Free Widgets

Selasa, 12 Januari 2010

WASIAT

1.1. Definisi Wasiat

kata wasiat (Wasiyyah) menurut bahasa diambil dari kata Washshaitu Asy-syaia, sedangkan menurut istilah syara, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat atau pun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang dibri wasiat sesudah orang yang berwasiat itu meninggal.[1]

Ada pula yang mendefinisikan bahwa Al Washa-ya itu adalah bentuk jamak dari “Wasiyyah”. Wasiat itu menurut hukum syara (istilah) ialah suatu perjanjian khusus yang disandarkan sesuatu sesudah meninggal.[2]

1.2. Dasar Hukum Wasiat

Wasiat itu di syariatkan melalui kitab, sunnah, dan ijma. Di dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman:

Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.

Dan firmannya:

Wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang diantara kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah wasiat itu disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu……(QS. Al Maidah:106)

Di dalam sunnah juga terdapat hadits-hadits sebagai landasan hukum wasiat, diantaranya sebagai berikut:

1. Rasulullah Saw Bersabda :

Artinya : Dari Ibn Umar r.a. dia telah berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw pernah bersabda : “Tidak berhak atas seorang muslim menyimpan suatu barang yang hendak diwasiatkan selama 2 (dua) malam kecuali wasiatnya itu tertulis” (HR Bukhari Muslim).

Penjelasan hadits, Kata “Maa” itu adalah Nafiyah yang berarti tidak searti dengan “Laisa” dan termasuk saudara “Laisa” itu. Kata “Haqqu” menjadi isimnya dan khabarnya sesudah illa, sedang huruf “waw” itu hanya tambahan saja dalam khabarnya itu karena dipisah dengan illa itu. Imam Syafi’I berkata: maksudnya ialah bahwa tidak ada ikatan dan yang terbaik bagi orang muslim melainkan wasiat itu ditulis padanya apabila ia mempunyai sesuatu yang hendak ia wasiatkan, karena sesungguhnya dia tidak mengetahui kapan timbul keinginan lain yang menghambat kehendaknya (niatnya) itu. Ulama lain berkata: Al Haqqu ialah sesuatu yang tetap. Diungkapkan secara umum menurut pengertian agama bahwa haq itu adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh hukum. Hukum itu lebih umum dari pada sesuatu yang wajib atau sunah.

Pengertian “Yang hendak ia wasiatkan” mengandung suatu pengertian yang menunjukkan bahwa wasiat itu tidak wajib atasnya. Menurut jumhur Ulama bahwa wasiat adalah sunat saja. Menurut imam Daud dan Ulama yang lain yang memahami secara harfiah, bahwa wasiat itu wajib. Diriwayatkan dari Imam Syafi’I dalam Qaul Qadhimnya yang diakui oleh Imam Ibnu Abdil Barri sebagai ijma ulama, bahwa wasiat itu tidak wajib berdasarkan dalil makna hadits itu. Karena seandainya dia tidak mewasiatkannya, niscaya dia bagikan semua hartanya antara ahli warisnya berdasarkan ijma Ulama. Lalu seandainya wasiat itu wajib, maka pasti dia sudah mengeluarkan sebagian hartanya sebagai pengganti wasiat itu.

Pengertian “2 (dua) malam” itu hanya kira-kira, bukan hanya untuk pembatas masa penangguhannya, karena jika bukan untuk pengertian kira-kira, maka sudah di riwayatkan dengan 3 (tiga) malam atau lebih.

2. diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari jabir, dia berkata: telah bersabda Rasulullah Saw: “Barang siapa yang mati dalam keadaan wasiat, maka dia telah mati di jalan Allah dan sunnah, mati dalam keadaan takwa dan syahid, da dalam keadaan diampuni dosanya.”

1.3. Rukun Wasiat

Rukun wasiat adalah ijab dari orang yang mewasiatkan.[3] ijab dengan segala lapadz yang keluar darinya (mussy), bila lapadz itu menujukkan pemilikan yang dilaksankan sesudah dia mati dan tampa adanya imbalan, seperti: Aku wasiat kepada si pulan begini setelah Aku mati; atau Aku berikan itu atau Aku serahkan kepemilikannya kepadanya sepeninggalku.

Boleh juga wasiat itu melalui isyarat yang dapat dipahami, apabila pemberi wasiat tidak sanggup berbicara; sah juga wasiat melalui tulisan.

1.4. Syarat-Syarat Wasiat

Syarat-syarat wsiat dibebankan kepada orang yang memberi wasiat, orang yang di beri wasiat dan yang diwasiatkan.

  1. syarat-syarat orang yang memberi wasiat

Disyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah orang yang ahli kebaikan, yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecapakan) yang sah.

Dan ada dua perkara yang dikecualikan dari hal yang diatas:

  1. Wasiat anak kecil yang mumayyiz (bisa membedakan perkara yang baik dan buruk) yang khusus mengenai perlengkapannya dan penguburannya selama dalam batas-batas kemaslahatan.
  2. Wasiat orang yang dibatasi terhadap orang yang dungu dalam hal kebajikan, seperti mengajarkan Al-qur’an, membangun masjid dan mendirikan rumah sakit.
  1. Syarat-Syarat orang yang diberi wasiat

Disyaratkan bagi orang yang diberi wasiat, syarat-syaratnya sebagai berikut:

  1. Dia bukan ahli waris dari orang yang memberi wasiat

Rasulullah saw bersabda:

Dirawayatkan oleh para penakluk, bahwa Rasulullah saw telah berkata pada waktu penaklukan kota Makkah: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris” (HR. Abu Daud dan At-Tarmidzi dan dia menghasankannya pula).

Dalam riwayat lain dikatakan: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan hak tiap-tiap ahli waris; maka dengan ketentuan itu tidak ada hak wasiat lagi bagi ahli waris”

Adapun ayat al Qur’an:

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa

jumhur ulama menyatakan bahwa ayat diatas telah di mansukh.

Imam Syafi’I berkata:

Sesungguhnya Allah swt telah menurunkan ayat wasiat dan menurunkan pula ayat warisan, maka mungkin ayat wasiat itu tetap ada bersama dengan ayat warisan. Dan mungkin pula warisan itu menghapuskan wasiat. Para ulama telah mencari apa yang bisa memperkuat salah satu dari dua kemungkinan itu; dan mereka mendapatinya didalam sunnah Rasulullah saw. Dirawayatkan oleh para penakluk, bahwa Rasulullah saw telah berkata pada waktu penaklukan kota Makkah: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris” (HR. Abu Daud dan At-Tarmidzi dan dia menghasankannya pula).

  1. Disyaratkan agar orang yang diberi wasiat tidak membunuh orang yang memberinya, dengan pembunuhan yang diharamkan secara langsung.

Apabila orang yang diberi wasiat membunuh orang yang memberinya dengan pembunuhan yang secara langsung, maka wasiat itu batal baginya; sebab orang yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya dihukum dengan tidak mendapatkan sesuatu itu. Inilah Mazhab Abu Yusuf.

Sedangkan Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad berpendapat bahwa wasiat itu tidak batal, dan yang demikian ini diserahkan kepada ahli waris.

  1. Syarat bagi yang diwasiatkan

Disyaratkan agar yang diwasiatkan itu bisa dimiliki dengan salah satu cara pemilikan setelah pemberi setelah pemberi wasiat meninggal. Dengan demikian, sahlah mengenai wasiat mengenai semua harta yang bernilai, baik berupa barang atau manfaat.

1.5. Wasiat Dengan Sepertiga Harta Pusaka

Berwasiat dengan sepertiga harta dilandasi dengan sabda Rasullah saw, sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Saad Ibn Abi Waqqas, dia telah berkata: “Pada waktu haji wada’ Rasulullah saw menziarahiku ketika aku sedang sakit. Waktu itu aku berkata: “wahai Rasulullah! Lihatlah keadaanku yang berada dalam keadaan sakit yang sangat payah ini sebagaimana yang engkau lihat, sedangkan aku ini seorang hartawan dan hanya seorang anak perempuan sajalah yang akan mewarisi hartaku. Apakah saya boleh mengeluarkan sedekah dua pertiga dari harta saya?”Beliau menjawab: “Tidak!´aku bertanya lagi: “Bagaimana sebagaiannya?” beliau menjawab: “Tidak!” Tetapi sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak. Sesunggunya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalamkeadaan papa dan meminta-minta kepada orang lain. Tidakkah kamu menafkahkan suatu nafkah dengan tujuan untuk mendapat keridhoan Allah, sehingga kamu mendapatkan pahala dari nafkah kamu itu, sekalipun sesuap makanan yang kamu masukkan ke mulut istrimu. “Aku bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah saya akan dikekalkan (masih tetap hidup) sesudah sahabat-sahabat saya (meninggal dunia)?” beliau bersabda: “sesungguh nya kamu tidak akan dikekalkan lalu kamu mengerjakan suatu amalan dengan tujuan untuk mendapatkan kerodhoan Allah sehingga dengan amal itu derajatmu akan bertambah. Barangkali kamu akan dikekalkan sehingga umat islam mendapat manfaat dari Suatu kamu yang lain yaitu orang-orang kafir menderita kerugian karenamu. Wahai Allah! Sempurnakanlah hijrah sahabat-sahabatku dan janganlah kamu kembalikan mereka kebelakang (kepada kekufuran) tetapi ynag sial adalah sa’ad bin Khaulah. Dia mengatakan bahwa Rasulullah saw mengasihi orang yang telah meninggal di Makkah.[4] (HR: Bukhari Muslim)

Dan batas maksimal diperbolehkannya sedekah dengan seperti dari jumlah harta dan sepertiga itu sudah di katagorikan basar. Berdasarkan hadist berikut:

Diriwayatkan dari ibn Abbas r,a. dia telah berkata: “Seandainya manusia ingin mengurangkan dari sepertiga menjadi seperempat, maka sesunguhnya Rasulullah saw telah bersabda: “Sepertiga dan sepertiga itu banyak”. (HR: Bukhari Muslim).

1.6. Orang Yang Tidak Memiliki Sesuatu untuk Diwasiatkan

Diriwayatkan dari Abdillah Bin Abi Aufa dari Talhah Bin Musrif, dia telah berkata: “Aku bertanya kepada Abdillah bin Aufa, Apakah Rasullah berwasiat? Dia menjawab: “Tidak. Aku Bertanya lagi: “mengapa wasiat diwajibkan atas orang-orang islam atau mengapa orang-orang islam diperintahkan supaya berwasiat? “dia menjawab: “beliau mewasiatkan kitab Allah” (HR: Bukhari Muslim)

Dan hadist dari Rasulullah:

Diriwayatkan dari Aisyah r.a, dia telah berkata: “Rasulullah SAW tidak meninggalkan dinar, dirham, kambing atau pun unta dan tidak pula berwasiat” (HR: Mutafakun alaih)

Hadist di atas menjelaskan bahwa orang yang tidak meninggalkan harta pusaka tidak boleh berwasiat mengenai harta pusaka.

1.7. Hikmah Wasiat

Termuat dalam hadist Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda:

“sesungguhnya Allah telah bersedekah kepada kamu dengan sepertiga dari harta kamu sebagai penambah amal kebajikanmu; maka tempatkanlah ia dimana kamu mau atau dimana kamu suka”

Hadist ini menunjukkan bahwa wasiat adalah salah satu cara yang di gunakan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah pada akhir hidupnya agar kebajikannya bertambah dan memperoleh apa yang terlewat olehnya, karena di dalam wasuat itu terdapat kebajikan dan pertolongan bagi manusia.

[1] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hlm 230

[2] Subulus Salam, hlm 371

[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Hlm 240

[4] Hadist-Hadist Muttafaq Alaih, Hlm 135

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan bubuhkan komentar anda