau warga negara serta menunjukan kepada mereka cara-cara memanfaatkan ikatan itu untuk mencapai kepentingan bersama.

Keempat, nasionalisme pembebasan. Yaitu membebaskan negeri-negeri lain dan menguasai dunia, dimana inipun telah diwajibkan oleh Islam. Islam bahkan mengarahkan para pasukan pembebas untuk melakukan pembebasan paling berbekas.

Nasionalisme seperti ini yang akan membawa sebuah bangsa maju tanpa harus tersekat dengan batasan geografis, tidak eksklusif dengan pemahaman kelompok yang sempit, tidak menghilangkan rasa kepedulian mereka terhadap permasalahan bangsa lain.

D. Nasionalisme Dalam Perspektif Islam

Islam bagi pemeluknya bukan saja menjadi agama dalam pengertian studi Barat namun ia juga sistem yang melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam bukunya, Marcel Boisard (1980:183) menilai bahwa universalitas Islam sebagai agama dan sistem sosial dapat dibuktikan dari empat segi: segi metafisik, segi agama, segi sosiologis, dan segi politik. Sebagai keimanan terhadap keesaan Tuhan yang dituangkan dalam keyakinan yang sangat kuat, Islam adalah ideologi universal yang tidak bisa disamakan dengan ideologi dan agama apapun.

Di samping aspek fundamental ini, konsepsi Islam tentang manusia membantu kepada universalitas manusia. Manusia adalah makhluk merdeka dan bertanggung jawab. Namun, dia tidak terpencil karena dia hidup di lingkungan sosial dan dia akan menerima akibat dari setiap perbuatannya. Konsepsi ganda Islam tentang individu sesuai dengan konsep universalitas yang diterima oleh filsafat Barat modern. Islam juga mengajarkan universalitas moral. Merupakan fakta yang tidak diragukan bahwa ajaran Islam dapat memasuki dan berkembang di daerah geografis dan lingkungan kultural yang berbeda-beda. Wahyu ilahi ditujukan kepada semua manusia agar mereka memeluk Islam dan ditujukan pada tingkat lain secara khusus kepada kaum beriman untuk mematuhi aturan-aturannya. Mematuhi ajaran yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. berarti memutuskan hubungan dengan orde sosial kesukuan dan mengidentifikasikan dirinya dengan kesatuan baru (Dault, 2005:160). Namun afiliasi dan loyalitas kepada komunitas yang berdasarkan keimanan tidak berarti bahwa Islam melarang ikatan-ikatan lain selain ikatan berdasar keimanan. Alih-alih, Islam menganjurkan bentuk-bentuk ikatan lain, seperti ikatan keluarga, selama tidak bertentangan dengan Islam (Umari dalam Dault, 2005:162).

Studi tentang hubungan Islam dan nasionalisme bermula dari kawasan Timur Tengah. Seperti di Indonesia, sejumlah pelajar Timur Tengah yang belajar di Eropa kembali dengan membawa konsep nasionalisme yang dipelajari di Barat. Konsep Barat tentang patria (tanah air) memengaruhi kata wathan dalam bahasa Arab dengan memberi pengertian politik padanya. Mereka percaya bahwa kemajuan yang dicapai Eropa dipengaruhi oleh kuatnya patriotisme individu dan masyarakat terhadap negara. Hal ini tergambar dari pernyataan Al-Tahtawi, seorang teoritisi nasionalisme Arab berpengaruh, bahwa “Patriotisme adalah sumber kemajuan dan kekuatan, sarana untuk mengatasi jarak antara wilayah Islam dengan Eropa” (Azra dalam Dault, 2005:186).

Perkembangan pemikiran nasionalisme sekular berdampak pada tatanan politik umat Islam. Bentuk negara-bangsa yang diadopsi dari Barat dijadikan sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah dalam pergaulan internasional. Kenyataan ini berdampak pada terpecah-belahnya dunia Islam menjadi banyak negara-bangsa yang tidak lagi berdasar pada ajaran Islam yang baku. Basis material negara-bangsa yang hanya berpatok pada etnisitas, kultur, bahasa, dan wilayah dan mengabaikan kategori religius (keimanan).

Absennya keimanan dari rumusan nasionalisme menimbulkan kritik dari sebagian tokoh Islam. Mereka meyakini bahwa hal ini menyebabkan lemahnya kesatuan dunia Islam. Ali Muhammad Naqvi, misalnya, menyatakan bahwa Islam tidak sesuai dengan nasionalisme karena keduanya berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional sebagai basis bangunan komunitas ditolak Al-Quran, karena ia hanya bersifat nasional-lokal sementara Islam mempunyai tujuan universal. Alasan lain adalah spirit sekular dalam nasionalisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik (Naqvi dalam Dault, 2005:188).

Kritik yang dilontarkan memosisikan Islam vis a vis nasionalisme. Namun dalam konteks Indonesia, sila-sila dalam Pancasila sebagai ideologi negara tidak satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan Kuntowijoyo (1997:85) berpendapat bahwa Pancasila adalah obyektifikasi Islam. Meskipun dia mengingatkan bahwa Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi. Bagi Kunto, ideologi dan agama dibedakan berdasarkan motif. Ideologi tanpa agama dapat berjalan karena dalam diri manusia terdapat apa yang disebut Immanuel Kant sebagai categorical imperative, seperti nilai-nilai disiplin, setia kawan, kedermawanan, dan nilai etika yang lain. Dalam agama terdapat sistem dosa-pahala, surga-neraka, dan halal-haram yang semuanya berdasar keimanan dan kemudian menggiring seseorang untuk bertindak sesuai dengan kategori-kategori yang dia yakini.

Categorical imperative sebagai sistem sekular juga memiliki sanksi yang bersifat personal, berupa rasa bersalah, dan sanksi institusional yang terwujud dalam hukum formal.

Pancasila menggabungkan konsep tentang kekuasaan (ketuhanan dan kedaulatan rakyat), konsep tentang proses (kemanusiaan dan kebangsaan), dan konsep tentang tujuan (keadilan sosial). Keunikan Pancasila adalah bahwa kekuasaan diletakkan di bawah Tuhan dan rakyat teodemokrasi. Istilah ini tersusun dari dua istilah: teokrasi dan demokrasi. Teokrasi (teosentrisme) dengan menghilangkan konotasi negatif ala Barat bagi umat Islam sama dengan istilah tawhid, yaitu menjadikan Tuhan sebagai pusat. Ini berarti bahwa kekuasaan Tuhan ada di atas kekuasaan negara.

Dalam pelaksanaannya kekuasaan dilaksanakan dengan memerhatikan prinsip-prinsip agama, seperti syura dan keadilan. Sementara demokrasi adalah sistem kekuasaan dengan kedaulatan berada sepenuhnya di tangan rakyat, tanpa harus terikat pada hukum-hukum Tuhan. Dengan demikian, teodemokrasi adalah konsep tentang kekuasaan negara yang dibatasi oleh hukum Tuhan di satu sisi dan oleh rakyat di sisi lain. Dapat pula dirumuskan bahwa ia adalah kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat dengan keyakinan bahwa sumber kekuasaan adalah Tuhan. Sebelum konsep demokrasi dikenal, tanggung jawab kekuasaan dilaksanakan hanya kepada Tuhan, sehingga sering disalahgunakan. Dalam sejarah Jawa misalnya, seorang raja memakai gelar khalifatullah dan dalam sistem kesadaran rakyat kekuasaan raja dianggap sebagai kekuasaan Tuhan yang tidak bisa di ganggu gugat. Hal ini yang kemudian memberi konotasi negatif terhadap sistem teokrasi dalam kajian politik di Barat[11]. Diagram berikut memperjelas perbedaan ketiga sistem kekuasaan di atas:

1. Teodemokrasi

2. Demokrasi

3. Teokrasi

Nasionalisme Indonesia yang berbentuk negara-bangsa dan menggunakan demokrasi sebagai sistem politik tidak bertentangan dengan Islam sepanjang ia tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam agama. Abul A’la Maududi (2004:54) menyatakan bahwa setiap individu dalam masyarakat Islam memiliki hak dan kekuasaan sebagai khalifah Allah dan dalam hal ini semua individu adalah sama. Institusi yang menangani urusan negara dibentuk sesuai dengan kehendak individu-individu dalam masyarakat. Pendapat mereka menentukan bentuk, pemimpin, dan segala sesuatu yang terkait dengan pemerintahan sesuai prinsip-prinsip Islam. Dalam hal ini, sistem politik Islam merupakan demokrasi yang sebenarnya.[12]

DAFTAR PUSTAKA

- Ali, Lukman. Dkk. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

- Anderson, Benedict. 1991. Imagined Community: Komunitas-Komunitas Terbayang. Terjemahan oleh Omi Intan Naomi. 2002. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

- Boisard, Marcel A. 1979. Humanisme Dalam Islam. Terjemahan oleh M. Rasjidi. 1980. Jakarta: Bulan Bintang.

- Burhan, A.S. dan Muhammad, Agus (Eds.). 2001. Demokratisasi dan Demiliterisasi: Wacana dan Pergulatan di Pesantren. Jakarta: P3M.

- Dault, Adhyaksa. 2005. Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

- Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.

- Maududi, Abul A’la. Tanpa Tahun. Islam Kaffah: Menjadikan Islam Sebagai Jalan Hidup. Terjemahan oleh Muhammad Humaidi. 2004. Jogjakarta: Cahaya Hikmah.

- Purcell, Hugh. Tanpa Tahun. Fasisme. Terjemahan oleh Faisol Reza dkk. 2000. Jogjakarta: Insist Press.

- Riff, Michael A. (ed). 1982. Kamus Ideologi Politik Modern. Terjemahan oleh M. Miftahuddin dan Hartian Silawati. 1995. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

- Simandjuntak, Marsillam. 2003. Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayatnya Dalam Persiapan UUD 1945. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Yatim, Badri. 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme. Bandung: Nuansa.


[1] Dr. Ali Yafi’, Ahammiyatul Jihad, hal. 411

[2] Ibnu Katsir, Bidayah wa Nihayah, Juz: 2, hal. 20

[3] Ibnu Katsir, Tafsirul Quranul Adhim, ( Beirut, Alam al-Kutub), juz: 1, hal. 347

[4] Ibnu al Aroby, al Awashim minal Qowashim, hal. 56, 61

[5] Abul A’la Al Maududi, Islamul Yaum, hal 35

[6] Dault, Adhyaksa. 2005. Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

[7] Yatim, Badri. 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme. Bandung: Nuansa

[8] Yatim, Badri. 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme. Bandung: Nuansa

[9]Simandjuntak, Marsillam. 2003. Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur, dan Riwayatnya Dalam Persiapan UUD 1945. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

[10] ibid, 2003:224

[11] Kuntowijoyo, 1997:62; Burhan dan Muhammad (eds.), 2001:29

[12]Maududi, Abul A’la. Tanpa Tahun. Islam Kaffah: Menjadikan Islam Sebagai Jalan Hidup. Terjemahan oleh Muhammad Humaidi. 2004. Jogjakarta: Cahaya Hikmah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan bubuhkan komentar anda